Media Watch (19/10-2012) - “
… perkembangan HIV – AIDS dan IMS di Indonesia sejak Tahun 1986 jumlah kasusnya
terus meningkat dan wilayah penularannya semakin luas termasuk di Kota
Tanjungbalai yang secara geografis merupakan kota pelabuhan yang berbatasan
langsung dengan Negara tetangga Singapura, Malaysia dan Thailand.”
Itulah
bunyi salah satu pertimbangan (b) dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota
Tanjungbalai, Prov Sumatera Utara (Sumut), No 6/2009 tanggal 26 Oktober 2009
tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV-AIDS dan IMS di Kota Tanjungbalai.
Perda ini merupakan perda ke-2 di wilayah Sumut dan yang ke-42 dari 58 perda
sejenis yang sudah ada di Indonesia.
Estimasi
kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Tanjunbalai tahun 2009 dilaporkan 630 (waspada.co.id,
30/5-2009). Sedangkan di data KPA Prov Sumut pada tahun 2009 ada dua
kasus HIV/AIDS di Kota Tanjungbalai.
Bertolak dari pertimbangan itu
saja sudah bisa diperkirakan perda ini hanya bersifat normatif. Kasus HIV/AIDS
pertama yang diakui pemerintah terdeteksi April 1987 di Denpasar, Bali.
Tidak ada kaitan langsung
antara letak geografis satu daerah atau negara dengan penularan HIV karena
risiko tertular HIV, melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar
nikah, tergantung pada perilaku seksual orang per orang.
Tapi, perda ini sudah membuat
stigma yaitu di pasal 1 ayat 12: ”Kelompok Rawan adalah kelompok yang mempunyai
perilaku resiko tinggi terhadap penularan HIV – AIDS dan IMS yaitu penjaja seks
dan pasangannya, pelanggan penjaja seks dan pasangannya, pasangan seks sejenis
dan pelanggannya, narapidana, anak jalanan, pengguna napza suntik dan
pasangannya”.
Jika dikatakan letak geografis
Kota Tanjungbalai berbatasan langsung Singapura, Malaysia dan Thailand tidaklah
akurat karena ada jarak berupa laut. Tidak berbatasan langsung di daratan.
Maka, Pemerintah Singapura, Malaysia dan Thailand pun bisa mengatakan mereka
berisiko karena berbatasan langsung dengan Kota Tanjungbalai.
Yang menjadi persoalan terkait
dengan (risiko) tertular dan menularkan HIV adalah perilaku penduduk Kota
Tanjungbalai, yaitu:
(a). Laki-laki dewasa yang
pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di
luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di Kota Tanjungbalai, di luar
Kota Tanjungbalai atau di luar negeri.
(b) Perempuan dewasa yang
pernah atau sering melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah,
dengan laki-laki yang berganti-ganti tanpa kondom di Kota Tanjungbalai, di luar
Kota Tanjungbalai atau di luar negeri.
(c). Laki-laki dewasa yang
pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di
luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks
komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti
pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel
berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’,
’cewek cafe’, ’cewek pub’, ’cewek panti pijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG’,
’pelacur kelas tinggi’, ’call girl’, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai
di Kota Tanjungbalai, di luar Kota Tanjungbalai atau di luar negeri.
Apakah ada pasal yang konkret
dalam perda ini untuk mencegah insiden penularan HIV melalui tiga cara di atas?
Tidak ada!
Pada bagian pencegahan dan
penanggulangan (Bab III) sama sekali tidak ada pasal yang konkret sebagai cara
mencegah penularan HIV.
Yang ada hanya penjelasan
tentang kebijakan yang merupakan tanggungjawab bersama antara Pemerintah
Daerah, Instansi terkait dan masyarakat yang diselenggarakan berdasarkan prisip
kemitraan, al. disebutkan di pasal 4 ayat 4 huruf a: ”pencegahan dapat
difasilitasi dengan bimbingan rohani dalam bentuk dukungan ceramah-ceramah
keagamaan”.
Sedangkan di pasal 4 ayat 4
huruf d disebutkan: ”melaksanakan pencegahan dan penanggulangan HIV – AIDS dan
IMS secara terpadu dan berkala di tempat-tempat rawan dan keharusan menggunakan
kondom 100%”.
Terkait dengan kondom di pasal 15 disebutkan: “Untuk mencegah penyebaran penularan
HIV - AIDS dan IMS di masyarakat, pemakaian kondom 100% bagi setiap kontak seks
berganti-ganti pasangan merupakan cara pencegahan penularan HIV - AIDS dan IMS
yang efektif.”
Persoalannya adalah bagaimana
cara yang dilakukan Pemkot Tanjungbalai dalam memantau pemakaian kondom pada
kontak seks yang berganti-ganti pasangan?
Tentu saja tidak bisa dideteksi
karena kontak seks yang berganti-ganti pasangan bisa terjadi di sembarang
tempat dan di sembarang waktu.
