Oleh Syaiful W. Harahap - AIDS Watch Indonesia
Media Watch (1/11-2012) - Pemeritah Provinsi (Pemprov) Banten menelurkan Peraturan Daerah (Perda) No 6 Tahun 2010 tanggal 19 November 2010 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. Perda ini merupakan perda yang ke-49 dari 56 perda sejenis di Indononesia.
Media Watch (1/11-2012) - Pemeritah Provinsi (Pemprov) Banten menelurkan Peraturan Daerah (Perda) No 6 Tahun 2010 tanggal 19 November 2010 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS. Perda ini merupakan perda yang ke-49 dari 56 perda sejenis di Indononesia.
Sama
seperti perda-perda yang sudah ada perda ini pun tidak lebih baik karena hanya
sebatas copy-paste dari perda yang
sudah ada.
Dilaporkan
kasus kumulatif HIV/AIDS di Prov Banten per November
2011 tercatat 2.116 yang terdiri atas 552 kasus HIV dan 1.564 AIDS. Angka yang
dilaporkan ini tidak menggambarkan jumlah kasus yang ada di masyarakat karena
penyebaran HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang dilaporkan
atau yang terdeteksi (2.116) adalah bagian kecil dari kasus yang ada
digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut,
sedangkan kasus yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es
yang ada di bawah permukaan air laut.

Pasal
ini normatif, karena:
(a) Tidak ada kaitan langsung
antara penularan HIV dengan iman dan taqwa.
(b) Apa takaran atau parameter
yang dipakai untuk mengukur (tingkat) iman dan taqwa?
(c) Berapa ukuran iman dan
taqwa yang bisa mencegah penularan HIV?
(d) Siapa yang berkompeten
mengukur atau menakar iman dan taqwa seseorang?
Jika dibawa ke realitas sosial
maka pasal 29 ayat 1 huruf a ini justru bisa mendorong masyarakat melakukan
stigmatisasi (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan yang berbeda)
terhadap orang-orang yang mengidap HIV (Odha-Orang dengan HIV/AIDS) karena ada
anggapan Odha tertular HIV karena tidak beriman dan tidak bertaqwa.
Tentu ini menghujat, menghina
dan melecehkan orang-orang yang tertular HIV di luar kemampuan mereka untuk
mencegahnya, seperti istri yang ditulari suaminya, anak yang tertular dari
ibunya, yang tertular dari transfusi darah, dll. Prov Banten sendiri dikabarkan
masuk dalam tujuh daerah besar penyebaran HIV/AIDS.
Di pasal 29 ayat 1 huruf b
disebutkan: “Masyarakat bertanggung jawab untuk berperan serta dalam kegiatan
penanggulangan HIV dan AIDS serta perlindungan terhadap ODHA dan OHIDHA dengan
cara berperilaku hidup sehat.” Pasal ini pun tidak konkret karena tidak ada
kaitan langsung antara ’perilaku hidup sehat’ dengan penularan HIV. Lagi pula,
apa ukuran ’perilaku hidup sehat’ yang bisa mencegah seseorang tertular HIV?
Sedangkan di pasal 29 ayat 1
huruf c disebutkan: “Masyarakat bertanggung jawab untuk berperan serta dalam
kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS serta perlindungan terhadap ODHA dan
OHIDHA dengan cara meningkatkan ketahanan keluarga.” Ini pun normatif karena
tidak ada kaitan langsung antara ’ketahanan keluarga’ dengan penularan HIV.
Lagi pula tidak ada ukuran ’ketahanan keluarga’ yang konkret. Lagi-lagi pasal
ini bisa menyudutkan Odha karena dianggap ketahanan keluarganya rendah sehingga
tertular HIV.
