
Pemahaman yang
akurat tentang penularan dan pencegahan HIV merupakan salah satu kunci
keberhasilan dalam upaya penanggulangan epidemi HIV/AIDS. Hal ini sejalan
dengan pasal 14 ayat 1 huruf a pada Perda AIDS Jakarta yang menyebutkan “Upaya
pencegahan HIV dan AIDS pada setiap orang dilakukan melalui (a) peningkatan
pengetahuan tentang tata cara pencegahan, penularan dan akibat yang
ditimbulkan.”
Tapi, hal ini
tidak akan tercapai kalau materi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) yang
disampaikan kepada masyarakat melalui berita, ceramah, pidato, dan peraturan,
seperti Perda, tetap bermuatan norma, moral, dan agama. Soalnya, kalau materi
KIE tentang HIV/AIDS bermuatan norma, moral, dan agama maka yang muncul hanya
mitos (anggapan yang salah). HIV/AIDS adalah fakta medis. Artinya, HIV/AIDS
dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran sehingga cara-cara
pencegahannya pun dapat dilakukan secara medis.
Maka,
prinsip-prinsip mencegah penularan HIV yang diatur pada pasal 15 ayat a dan b
tidak mendukung pasal 14 ayat 1 huruf a. Pasal 15 disebutkan “Kegiatan
pencegahan dilaksanakan sejalan dengan kegiatan promosi melalui komunikasi,
informasi dan edukasi dengan memperhatikan prinsip-prinsip pencegahan HIV dan
AIDS yaitu: (a) tidak melakukan hubungan seksual bagi yang belum menikah, dan
(b) hanya melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang sah.
Alat
Pencegah
Pernyataan pada
pasal 15 ayat 1 huruf a dan b mengesankan bahwa penularan HIV terjadi karena:
(a) hubungan seks sebelum menikah, dan (b) hubungan seks dengan pasangan yang
tidak sah. Ini merupakan pernyataan yang normative bukan faktual. Juga tidak
akurat karena tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan hubungan seksual
sebelum menikah dan hubungan seksual dengan pasangan yang tidak sah.
Penularan HIV
melalui hubungan seks (bisa) terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah
satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom
setiap kali melakukan hubungan seks. Ini fatka medis. Sebaliknya, kalau satu
pasangan dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan biar pun
hubungan seks dilakukan sebelum menikah dan di luar nikah. Penularan HIV
melalui hubungan seks (bisa) terjadi karena kondisi hubungan seks (salah satu
atau kedua-duanya HIV-positif dan laki-laki tidak memakai kondom) bukan karena
sifat hubungan seks (sebelum menikah atau di luar nikah).
Sedangkan pada
ayat c disebutkan pula pencegahan HIV: menggunakan alat pencegah penularan bagi
pasangan yang sah dengan HIV postif. Lagi-lagi pernyataan ini moralistis
sehingga tidak ada maknanya. Apa yang dimaksud dengan alat pencegah?
Terkait dengan
epidemi HIV penularan justru banyak terjadi tanpa disadari karena banyak orang
yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Hal ini terjadi karena selama
ini materi KIE tentang HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral, dan agama sehingga
fakta medis tentang HIV/AIDS kabur sedangkan yang muncul hanya mitos. Misalnya,
mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, pelacuran, seks sebelum menikah,
seks di luar nikah, jajan, selingkuh, seks menyimpang, waria dan homoseksual.
Padahal, secara medis penularan HIV melalui hubungan seks di dalam atau di luar
nikah bisa terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu HIV-positif dan
laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan sanggama. Sebaliknya,
kalau dua-duanya HIV-negatif maka tidak ada risiko penularan HIV apa pun jenis,
konidisi, dan sifat hubungan seks yang mereka lakukan.
Pada pasal 15 ayat
g angka 2 terkait dengan pencegahan disebutkan: setiap penanggung jawab tempat
yang diduga berpotensi untuk terjadinya perilaku berisiko tertular HIV wajib
memeriksakan kesehatan secara berkala bagi karyawan yang menjadi tanggung
jawabnya. Pasal ini tidak sejalan dengan pasal 15 ayat c karena yang diwajibkan
memakai ‘alat pencegah’ hanya pasangan yang sah sedangkan pada kegiatan (baca:
hubungan seksual) yang berisiko terjadi penularan HIV tidak diwajibkan memakai
‘alat pencegah’. Padahal, penularan HIV justru lebih banyak terjadi pada
kegiatan-kegiatan yang berisiko tinggi yaitu: (a) hubungan seks di dalam atau
di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti, dan (b) hubungan seks di
dalam atau di luar nikah dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan,
seperti pekerja seks.
