Pemkab Manokwari, Prov Papua
Barat, menelurkan Peraturan Daerah (Perda) No 6 Tahun 2006 tentang Pencegahan,
Penanggulangan HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual yang diberlakukan mulai
tanggal 1 Desember 2006.
Perda Kab Manokwari itu
merupakan perda ke-10 dari 58 perda sejenis yang ada di Indonesia, satu
peraturan gubernur, dan satu peraturan walikota. Tapi, perda-perda itu hanya copy-paste
dan tidak menukik ke akar persoalan sehingga tidak bekerja dengan efektif.
Perda ini mengatur
penanggulangan HIV dan IMS, tapi cara-cara penularan HIV dan IMS dalam perda
ini tidak akurat.
Lihat saja pasal 18 ini: HIV
dapat menular kepada orang lain dengan cara-cara: a. Hubungan seksual yang
berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan kondom.
Seseorang tertular HIV melalui
hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, bisa terjadi kalau salah satu dari
pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom.
Melakukan hubungan seksual
tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti tidak otomatis tertular HIV,
tapi perilaku ini berisiko tertular HIV karena ada kemungkinan salah satu dari
pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS.
Yang luput dari perda ini
adalah bahwa banyak lak-laki ’hidung belang’ yang mempunyai PSK sebagai
’pasangan tetap’. Artinya, kalau mereka melacur mereka selalu ’memakai’ PSK
yang sama. Karena informasi yang tidak akurat, maka banyak laki-laki yang
merasa dirinya tidak berisiko tertular HIV karena dia tidak berganti-ganti
pasangan sehingga tidak perlu memakai kondom.
Di pasal 1 ayat 38 disebutkan:
”Pencegahan adalah tindakan memberikan kesadaran kepada anggota masyarakat agar
berupaya mengendalikan diri agar terhindar dari penularan penyakit HIV/AIDS dan
IMS.”
Bunyi ayat itu tidak konkret
karena yang dibutuhkan adalah cara yang konkret. Melindungi diri agar tidak
tertular HIV melalui hubungan seksual adalah dengan memakai kondom pada setiap
kali sanggama. Sayang, dalam perda tidak ada cara pencegahan disebutkan cara
pencegahan yang konkret ini.
Di pasal 19 disebutkan: IMS
dapat menular kepada orang lain dengan cara melakukan hubungan seksual yang
berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan kondom.
Pernyataan dalam pasal ini pun
tidak akurat karena risiko tertular IMS melalui hubungan seksual terjadi kalau
salah satu dari pasangan tsb. mengidap IMS dan laki-laki tidak memakai kondom
setiap kali sanggama.
Bertolak dari defenisi yang
salah tentang cara penularan HIV dan IMS itu, maka sudah bisa dipastikan cara
pencegahan pun tidak akan akurat. Yang lebih parah adalah tidak ada intervensi
yang konkret terhadap perilaku laki-laki di lokalisasi Maruni 55.
Coba simak padal 20 dan 21 tentang
pencegahan HIV dan IMS.
Pasal 20 disebutkan: Pencegahan
penularan HIV dilakukan dengan cara-cara: a. Puasa Seks. b. Setia pada pasangan
tetap. c. Tidak melakukan kegiatan seksual berganti-ganti pasangan. d.
Menggunakan kondom pada saat kontak seksual yang beresiko.
Terkait dengan (a) yaitu ’puasa
seks’ tentulah menentang kodrat karena mengabaikan dorongan seksual yang
menjadi bagian dari metabolisme tubuh. Yang jelas mencegah penularan HIV
melalui hubungan seksual adalah tidak melakukan hubungan seksual, di dalam dan
di luar nikah, dengan yang mengidap HIV/AIDS.
Sedangkan (b) yaitu ’setia pada
pasangan tetap’ juga tidak akurat karena kalau yang dijadikan pasangan yang
setia mengidap HIV/AIDS, maka tetap saja ada risiko penularan HIV jika
laki-laki tidak memakai kondom. Bahkan, banyak laki-laki ’hidung belang’ yang
mempunyai pasangan setia di kalangan pekerja seks komersial (PSK), baik PSK
langsung maupun PSK tidak langsung.
Terkait dengan (c) yaitu ’tidak
melakukan kegiatan seksual berganti-ganti pasangan’ juga tidak akurat. Kalau
pasangan yang berganti-ganti tidak mengidap HIV/AIDS, maka tidak ada risiko
penularan HIV. Jika dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti dengan
kondisi laki-laki selalu memakai kondom, maka risiko tertular HIV bisa dicegah.
Terkait dengan (d) yaitu
’menggunakan kondom pada saat kontak seksual yang beresiko’ juga tidak jelas
karena dalam perda tidak ada penjelasan tentang ’kontak seksual yang beresiko’.
Ada kesan yang salah terkait
dengan risiko penularan HIV melalui hubungan seksual, yaitu penularan HIV
melalui hubungan seksual selalu dikait-kaitkan dengan seks di luar nikah,
seperti melacur, ’seks bebas’, ’jajan’, selingkuh, homoseksual, dll. Padahal,
risiko penularan melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar
nikah.
Di pasal 27 tentang partisipasi
masyarakat dalam penanggulangan HIV/AIDS juga tidak konkret karena hanya
disebutkan masyarakat didornong membentuk lembaga yang berkecimpung di sektor
HIV/AIDS, memberikan masukan kepada pemerintah, dan menyebarluaskan informasi
HIV/AIDS.
Kalau saja perda itu dirancang
dengan pijakan fakta, maka pasal yang perlu ada adalah:
Setiap laki-laki dewasa
dilarang melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah,
dengan perempuan yang berganti-ganti di Kab Manokwari, di luar Kab Manokwari
dan di luar negeri.
(2) Setiap perempuan dewasa
dilarang melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan
laki-laki yang berganti-ganti tanpa kondom di Kab Manokwari, di luar Kab
Manokwari dan di luar negeri.
(3). Laki-laki dewasa dilarang
melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan
yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK)
langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan
lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak
langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek cafe’, ’cewek pub’,
’cewek panti pijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG’, ’pelacur kelas tinggi’,
’call girl’, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai di di Kab Manokwari, di
luar Kab Manokwari dan di luar negeri.
Tiga hal di atas merupakan
pintu utama bagi HIV/AIDS ’masuk’ ke Kab Manokwari. Dengan melakukan intervensi
yang konkret terhadap tiga pintu di atas, maka insiden infeksi HIV baru bisa
diturunkan sehingga penyebaran HIV/AIDS di masyarakat pun akan menurun.
Dalam perda ini sama sekali
tidak ada langkah konkret Pemkab Manokwari untuk menurunkan insiden infeksi HIV
baru pada laki-laki melalui hubungan seksual di lokalisasi Maruni 55. Ini
menunjukkan Pemkab Manokwari mengabaikan praktek pelacuran dan perilaku
berisiko laki-laki dewasa penduduk Kab Manokwari, asli atau pendatang.
Karena semua perda dirancang
dengan pijakan moral, maka pasal-pasal yang ada pun hanya nomatif.
Penanggulangan di awang-awang.
Maka, tidaklah mengherankan
kalalu kelak Pemkab Manokwari akan menghadapi ’panen AIDS’ karena penyebaran di
masyarakat terus terjadi. ***[AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.