Karena HIV/AIDS merupakan fakta
medis, artinya bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran, maka
pencegahan dan penanggulangannya pun dapat dilakukan dengan cara-cara yang
konkret. Tapi, karena sejak awal epidemi masalah HIV/AIDS di Indonesia dibawa
ke ranah moral maka penanggulangannya pun dibumbui dengan moral sehingga tidak
konkret.
Salah satu langkah
penanggulangan epidemi HIV yang ditawarkan dalam perda ini ada di pasal 6 ayat
b: ”Pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui menghindari seks bebas, setia
pada pasangan yang sah dan menggunakan kondom bagi kelompok beresiko tinggi
dalam setiap hubungan seks.”
Jika ’seks bebas’ di artikan
sebagai zina yaitu hubungan seksual di luar nikah, seperti melacur, seks
pranikah, ’jajan’, selingkuh, dll. maka pasal ini tidak akurat. Soalnya, tidak
ada kaitan langsung antara ’seks bebas’ dengan penularan HIV. Penularan HIV
melalui hubungan seksual (bisa) terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan
seksual) jika salah satu dari pasangan itu mengidap HIV dan laki-laki tidak
memakai kondom setiap kali sanggama (kondisi hubungan seksual).
Celakanya, dalam perda ini sama
sekali tidak ada lokasi atau lokalisasi pelacuran karena yang ada adalah ” tempat hiburan,
atau sejenisnya yang menjadi tempat berisiko tinggi”. Tapi, dalam perda tidak
ada penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan “tempat hiburan, atau
sejenisnya yang menjadi tempat berisiko tinggi”.
Ada dua pasal yang terkait
dengan ”
tempat
hiburan, atau sejenisnya yang menjadi tempat berisiko tinggi”, yaitu:
Pasal
21 “Setiap pemilik dan/atau pengelola tempat hiburan, atau sejenisnya yang
menjadi tempat berisiko tinggi, wajib memberikan informasi atau penyuluhan
secara berkala mengenai pencegahan HIV
dan AIDS kepada semua pekerjanya.”
Pasal
22 “Setiap pemilik dan atau pengelola tempat hiburan, atau sejenisnya yang
menjadi tempat berisiko tinggi, wajib mendata pekerja yang menjadi
tanggungjawabnya untuk dilakukan pemeriksaan kesehatan oleh petugas secara
berkala.
Di beberapa tempat terjadi
praktek pelacuran setelah beberapa lokasi pelacuran ditutup. Akibatnya,
pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu yang tidak bisa
dijangaku sehingga risiko penularan HIV dari laki-laki ke pekerja seks dan
sebaliknya terus terjadi.
Fakta menunjukkan banyak kasus
terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga. Ini membuktikan penularan HIV terjadi pada
pasangan yang setia dan sah. Di Prov Banten sudah terdeteksi 10 ibu rumah
tangga yang tertular HIV/AIDS. Pasangan yang sering kawin-cerai juga setia,
tapi mereka berisiko karena sebelum mereka setia masing-masing dari mereka juga
pernah mempunyai pasangan lain yang juga dalam ikatan pernikahan yang sah.
Langkah lain yang ditawarkan
perda ini dalam penanggulangan epidemi HIV ada di pasal 6 ayat d: ”Pencegahan
HIV dan AIDS dilakukan melalui pencegahan resiko penularan HIV dan AIDS dari
ibu ke anak.” Celakanya, dalam perda ini tidak ada mekanisme yang sistematis
untuk mendeteksi HIV pada ibu-ibu rumah tangga yang hamil. Di Malaysia ada
survailans rutin terhadap perempuan hamil sehingga HIV/AIDS bisa terdeteksi.
Semangat moral menjadi ciri
khas penanggulangan HIV dalam semua perda yang ada di Indonesia. Di pasal 20,
misalnya, disebutkan: ”Setiap orang yang beresiko tinggi terjadi penularan IMS,
HIV dan AIDS wajib memeriksakan kesehatannya secara rutin.”
