20 Oktober 2012

Penanggulangan HIV/AIDS di Perda AIDS Kota Medan yang Tidak Membumi



Tanggapan Berita (19/10-2012) – “ …. Wali Kota Medan harus menyikapinya  melalui penerbitan Perwal, sebab dalam Perda tersebut menerapkan berbagai sanksi bagi penderita. Salah satunya  adalah bagi pihak yang terkena suspect HIV/AIDS dilarang melakukan hubungan intim secara lansung, tanpa menggunakan alat pengaman.” Ini pernyataan Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Medan Salman Alfarisi terkait dengan Perda AIDS Kota Medan (DPRD Pertanyakan Keseriusan Pemko Aplikasikan Perda HIV/AIDS, www.hariansumutpos.com, 26/9-2012).

Dari 56 perda yang ada tidak ada satu perda pun yang memberikan langkah yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS. Yang dimaksud Salman yaitu “terkena suspect HIV/AIDS dilarang melakukan hubungan intim secara lansung, tanpa menggunakan alat pengaman” menggambarkan pemahaman perancang perda itu terhadap HIV/AIDS tidak komprehensif.

Pertama, lebih dari 90 persen penularan HIV terjadi tanpa disadari. Ini terjadi karena orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV sehingga penularan pun terjadi tanpa disadari.

Kedua, tidak ada ‘suspect HIV/AIDS’ karena status HIV seseorang harus dibuktikan melalui tes HIV.

Ketiga, orang-orang yang sudah terdeteksi mengidap HIV/AIDS melalui tes HIV dengan standar prosedur tes HIV yang baku sudah berjanji akan menghentikan penularan HIV mulai dari dirinya.

Dalam Perda AIDS Kota Medan tak satu pun pasal yang konkret terkait dengan cara-cara mencegah penularan HV dan menanggulangi penyebaran HIV (Lihat: Perda AIDS Kota Medan - http://www.aidsindonesia.com/2012/10/perda-aids-kota-medan.html).  

Yang menjadi persoalan besar pada epidemi HIV/AIDS adalah penyebaran HIV yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dewasa yang perilaku seksnya berisiko, yaitu:

(a). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di Kota Medan, di luar Kota Medan atau di luar negeri.

(b)  Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti tanpa kondom di Kota Medan, di luar Kota Medan atau di luar negeri.

(c). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek cafe’, ’cewek pub’, ’cewek panti pijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG’, ’pelacur kelas tinggi’, ’call girl’, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai di Kota Medan, di luar Kota Medan atau di luar negeri.

(d). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom terkait dengan homseksual, yaitu: gay (seks anal) dan LSL (lelaki suka seks lelaki) juga seks anal di Kota Medan, di luar Kota Medan atau di luar negeri.

(e) Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom terkait dengan LSL (lelaki suka seks lelaki) melalui seks anal di Kota Medan, di luar Kota Medan atau di luar negeri.

Pertanyaan untuk Salman: Apakah Anda bisa menjamin tidak ada laki-laki  dan perempuan dewasa penduduk Kota Medan yang melakukan (a), (b), (c), (d) dan (e)?

Kalau jawaban Anda BISA, maka di Kota Medan tidak ada penyebaran HIV/AIDS dengan faktor risiko (mode of transmission) hubungan seksual, dalam hal ini heteroseksual.

Tapi, kalau jawaban Anda TIDAK BISA, maka persoalan besar yang dihadapi Pemko Medan adalah penyebaran HIV/AIDS dengan faktor risiko hubungan seksual.

Pertanyaan selanjutnya: Apakah dalam Perda AIDS Kota Medan ada langkah konkret berupa program yang konkret sebagai intervensi untuk perilaku (a), (b), (c), (d) dan (e)?

Tentu saja tidak ada!

Lihat saja pasal-pasal di perda semua hanya bersifat normatif tanpa program yang konkret.

Kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Medan yang terdeteksi sejak Januari 2006 sampai Mei 2012 tercatat 3.175. Tapi, perlu diingat bahwa kasus ini hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat karena penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (3.175) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar).

Menurut Salman, sampai saat yang kerap menjadi korban virus HIV/AIDS ini adalah ibu dan anak, karena tanpa kontrol sipenderita tetap saja melakukan hubungan intim dengan pasangannya tanpa mengunakan alat pengaman (alat kontrasepsi).

Yang perlu dikontrol bukan penularan dari suami ke istri, tapi perilaku suami, dalam hal ini laki-laki dewasa, ketika melacur. Artinya ada program yang konkret untuk mecegah penularan HIV dari laki-laki dewasa ke pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung serta penularan dari PSK langsung dan PSK tidak langsung ke laki-laki dewasa.

Selain itu tidak semua alat kontrasepsi (alat untuk mencegah kehamilan) bisa mencegah penularan HIV melalui hubungan seksuall di dalam dan di luar nikah. Yang bisa mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, adalah kondom.

Pertanyaan berikutnya: Apakah dalam Perda AIDS Kota Medan ada program yang konkret untuk mencegah penyebaran HIV di kalangan PSK?

Tentu saja tidak ada!

Salah satu langkah konkret yang bisa menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa adalah program ‘wajib kondom 100 persen’ pada laki-laki yang melacur dengan PSK langsung.

Celakanya, di Kota Medan tidak ada lokalisasi pelacuran. Maka, program penanggulangan HIV/AIDS melalui hubungan seksual dengan PSK tidak bisa dijalankan.

Pemko Medan boleh-boleh saja menepuk dada dengan mengatakan bahwa di Kota Medan tidak ada pelacuran dengan bukti tidak ada lokalisasi pelacuran.

Tapi, apakah Walikota Medan bisa menjamin di Kota Medan tidak ada praktek pelacuran?

Kalau jawabannya BISA, maka lagi-lagi tidak ada penyebaran HIV/AIDS dengan faktor risiko hubungan seksual.

Tapi, kalau jawabannya TIDAK BISA, maka Pemko Medan berhadapan dengan penyebaran HIV/AIDS melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, secara horizontal di masyarakat.

“Ini sangat memprihatinkan kita, apalagi ibu rumah tangga dan bayi juga termasuk yang terinfeksi.” Ini pernyataan Wali Kota dalam pidato tertulisnya yang dibacakan Asisten Administrasi Kemasyarakatan Drs Darussalam Pohan pada sebuah acara di Kota Medan.

Lagi-lagi pertanyaan:

(1) Apakah dalam Perda AIDS Kota Medan ada langkah yang konkret untuk mencegah penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya?

(2) Apakah dalam Perda AIDS Kota Medan ada langkah yang konkret untuk mendeteksi HIV/AIDS ada prempuan hamil?

Tentu saja jawaban untuk pertanyaan (1) dan (2) lagi-lagi: Tidak ada!

Karena dalam perda tidak ada pasal yang menawarkan program yang konkret, maka adalah hal yang mustahil dibuat peraturan walikota.

Kalau saja perancang Perda AIDS Kota Medan belajar dari pengalaman Pemkab Serdang Bedagai dan Pemkot Tanjungbalai yang sudah duluan mempunyai perda AIDS tentulah Perda AIDS Kota Medan akan lebih bagus. Tapi, yang terjadi justru copy-paste. Ya, tinggal menunggu waktu saja untuk ‘panen AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

1 komentar:

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.