Media Watch (4/10-2012) –
Peraturan Daerah (Perda) Kota Bekasi No 3 Tahun 2009 tentang Pencegahan dan
Penanggulangan HIV dan AIDS di Kota Bekasi yang disahkan tanggal 3 Juli 2009
merupakan perda ke-38 dari 56 perda sejenis di Indonesia.
Karena
judul perda itu adalah pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS, apakah ada pasal
yang konkret dalam perda untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan
HIV/AIDS?
Di pasal 1 ayat 13 disebutkan: “Pencegahan adalah upaya-upaya
agar seseorang tidak tertular virus HIV.”
Lalu, apa yang ditawarkan perda ini untuk mencapai pasal 1
ayat 13 tersebut.? Ternyata tidak ada!
Pada Bab III Pencegahan dan Penanggulangan pun tidak ada
penjelasan tentang cara-cara mencegah penularan HIV/AIDS yang konkret.
Di pasal 6 ayat d: “Kebijakan pencegahan dan penanggulangan
HIV dan AIDS adalah tanggung jawab pemerintah daerah dan masyarakat Kota Bekasi
dalam rangka mencegah dan menanggulangi HIV dan AIDS dengan cara menetapkan
kebijakan yang menjamin efektivitas usaha pencegahan dan penanggulangan HIV dan
AIDS guna melindungi setiap orang dari infeksi HIV termasuk populasi rawan dapat
dilakukan dengan mengembangkan jejaring untuk mengembangkan pelaksanaan program
penggunaan pengaman dalam melakukan hubungan seksual beresiko dan alat suntik
steril pada lingkungan populasi perilaku resiko tinggi.”
Apa yang dimaksud dengan pengaman? Pada pasal 1 ayat 15
disebutkan: “Pengaman adalah sarung karet yang dipasang pada alat kelamin baik
laki-laki maupun wanita pada waktu melakukan hubungan seksual dengan maksud
untuk mencegah penularan penyakit akibat hubungan seksual maupun pencegahan
kehamilan.”
Definisi ini konotatif karena tidak semua sarung karet berfungsi
sebagagi alat untuk menceah penularan penyakit dan kehamilan. Mengapa memakai
kata ‘pengaman’? Itu terjadi karena perda ini dirancang dengan pijakan moral
bukan fakta medis.
Yang bisa dipakai untuk mencegah penularan penyakit dan
kehamilan melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, adalah kondom.
Bagaimana cara memantau penggunaan ‘pengaman’ pada hubungan
seksual berisiko?
Upaya untuk mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual
berisiko, yaitu yang dilakukan dengan PSK, hanya efektif kalau pelacuran di
lokalisir.
Pemkot Bekasi dan DPRD Kota Bekasi boleh-boleh saja menepuk
dada dengan mengatakan: Di Kota Bekasi tidak ada pelacuran!
Tapi, tunggu dulu: Apakah Pemkot Bekasi dan DPRD Kota Bekasi
bisa menjamin di Kota Bekasi tidak ada praktek pelacuran?
Kalau Pemkot Bekasi dan DPRD Kota Bekasi bisa menjamin, maka
penyebaran HIV/AIDS di Kota Bekasi bukan melalui hubungan seksual. Maka, perlu
dicari faktor risiko lain.
Tapi, kalau Pemkot Bekasi dan DPRD Kota Bekasi tidak bisa
menjamin, maka penyebaran HIV/AIDS di Kota Bekasi didorong oleh hubungan
seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dari laki-laki dewasa ke PSK
dan sebaliknya, serta dari laki-laki dewasa yang menularkan HIV kepada PSK dan
laki-laki yang tertular HIV cari PSK ke pasangan mereka, seperti istri, pacar,
selingkuhan, dll.
Kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga membuktikan ada di
antara suami mereka yang melacur tanpa kondom dengan PSK di Kota Bekasi atau di
luar Kota Bekasi.
Sedangkan di di pasal
9 ayat (1) disebutkan: “Dalam rangka pencegahan penularan HIV dilakukan
test HIV secara sukarela pada populasi resiko tinggi.”