Ini merupakan penanggulangan di
hilir. Artinya, penduduk dibiarkan dulu tertular IMS atau HIV atau dua-duanya
sekaligus baru ditangani. Sebelum orang-orang yang perilakunya berisiko
memeriksakan diri mereka sudah menularkan IMS dan HIV atau dua-duanya kepada
orang lain tanpa mereka sadari.
Selain itu tes HIV dengan
reagent ELISA baru efektif bisa mendeteksi antibody HIV jika tertular HIV sudah
lebih dari tiga bulan. Kalau tes HIV dilakukan pada masa jendela maka hasilnya
bisa positif palsu (HIV tidak ada di dalam darah tapi hasil tes reaktif) atau
negatif palsu (HIV sudah ada di dalam darah tapi hasil tes nonreaktif karena
antibody HIV belum terbentuk).
Dua hasil tsb. sama-sama
berdampak buruk. Bagi yang positif palsu berdampak terhadap kehidupannya karena
akan menerima berbagai konsekuensi. Sedangkan yang negatif palsu akan berdampak
pada penyebaran HIV karena dia dianggap tidak tertular HIV. Itulah sebabnya
standar prosedur operasi tes HIV yang baku mengharuskan tes konfirmasi.
Artinya, tes pertama dikonfirmasi dengan tes lain.
Maka, kalau saja perda ini
dirancang dengan pijakan fakta medis maka yang perlu dilakukan adalah
penanggulangan di hulu yaitu menurunkan insiden infeksi HIV baru, yaitu pada:
(a) laki-laki dewasa melalui hubungan seksual, (b) perempuan dalam hal ini
istri dari suami melalui hubungan seksual, (c) bayi dari ibu yang mengidap HIV,
(d) penyalahguna narkoba dengan suntikan secara bergantian (e) transfusi darah,
dan (f) jarum suntik dan alat-alat kesehatan. Penanggulangan pada enam sektor
ini bisa dilakukan di hulu sehingga menurunkan insiden infeksi HIV baru melalui
intervensi yang konkret, terutama pada sektor a, b dan c.
Intervensi pada sektor a yaitu
mewajiban setiap laki-laki dewasa memakai kondom jika melakukan hubungan
seksual di dalam dan di luar nikah dengan PSK langsung atau PSK tidak langsung
di wilayah Banten atau di luar Banten. Sektor b yaitu mewajibkan suami yang
pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung dan PSK tidak
langsung memakai kondom jika sanggama dengan istrinya. Sedangkan sektor c yaitu
menerapkan pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Upaya menurunkan insiden
infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK
sudah berhasil dilakukan Thailand melalui program ’wajib kondom 100 persen’.
Program ini juga dicangkok dalam perda-perda AIDS di Indonesia tapi dengan
setengah hati. Ini terjadi karena perda bernuansa moral untuk menanggulangi
fakta.
Lihatlah di pasal 21: ”Setiap
pemilik dan/atau pengelola tempat hiburan, atau sejenisnya yang menjadi tempat
berisiko tinggi, wajib memberikan infomasi atau penyuluhan secara berkala
mengenai pencegahan HIV dan AIDS kepada semua pekerjanya.”
Penyebutan ’tempat berisiko
tinggi’ merupakan konotasi yang mengaburkan makna. Jika dikaitkan dengan
epidemi IMS dan HIV tentulah ’tempat berisiko tinggi’ adalah lokasi atau
lokalisasi pelacuran serta losmen, motel, hotel melati dan hotel berbintang
yang menyediakan PSK langsung atau PSK langsung (pekerja seks di lokasi atau
lokalisasi pelacuran, cewek panggilan di losmen, hotel melati dan hotel
berbintang) dan PSK tidak langsung (’cewek bar’, ’cewek kampus’, ’anak
sekolah’, ’cewek SPG’, selingkuhan, WIL, perempuan pemijat di panti pijat
plus-plus, waria pekerja seks, dll.).