Persoalannya adalah di Kota
Tanjungbalai tidak ada lokasi atau lokalisasi pelacuran yang merupakan bentuk
regulasi.
Apa, sih, yang dimaksud dengan
’tempat-tempat rawan’?
Di pasal 1 ayat 13 disebutkan:
”Tempat yang rawan untuk penularan HIV – AIDS dan IMS adalah tempat dimana
beroperasinya kelompok rawan seperti Bar, Cafe, Hotel, Salon, Panti Pijat dan
lain-lain”.
Karena bukan lokalisasi
pelacuran, maka Pemkot Tanjungbalai pun mengabaikan transaksi seks dalam bentuk
pelacuran di kota ini. Tapi, pasal 1 ayat 3 membuktikan bahwa di Kota
Tanjungbalai ada kegiatan pelacuran.
Pengakuan Pemkot Tanjungbalai
terhadap praktek pelacuran muncul di pasal 19 ayat 2 huruf a: ”Kewajiban pemilik
tempat-tempat rawan bertanggungjawab atas kesehatan para karyawannya dengan
melakukan pemeriksaan secara berkala yang dilengkapi dengan rekaman medis.”
Di pasal 16 ayat 1 huruf b
disebutkan: ”Pemerintah Daerah melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan
yang berhubungan dengan program penggunaan kondom 100 % yang meliputi upaya
pengawasan penggunaan kondom dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kota Tanjungbalai
dan Badan Pemberdayaan Masyarakat, Perempuan dan Keluarga
Berencana Kota Tanjungbalai atau instasi lain yang dihunjuk untuk
itu, dengan melakukan pemeriksaan laboratorium berkala terhadap para penjaja
seks, akan adanya infeksi HIV - AIDS dan IMS dengan menghormati HAM dan harkat
martabat yang bersangkutan.”
Karena Pemkot Tanjungbalai
tidak melokalisir pelacuran tentulah pekerja seks tidak terjangkau karena
mobilitas mereka yang tinggi. Lain lain halnya kalau pelacuran dilokalisir,
maka germo atau mucikari akan mengawasi pekerja seks yang menjadi ’anak
buah’-nya.
Sama seperti program
penanggulangan HIV/AIDS nasional dan penanggulangan di perda-perda AIDS, perda
ini pun menanggulangi HIV/AIDS di hilir.
Lihat saja di pasal 4 ayat 4
huruf e: ”mendorong dan melaksanakan test dan konseling HIV – AIDS dan IMS
secara sukarela terutama bagi kelompok rawan”.
Pasal ini menunjukkan Pemkot
Tanjungbalai membiarkan penduduk tertular HIV dahulu baru ditangani, al.
melalui tes HIV dan IMS.
Celakanya, yang ’ditembak’
hanya kelompok rawan yang secara tersirat adalah pekerja seks. Padahal, yang
menularkan HIV dan IMS atau dua-duanya sekaligus kepada pekerja seks adalah
laki-laki dewasa penduduk Kota Tanjungbalai, asli atau pendatang.
Salah satu persoalan besar
terkait epidemi HIV di Indonesia adalah kian banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi
pada bayi. Mereka tertular dari ibunya, sedangkan ibunya tertular dari suami.
Untuk itu diperlukan cara yang
konkret untuk mencegah penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Di
pasal 8 ayat 4 disebutkan: ”Program pencegahan penularan HIV - AIDS dan IMS
dilaksanakan dengan memperhatikan dan mengenali kelompok-kelompok sasaran yang
terkait yaitu kelompok berisiko tertular melalui ibu-bayi dengan upaya
membatasi perluasan penularannya dilaksanakan melalui Program Pencegahan
Penularan dari ibu ke bayinya.”
Tapi, dalam perda ini tidak ada
mekanisme yang konkret untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS pada ibu hamil. Maka,
program dimaksud tidak akan efektif sehingga jumlah bayi yang lahir dengan
HIV/AIDS akan terus bertambah.
Yang menjadi mata rantai
penyebaran HIV di Kota Tanjungbalai adalah laki-laki dan perempuan yang
melakukan perilaku (a), (b) dan (c) di atas. Maka, yang diperlukan dalam perda
adalah intervensi terhadap perilaku tsb. untuk menurunkan insiden infeksi HIV
baru.
Karena dalam perda ini tidak
ada pasal yang memberikan langkah konkret untuk mencegah insiden penularan HIV
di hulu, maka sudah bisa dipastikan penyebaran HIV, al. melalui hubungan
seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah akan terus terjadi, terutama
bagi penduduk dewasa yang perilakunya berisiko tertular HIV, seperti (a), (b)
dan (c).
Yang diperlukan dalam bentuk
peraturan, dalam hal ini perda, adalah cara-cara pencegahan yang konkret dengan
intervensi yang akurat, terutama terhadap perilaku seksual yang berisiko. ***[AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.