22 Oktober 2012

Pelanggaran HAM pada Penerapan Perda AIDS Kab Merauke



Tanggapan Berita (22/10-2012) – “ …. sanksi terhadap pemberlakukan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2003, harus lebih tegas lagi. Sehingga para pekerja seks komersial (PSK) maupun pramuria serta tukang pijat, menyadari diri jika tidak menggunakan kondom saat berhubungan badan, akan diberikan ganjaran hukuman berat.” Ini pernyataan Sekretaris Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Kabupaten Merauke, Prov Papua, Heny Suparman, SH, dalam berita “Sanksi Perda HIV/AIDS Harus Lebih Tegas” di www.tabloidjubi.com (18/10-2012).

Pernyataan Heny di atas menggambarkan centang-perenang penanggulangan HIV/AIDS di Kab Merauke yang juga merupakan bentuk nyata perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM).

Pertama, siapa sebenarnya yang harus memakai kondom ketika tejadi sanggama antara laki-laki penduduk Merauke asli atau pendatang dengan PSK?

Soalnya, dalam pernyataan Heny dikesankan yang harus pakai kondom adalah PSK (baca: perempuan).

Pertanyaan:

(1) Apakah ketika Perda AIDS tsb. disahkan pada tahun 2003 sudah tersedia kondom perempuan di Merauke?

(2) Apakah sekarang kondom perempuan tersedia secara luas di Merauke?

Dalam Perda AIDS Merauke yang wajib memakai kondom adalah:

Pasal 4 ayat a: ”Setiap Penjaja Seks Komersial wajib menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual”

Pasal 7 ayat a: “Setiap pelanggan wajib menggunakan kondom pada saat melakukan hubungan seksual”

Di pasal 12 ayat (1)     disebutkan: ”Setiap Penjaja Seks Komersial, Pelanggan, Mucikari, Pengelola Bar dan Pramuria yang dengan sengaja melanggar Ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Daerah ini dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan dan denda paling banyak Rp 5.000.000,- (Lima juta rupiah).”

Nah, pasal ini dengan tegas menyebutkan pelanggan, dalam hal ini laki-laki, yang melanggar ketentuan yaitu pasal 7 ayat a dipidana paling lama enam bulan dan denda Rp 5 juta.

Tapi, yang digiring ke pengadilan hanya PSK. Ini merupakan bentuk diskriminasi sebagai perbutan melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM).

Dalam berita disebutkan: “Diakui jika sejak Bulan April lalu, terdapat kurang lebih 50-an orang yang telah disidangkan lantaran tidak menggunakan kondom hingga mengidap penyakit IMS.”

Pertanyaan: Apakah para PSK, pramuria dan pemijat menjalani tes IMS sebelum mulai praktek di Merauke?

Kalau jawabannya YA, maka pertanyaannya: Mengapa laki-laki yang menularkan IMS kepada PSK, pramuria dan pemijat tidak dijerat dengan Perda AIDS?

Penerapan perda tsb. merupakan salah satu bentuk diskriminasi (Lihat: Di Merauke, Papua, PSK yang Tertular IMS Dihukum Denda Rp 1,1 Juta - http://www.aidsindonesia.com/2012/09/di-merauke-papua-psk-yang-tertular-ims.html).    

Bahkan, Heny pun pernah dikutip media massa mengatakan bahwa penerapan perda berfokus pada PSK (Lihat: Kasus IMS dan HIV/AIDS pada PSK di Merauke, Papua,Turun Drastis - http://www.aidsindonesia.com/2012/09/kasus-ims-dan-hivaids-pada-psk-di.html).  

Jika merujuk ke pasal 7 ayat a tentulah laki-laki yang tidak memakai kondom ketika melacur dengan PSK, pramuria dan pemijat juga harus disidang karena perbuatan mereka sesuai dengan pasal tersbut yang merupakan perbuatan melawan hukum.

Karena laki-laki yang menularkan IMS kepada PSK, pramuria dan pemijat tidak dihukum maka lagi-lagi terjadi diskriminasi di ranah hukum. Ini merupakan perbuatan melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap HAM.