Penyebutan
’tempat yang diduga berpotensi untuk terjadinya perilaku berisiko tertular HIV’
tidak akurat karena semua tempat di muka bumi ini, rumah, apartemen, kantor,
losmen, hotel, taman, pantai, ladang, hutan, dll. bisa menjadi tempat yang
berpotensi terjadi penularan HIV. Soalnya, perilaku berisiko tinggi tertular
HIV bisa terjadi di semua tempat.
Kalau pasal ini
mau ’menembak’ tempat-tempat yang menyediakan tempat untuk hubungan seks juga
tidak pas karena yang menularkan HIV kepada karyawan di tempat-tempat itu
justru laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami,
lajang, duda, remaja yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, mahasiswa,
pelajar, sopir, peccopet, perampok, dll.
Rapid
Test
Jika Perda ini
dimaksudkan untuk memutus mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar
penduduk maka yang perlu diatur adalah kegiatan-kegiatan yang berisiko tinggi
tertular HIV. Harus ada pasal yang mengatur hal ini yang berbunyi: “Setiap
orang yang melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan
yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering bergangi-ganti pasangan
diwajibkan memakai kondom.” Selanjutnya disebutkan pula: “Setiap orang yang
pernah melakukan hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan
pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering bergangi-ganti
pasangan diwajibkan melakukan tes HIV.”
Sayang, dalam
Perda ini, termasuk perda-perda AIDS lain di Indonesia, tidak ada satu pasal
pun yang yang mengatur upaya-upaya pencegahan dan memutus mata rantai
penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk secara eksplisit. Semua
aturan hanya berdasarkan norma, moral, dan agama yang sangat implisit yang
justru tidak ada hubungannya secara langsung dengan penularan HIV.
Seperti pada
pasal 15 ayat g angka 2 yang mengatur pemeriksaan kesehatan secara berkala
sangat riskan terhadap penyebaran HIV. Seorang karyawan yang melakukan hubungan
seks tanpa kondom dengan tamu-tamunya berisiko tinggi tertular HIV karena ada
kemungkinan salah satu dari tamunya HIV-positif. Sejak karyawan tadi tertular
HIV maka sejak itu pula dia bisa menularkan HIV kepada tamu-tamunya. Nah, kalau
pemeriksaan kesehatan dilakukan setiap minggu, setiap bulan atau setiap
triwulan maka pada rentang waktu sebelum tes karyawan tadi sudah menularkan HIV
kepada tamu-tamunya.
Pemeriksaan
kesehatan berkala belum tentu bisa mendeteksi HIV pada karyawan tempat-tempat
yang diduga berpotensi terjadi perilaku berisiko tertular HIV. Soalnya, kalau
tes HIV dilakukan dengan rapid test atau ELISA maka tes ini
baru akurat kalau yang dites sudah tertular HIV lebih dari tiga bulan.
Epidemi HIV
menjadi persoalan besar karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah
tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala, dan ciri-ciri yang khas AIDS pada
fisiknya sebelum masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tertular). Dalam kaitan
ini yang lebih pas untuk menanggulangi penyebaran HIV adalah orang per orang
karena perilaku berisiko tinggi tertular HIV dilakukan oleh orang per orang.
Pada pasal 25
ayat 1 disebutkan ”Peran masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS
dilaksanakan melalui: (a) peningkatan ketahanan agama dan keluarga untuk
mencegah penularan HIV dan AIDS serta tidak bersikap diskriminatif terhada
ODHA, (b) pengembangan perilaku pola hidup sehat dan bertanggung jawab dalam
keluarga.” Pasal ini pun sangat normatif karena tidak ada kaitan langsung
antara penularan HIV dengan agama, keluarga, diskriminasi terhadap ODHA, dan
pola hidup sehat.
Selama
informasi tentang HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral, dan agama maka selama
itu pula yang ditangkap masyarakat hanya mitos. Akibatnya, upaya pencegahan pun
tidak akan berhasil karena fakta tentang cara-cara penularan dan pencegahan
yang konkret tidak pernah sampai ke masyarakat. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.