01 Oktober 2012

Perda AIDS Daerah Istimewa Yogyakarta



Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta merupakan daerah ke-50 dari 57 daerah mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota yang menelurkan Perda AIDS. Perda Prov DI Yogyakarta No 12 Tahun 2010 tanggal 1 Desember 2010 tentang Penanggulangan Human IMMUNODEFFICIENCY Virus (HIV) dan Acquired immuno Defficiency Sindrome (AIDS).

Peraturan Daerah (Perda) AIDS pertama ‘lahir’ di Kab Merauke (2003). Tapi, karena program yang dijadikan acuan dalam perda hanya ‘dicangkok’ dan ‘diselipkan’ ke perda maka hasilnya pun nol besar.

Pada beberapa Perda AIDS ada ‘program cangkokan’ yaitu kewajiban memakai kondom pada hubungan seksual yang berisiko. Tapi, ada persoalan besar yaitu di Indonesia tidak ada germo yang memegang izin usaha pelacuran sehingga penerapan sanksi hukum tidak bisa diterapkan.

Program di Thailand dipantau melalui survailans IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungans seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, seperti GO (kencing nanah), sifilis (raja singa), klamidia, hepatitis B, dll.) terhadap pekerja seks komersial di satu lokalisasi atau rumah bordir. Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS maka itu membuktikan PSK tadi meladeni laki-laki ‘hibung belang’ tanpa kondom. Germo diberikan sanksi hukum mulai dari teguran sampai pencabutan izin usaha.

Pasal-pasal Moral

Dalam beberapa Perda AIDS yang diberikan sanksi justru PSK. Mekanisme pemantauan pun tidak konkret. Pemkab Merauke melalui KPAD Kab Merauke sudah ’menyeret’ beberapa PSK ke pengadilan dengan tuduhan meladeni laki-laki tanpa kondom. Tanpa disadari oleh penguasa di Merauke satu PSK ditangkap maka puluhan bahkan ratusan PSK siap mengisi ’lowongan’ yang ditinggalkan PSK yang ditangkap. Tentu berbeda jika yang diberikan sanksi germo. Mengurus izin usaha tidak semudah mencari PSK ’baru’.

Biar pun tidak ada laporan tentang keberhasilan Perda AIDS dalam menangulangi epidemi HIV, tapi daerah berlomba-lomba membuat perda. DI Yogyakarta pun ikut pula menelurkan Perda AIDS.

Dalam penjelasan umum disebutkan: Untuk memudahkan pencapaian penanggulangan HIV dan AIDS maka sasaran program dapat ditujukan kepada: (1) orang-orang yang karena lingkup pekerjaannya, lingkungan sosial, rendahnya status kesehatan, daya tahan dan kesejahteraan keluarga memiliki risiko untuk terpapar HIV; dan (2) orang-orang yang karena perilakunya seperti melakukan hubungan seks tanpa tindakan-tindakan pencegahan (mengetahui status HIV pasangan, memakai kondom), menggunakan jarum suntik atau alat yang digunakan untuk melukai kulit yang tidak steril (jarum suntik yang digunakan secara bersama-sama dalam menyuntik narkotika, alat tattoo dan tindik).

Persoalan besar pada epidemi HIV justru lebih dari 90 persen kasus penularan HIV terjadi tanpa disadari. Maka, penjelasan nomor 2 tidak relevan dengan realitas epidemi HIV di Yogyakarta. Dengan kasus kumulatif HIV/AIDS 1.208 (Juli 2010) tidak menunjukkan kasus yang sebenarnya ada di masyarakat karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (puncak gunung es di atas permukaan air laut) hanya bagian kecil dari kasus yang tidak terdeteksi (gunung es di bawah permukaan air laut).

Belakangan ini kasus HIV dan AIDS banyak terdeteksi di kalangan remaja. Tapi, ini tidak memupus kemungkinan kasus HIV dan AIDS yang lebih besar di kalangan laki-laki dewasa dan ibu-ibu rumah tangga karena kasus HIV dan AIDS banyak terdeteksi di kalangan remaja pengguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya). Remaja itu wajib tes HIV ketika mereka hendak menjalani rehabilitasi. Sedangkan kasus HIV dan AIDS di kalangan dewasa, dengan faktor risiko seksual dan narkoba, tidak banyak terdeteksi karena tidak ada mekanisme yang bisa ’memaksa’ kalangan dewasa menjalani tes HIV.

Kasus-kasus HIV dan AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat DI Yogyakarta akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS. Penduduk yang sudah mengidap HIV dan AIDS yang tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal. Salah satu buktinya adalah kasus-kasus HIV dan AIDS di kalangan ibu-ibu rumah tangga.

Perda AIDS Yogyakarta memang mengakomodir penyebaran HIV melalui hubungan seksual. Di pasal 15 ayat (1) disebutkan: ”Untuk mencegah potensi penularan HIV melalui hubungan seks, setiap orang yang berhubungan seks dengan seseorang yang diketahui atau patut diduga bahwa dirinya dan/atau pasangannya terinfeksi HIV wajib melindungi dirinya dan pasangannya dengan menggunakan alat yang dapat mencegah berpindahnya cairan tubuh yang mengandung virus HIV.”

Kewajiban memakai ’alat yang dapat mencegah perpindahan cairan tubuh yang mengandung HIV’ pada pasal itu tidak konkret karena orang-orang yang sudah mengidap HIV tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Orang-orang yang sudah mengidap HIV sama sekali tidak menunjukkan gejala yang khas AIDS pada fisiknya.