Dalam penjelasan di pasal 1 tidak ada disebut ‘populai resiko
tingg’, yang ada di ayat 8 disebutkan: “Populasi rawan resiko adalah populasi
yang mempunyai prilaku resiko tinggi terhadap penularan HIV dan AIDS yaitu
penjaja seks, pelanggan penjaja seks, pasangan tetap dari penjaja seks, populasi
lain dari pria berhubungan seks dengan pria, warga binaan pemasyarakatan, anak
jalanan, pengguna napza suntik yang tidak menggunakan jarum suntik steril.”
Kalau yang dimaksud populasi resiko tinggi pada pasal 9 ayat
1 adalah yang disebutkan di pasal 1 ayat 8, maka ada beberapa hal yang tidak
akurat.
Pertama, penggunaan
kata penjaja seks tidak tepat dan merupakan perbuatan yang merendahkan harkat
dan martabat manusia karena kalau penjaja seks yang dimaksud adalah pekerja
seks komerisal (PSK), mereka sama sekali tidak menjajakan (diri), atau ‘barang
dagangan’-nya.(Lihat: Materi KIE HIV/AIDS yang Merendahkan Harkat dan
Martabat Manusia - http://www.aidsindonesia.com/2012/09/materi-kie-hivaids-yang-merendahkan.html).
Celakanya, di pasal 1
ayat 21 disebutkan: “Penjaja seks adalah seorang laki-laki, perempuan atau
waria yang menyediakan dirinya untuk melakukan hubungan seksual dengan mendapat
imbalan.”
Kedua, tes HIV
terhadap PSK tidak akan efektif karena yang menularkan HIV kepada PSK justru
laki-laki dewasa yang bisa saja penduduk Kota yang dalam kehidupan sehari-hari
bisa sebagai seorang suami.
Ketiga, bagaimana cara
untuk mengetahui siapa saja yang menjadi pelanggan PSK?
Keempat, bagaimana cara
untuk mengetahui siapa saja laki-laki yang suka seks laki-lak?
Selain itu tes HIV dengan rapid test dan ELISA akan
menghadapi masa jendela yaitu rentang waktu antara tertular HIV sampai tiga
bulan. Jika tes dilakukan pada masa jendela maka hasil tes bisa negatif palsu
(HIV sudah ada di dalam darah tapi tidak terdeteksi karena belum ada antibody
HIV).
Di Bab V Peran Serta Masyarakat di pasal 14 ayat (1) disebutkan: Masyarakat memiliki kesempatan
yang sama untuk berperan serta dalam kegiatan pencegahan dan penanggulangan HIV
dan AIDS dengan cara:
a. berperilaku hidup sehat;
b. meningkatkan keimanan, ketakwaan dan ketahanan keluarga
untuk mencegah penularan HIV/AIDS;
Pernyataan pada huruf a mengesankan orang-orang yang tertular
HIV karena tidak berperilaku hidup yang sehat. Ini akan mendorong stigma (cap
buruk) terhadap orang-orang yang mengidap HIV/AIDS.
Begitu pula dengan pernyataan b sama sekali tidak ada
kaitannya dengan penularan HIV.
(a) Apa alat ukur iman dan taqwa?
(b) Siapa yang berkompeten mengukur iman dan taqwa?
(c) Bagaimana ukuran iman dan taqwa yang bisa mencegah
HIV/AIDS?
‘Ketahanan keluarga’ juga tidak ada kaitannya dengan
penularan HIV/AIDS. Hal itu juga mengesankan orang-orang yang tertular HIV
terjadi karena tidak mempunyai ketahanan keluarga.
Perda ini sudah hampir tiga tahun diundangkan, apakah perda
ini bisa mencegah dan menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di Kota Bekasi?
Kasus
kumulatif HIV/AIDS di Kota Bekasi dari
tahun 1998-2011 tercatat 1.264 terdiri atas
570 HIV dan 694 AIDS (Pos Kota, 3/10-2012).
Yang jelas kasus HIV/AIDS terdeteksi pada ibu-ibu rumah
tangga. Oktober 2011 dilaporkan ada enam ibu hamil di Kota Bekasi yang
terdeteksi mengidap HIV/AIDS (Pos Kota, 27/10-2011). Ini membuktikan suami
mereka melacur tanpa kondom, al. dengan PSK. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.