Jika menoleh ke Thailand maka
sektor inilah yang bisa diintervensi perda yaitu mewajibkan pemakaian kondom.
Yang perlu diingat adalah yang menjadi objek bukan PSK tapi germo atau mucikari.
Soalnya, kalau PSK yang menjadi objek maka mereka selalu berada pada posisis
tawar yang lemah. Artinya, laki-laki ’hidung belang’ akan memakai tangan germo
untuk memaksa mereka meladeni laki-laki tanpa kondom.
Nah, Thailand memberikan izin
usaha bagi germo sehingga kegiatan tsb. merupakan kegiatan yang diregulasi.
Secara rutin dilakukan tes IMS terhadap PSK. Kalau ada PSK yang terdeteksi mengidap
IMS maka germo diberikan sanksi hukum mulai dari teguran sampai pencabutan izin
usaha. Bisa juga dikembangkan dengan hukuman pidana kurungan agar mempunyai
efek jera.
Tapi, karena semangat
penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia dikibarkan dengan bendera moral, maka
cara-cara yang dilakukan pun tidak realistis.
Lihat saja di pasal 22: ”Setiap
pemilik dan atau pengelola tempat hiburan, atau sejenisnya yang menjadi termpat
berisiko tinggi, wajbi mendata pekerja yang menjadi tanggungjawabnya untuk
dilakukan pemeriksaan kesehatan oleh petugas secara berkala.”
Pertama, yang menularkan IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus
kepada PSK yang bekerja di tempat berisiko itu adalah laki-laki penduduk lokal,
asli atau pendatang. Dalam kehidupan sehari-hari mereka bisa sebagai seorang
suami, pacar, selingkuhan, dua, lajang atau remaja. Mereka inilah yang menjadi
mata rantai penyebaran HIV di masyarakat.
Kedua, PSK yang ditulari IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus
akan menularkannya kepada laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa
kondom dengan mereka. Laki-laki yang tertular itu pun dalam kehidupan
sehari-hari mereka bisa sebagai seorang suami, pacar, selingkuhan, dua, lajang
atau remaja. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di
masyarakat.
Bertolak dari dua fakta di atas
tentulah pemeriksaan kesehatan PSK tidak ada manfaatnya karena: (a) laki-laki
yang menularkan IMS dan HIV tidak terdeteksi dan (b) laki-laki yang tertular
IMS dan HIV juga tidak terdeteksi. Maka, yang perlu dilakukan adalah intervensi.
Pertanyaan yang sangat mendasar
adalah: Apakah Pemprov Banten dan DPRD Banten, MUI Banten, LSM dan institusi
lain bisa menjamin tidak ada laki-laki dewasa penduduk Banten, asli atau
pendatang, yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam atau di luar
nikah, di wilayah Banten atau di luar wilayah Banten dengan PSK langsung atau
PSK tidak langsung?
Kalau jawabannya BISA, maka
tidak ada penyebaran HIV dengan faktor risiko (mode of transmission)
hubungan seksual. Pemprov tinggal menanggulangi penyebaran dengan faktor risiko
lain.
Tapi, kalau jawabannya TIDAK
BISA, maka ada persoalan besar yang dihadapi Pemprov Banten yaitu penyebaran
HIV dengan faktor risiko hubungan seksual. Ini dapat dilihat dari kasus
HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga.
Maka, Pemprov Banten harus
membuat regulasi, yaitu: (a) program ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki
yang melakukan hubungan seksual dengan PSK langsung di wilayah Banten, (b)
mekanisme yang sistematis pendeteksian kasus-kasus HIV/AIDS di masyarakat, dan
(c) mekanisme pendeteksian yang sistematis untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS pada
perempuan hamil.
Jika tidak ada langkah-langkah
konkret, maka penyebaran HIV di Prov Banten akan menjadi ’bom waktu’ ledakan
AIDS di masa yang akan datang. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.