Apa, sih, ’alat yang dapat mencegah perpindahan cairan tubuh yang mengandung HIV’? Perda ini rupanya diselimuti moral sehingga arti ’alat yang dapat mencegah perpindahan cairan tubuh yang mengandung HIV’ tidak ada pada batang tubuh perda tapi ada pada penjelasan umum. Pada penjelasan pasal 15 ayat 1 disebutkan: Alat yang dapat mencegah berpindahnya cairan tubuh yang mengandung virus HIV yaitu kondom, gel yang mengandung obat antiretroviral, dan lain-lain.

Mengapa pada pasal 15 ayat 1 kata alat yang dapat mencegah berpindahnya cairan tubuh yang mengandung virus HIV tidak menyebut kondom secara eksplisit dan denotatif? Lagi-lagi ini menunjukkan moral dipakai sebagai landasan program penanggulangan epidemi HIV yang merupakan fakta medis. Kesan itu kian kuat karena di pasal 10 ayat 3 huruf b disebutkan pencegahan melalui promosi al. pengetahuan tentang perilaku hidup yang sehat dan berdasar nilai agama.

Peran Masyarakat

Apakah ada kaitan langsung antara ’hidup yang sehat’ dan ’nilai agama’ dengan penularan HIV? Tidak ada! Maka, perda ini pun lagi-lagi dibalut dengan moral sehingga menenggelamkan fakta medis tentang HIV dan AIDS.

Salah satu risiko penularan HIV terbesar adalah melalui hubungan seksual yang berisiko yaitu pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, di mana saja dan kapan saja dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di lokalisasi atau lokasi pelacuran, yang mengkal di losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (seperti, ’cewek bar’, ’cewek kampus’, ’anak sekolah’, WIL, ’selingkuhan’, gundik, ’ibu-ibu rumah tangga’, perempuan pemijat di panti pijat plus-plus, dll.) serta pelaku kawin-cerai.

Memang, di pasal 7 ayat a disebutkan: ”Setiap orang wajib menghindari perilaku berisiko tertular atau menularkan HIV.” Celakanya, penjelasan perilaku berisiko di perda ini tidak komprehensif, seperti yang pada pasal 1 ayat 20 ini: ”Perilaku berisiko adalah tindakan seseorang yang memungkinkan tertular atau menularkan HIV, seperti melakukan hubungan seksual berganti-ganti pasangan, melakukan hubungan seksual dengan ODHA, dan menggunakan jarum suntik tidak steril bersama-sama.”

Ada fakta yang luput dari perhatian perancang perda ini yaitu laki-laki ’hidung belang’ justru tidak ganti-ganti pasangan jika sanggama dengan PSK. Mereka mempunyai ’pasangan tetap’ di kalangan PSK. Akibatnya, mereka tidak merasa berisiko. Padahal, PSK yang mereka jadikan sebagai ’pasangan’ adalah orang yang berisiko tinggi tertular HIV.

Kegiatan berisiko tertular HIV memang bisa saja di mana saja, seperti di lokasi atau lokalisasi pelacuran serta rumah bordir jika tidak ada program ’wajib kondom 100 persen’. Di Yogyakarta kawasan ’sarkem’ (Jalan Pasar Kembang di sisi selatan Stasiun KA Tugu) sudah dikenal sebagai lokasi pelacuran. Dalam perda ini di pasal 14 ayat 1 disebutkan: Tempat Usaha yang kegiatannya berisiko menyebarkan HIV wajib menjalankan pencegahan penularan. Di ayat 2 disebutkan: Upaya pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. sterilisasi alat-alat yang digunakan pada pengguna usaha/jasa; dan b. menggunakan alat sekali pakai kepada pengguna usaha/jasa.

Pasal 14 jelas mengabaikan ’sarkem’ dan tempat-tempat lain, termasuk rumah kos, losmen, hotel melati dan hotel berbintang sebagai tempat yang bisa terjadi praktek pelacuran sebagai perilaku berisiko tertular HIV. Pengabaian kian jelas melalui penjelasan umum yang menyebutkan: “tempat usaha yang kegiatannya berisiko menyebarkan HIV” adalah tempat usaha yang memungkinkan berpindahnya cairan tubuh yang menularkan HIV dari satu orang ke orang lain, antara lain: potong rambut yang menggunakan pisau cukur, tempat pembuatan tindik dan pembuatan tato, tempat khitan, akupuntur, atau salon kecantikan.

Memang, kegiatan pelacuran di ’sarkem’ bukan tempat usaha yang memiliki izin, tapi kategorinya sebagai tempat usaha yang berisiko menyebarkan HIV karena di sana terjadi praktek pelacuran yang tidak menerapkan program ’wajib kondom 100 persen’.

Karena epidemi HIV sudah menyentuh semua aspek kehidupan maka diperlukan peran serta masyarakat dalam menanggulangi epidemi HIV. Pada pasal 28 ayat a disebutkan: Dalam penanggulangan HIV dan AIDS masyarakat secara mandiri dapat melakukan promosi penanggulangan HIV dan AIDS melalui komunikasi, informasi, dan edukasi. Ini normatif.

Padahal, yang diperlukan dari masyarakat adalah menghindari perilaku berisiko dan kepada yang pernah atau sering melakukan perilaku berisiko agar menjalani tes HIV secara sukarela.

Kabarnya, perda ini sebagai ’payung hukum’ sedangkan implementasinya dijalankan dengan peraturan gubernur (Pergub). Cuma, apakah kelak Pergub bisa lebih menukik ke pencegahan dan penanggulangan epidemi HIV dengan pasal-pasal yang konkret? Kita tunggu. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.