Kedua, hukuman paling berat yang bisa diberikan dengan perda maksimal hanya enam bulan. Maka, tidak ada alasan untuk memberikan hukuman yang lebih berat.

Disebutkan: “Sesuai arahan dari Ketua PNS Merauke agar proses persidangan terhadap mereka yang mengidap  IMS, HIV/AIDS, tidak menggunakan tindak pidana ringan (Tipiring) lagi. Karena ancaman hukumannya sangat tinggi.”

Pernyataan ini menyesatkan karena UU mengatur bahwa perda hanya boleh memberikan sanksi pidana enam bulan.

Pertanyaannya: Apakah kelak dalam perda baru tetap hanya PSK, pramuria dan pemijat yang diseret ke meja hijau?

Karena PSK, pramuria dan pemijat menjalani tes IMS dan HIV/AIDS sebelum praktek di Merauke, maka setiap laki-laki yang melacur dengan PSK, pramuria dan pemijat wajib menyerahkan foto-copy kartu identitas akan bisa diketahui laki-laki yang menularkan IMS kepada PSK, pramuria dan pemijat.

Terlepas dari hukuman yang tidak adil ada fakta lain yang luput dari perhatian KPA Kab Merauke terkait dengan penyebaran HIV/AIDS, yaitu:

(a) Ada laki-laki penduduk lokal, asli atau pendatang, yang menularkan IMS dan HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus kepada PSK, pramuria dan pemijat. Laki-laki ini bisa saja sebagai seorang suami.

(b) Ada laki-laki penduduk lokal, asli atau pendatang, yang tertular IMS atau  HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus dari PSK, pramuria dan pemijat. Laki-laki ini bisa saja sebagai seorang suami.

Maka, laki-laki penduduk lokal, asli atau pendatang yang menularkan HIV/AIDS kepada PSK, pramuria dan pemijat serta laki-laki penduduk lokal, asli atau pendatang yang tertular HIV/AIDS dari PSK, pramuria dan pemijat menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat. Biar pun  PSK, pramuria dan pemijat yang terdeteksi mengidap IMS atau HIV atau dua-duanya di penjara atau dipulangkan ke kampung asalnya di masyarakat tetap terjadi penyebaran IMS dan HIV/AIDS karena laki-laki yang menularkan dan laki-laki yang tertular tetap ada di masyarakat (Lihat Gambar 1).

Pasal 4 ayat b disebutkan: ”Setiap Penjaja Seks Komersial wajib memeriksakan diri sekurang-kurangnya satu kali dalam 1 (satu) bulan terhadap penyakit Human Imunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) dan Infeksi Menular Seksual (IMS) pada klinik reproduksi Merauke, Puskesmas, RSUD atau tempat lain yang ditetapkan oleh Pemerintah.” 

 Pasal ini benar-benar tidak masuk akal karena amat naïf. Soalnya, tes HIV dengan reagent ELISA baru bisa akurat jika tes HIV dilakukan minimal tiga bulan setelah tertular. Nah, kalau hanya hitungan sebulam maka bisa saja darah yang diambil ada dalam masa jendela sehingga hasil tes bisa negatif palsu yaitu HIV sudah ada di dalam darah tapi tidak terdeteksi karena belum ada antibody HIV (Lihat Gambar Masa Jendela).

Lagi pula dalam satu bulan sudah banyak laki-laki lokal, asli dan pendatang, yang melacur dengan PSK, pramuria dan pemijat. Laki-laki yang tertular HIV karena melacur dengan PSK, pramuria dan pemijat menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Maka, yang diperlukan adalah intervensi yang akurat yaitu program ril untuk mencegah penularan IMS dan HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus dari laki-laki ke PSK dan sebaliknya (Lihat Gambar 2). Celakanya, dalam perda hal ini tidak ada.

Maka, apakah kelak dari perda yang baru ada program yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS selain hanya memenjarakan PSK, pramuria dan pemijat? Kita tunggu saja. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.