10 Oktober 2012

Perda AIDS Kab. Manokwari, Prov Papua Barat



Pemkab Manokwari, Prov Papua Barat, menelurkan Peraturan Daerah (Perda) No 6 Tahun 2006 tentang Pencegahan, Penanggulangan HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual yang diberlakukan mulai tanggal 1 Desember 2006.

Perda Kab Manokwari itu merupakan perda ke-10 dari 58 perda sejenis yang ada di Indonesia, satu peraturan gubernur, dan satu peraturan walikota. Tapi, perda-perda itu hanya copy-paste dan tidak menukik ke akar persoalan sehingga tidak bekerja dengan efektif.

Perda ini mengatur penanggulangan HIV dan IMS, tapi cara-cara penularan HIV dan IMS dalam perda ini tidak akurat.


Lihat saja pasal 18 ini: HIV dapat menular kepada orang lain dengan cara-cara: a. Hubungan seksual yang berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan kondom.

Seseorang tertular HIV melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, bisa terjadi kalau salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom.

Melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti tidak otomatis tertular HIV, tapi perilaku ini berisiko tertular HIV karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS.

Yang luput dari perda ini adalah bahwa banyak lak-laki ’hidung belang’ yang mempunyai PSK sebagai ’pasangan tetap’. Artinya, kalau mereka melacur mereka selalu ’memakai’ PSK yang sama. Karena informasi yang tidak akurat, maka banyak laki-laki yang merasa dirinya tidak berisiko tertular HIV karena dia tidak berganti-ganti pasangan sehingga tidak perlu memakai kondom.

Di pasal 1 ayat 38 disebutkan: ”Pencegahan adalah tindakan memberikan kesadaran kepada anggota masyarakat agar berupaya mengendalikan diri agar terhindar dari penularan penyakit HIV/AIDS dan IMS.”

Bunyi ayat itu tidak konkret karena yang dibutuhkan adalah cara yang konkret. Melindungi diri agar tidak tertular HIV melalui hubungan seksual adalah dengan memakai kondom pada setiap kali sanggama. Sayang, dalam perda tidak ada cara pencegahan disebutkan cara pencegahan yang konkret ini.

Di pasal 19 disebutkan: IMS dapat menular kepada orang lain dengan cara melakukan hubungan seksual yang berganti-ganti pasangan tanpa menggunakan kondom.

Pernyataan dalam pasal ini pun tidak akurat karena risiko tertular IMS melalui hubungan seksual terjadi kalau salah satu dari pasangan tsb. mengidap IMS dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama.

Bertolak dari defenisi yang salah tentang cara penularan HIV dan IMS itu, maka sudah bisa dipastikan cara pencegahan pun tidak akan akurat. Yang lebih parah adalah tidak ada intervensi yang konkret terhadap perilaku laki-laki di lokalisasi Maruni 55.

Coba simak padal 20 dan 21 tentang pencegahan HIV dan IMS.

Pasal 20 disebutkan: Pencegahan penularan HIV dilakukan dengan cara-cara: a. Puasa Seks. b. Setia pada pasangan tetap. c. Tidak melakukan kegiatan seksual berganti-ganti pasangan. d. Menggunakan kondom pada saat kontak seksual yang beresiko.

Terkait dengan (a) yaitu ’puasa seks’ tentulah menentang kodrat karena mengabaikan dorongan seksual yang menjadi bagian dari metabolisme tubuh. Yang jelas mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual adalah tidak melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan yang mengidap HIV/AIDS.

Sedangkan (b) yaitu ’setia pada pasangan tetap’ juga tidak akurat karena kalau yang dijadikan pasangan yang setia mengidap HIV/AIDS, maka tetap saja ada risiko penularan HIV jika laki-laki tidak memakai kondom. Bahkan, banyak laki-laki ’hidung belang’ yang mempunyai pasangan setia di kalangan pekerja seks komersial (PSK), baik PSK langsung maupun PSK tidak langsung.

Terkait dengan (c) yaitu ’tidak melakukan kegiatan seksual berganti-ganti pasangan’ juga tidak akurat. Kalau pasangan yang berganti-ganti tidak mengidap HIV/AIDS, maka tidak ada risiko penularan HIV. Jika dilakukan dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki selalu memakai kondom, maka risiko tertular HIV bisa dicegah.

Terkait dengan (d) yaitu ’menggunakan kondom pada saat kontak seksual yang beresiko’ juga tidak jelas karena dalam perda tidak ada penjelasan tentang ’kontak seksual yang beresiko’.

Ada kesan yang salah terkait dengan risiko penularan HIV melalui hubungan seksual, yaitu penularan HIV melalui hubungan seksual selalu dikait-kaitkan dengan seks di luar nikah, seperti melacur, ’seks bebas’, ’jajan’, selingkuh, homoseksual, dll. Padahal, risiko penularan melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah.

Di pasal 27 tentang partisipasi masyarakat dalam penanggulangan HIV/AIDS juga tidak konkret karena hanya disebutkan masyarakat didornong membentuk lembaga yang berkecimpung di sektor HIV/AIDS, memberikan masukan kepada pemerintah, dan menyebarluaskan informasi HIV/AIDS.

Kalau saja perda itu dirancang dengan pijakan fakta, maka pasal yang perlu ada adalah:

Setiap laki-laki dewasa dilarang melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di Kab Manokwari, di luar Kab Manokwari dan di luar negeri.

(2) Setiap perempuan dewasa dilarang melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti tanpa kondom di Kab Manokwari, di luar Kab Manokwari dan di luar negeri.

(3). Laki-laki dewasa dilarang melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek cafe’, ’cewek pub’, ’cewek panti pijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG’, ’pelacur kelas tinggi’, ’call girl’, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai di di Kab Manokwari, di luar Kab Manokwari dan di luar negeri.

Tiga hal di atas merupakan pintu utama bagi HIV/AIDS ’masuk’ ke Kab Manokwari. Dengan melakukan intervensi yang konkret terhadap tiga pintu di atas, maka insiden infeksi HIV baru bisa diturunkan sehingga penyebaran HIV/AIDS di masyarakat pun akan menurun.

Dalam perda ini sama sekali tidak ada langkah konkret Pemkab Manokwari untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual di lokalisasi Maruni 55. Ini menunjukkan Pemkab Manokwari mengabaikan praktek pelacuran dan perilaku berisiko laki-laki dewasa penduduk Kab Manokwari, asli atau pendatang.

Karena semua perda dirancang dengan pijakan moral, maka pasal-pasal yang ada pun hanya nomatif. Penanggulangan di awang-awang.

Maka, tidaklah mengherankan kalalu kelak Pemkab Manokwari akan menghadapi ’panen AIDS’ karena penyebaran di masyarakat terus terjadi. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.