Orang-orang yang terdeteksi HIV/AIDS, termasuk pekerja seks komersial (PSK), sekarang ini mungkin jauh lebih beruntung daripada
Nuraini (meninggal dunia di RS Wahidin, Makassar, 26 Januari 2009). Dia seorang
Odha di Makassar yang terdeteksi HIV-postitif tahun 1997. Banyak orang yang
tertular HIV bisa menyembunyikan status dirinya sehingga tidak mengalami
stigmatitasi (pemberiaan cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan yang berbeda).
Berbeda dengan Nuraini yang
terjaring razia di ‘lokasi pelacuran’ di Bonerate, Makassar, Sulawesi Selatan,
tanggal 5 Juli 1997. Malam itu, Nuraini bersama belasan PSK lainnya yang
terjaring pada razia malam itu dibawa ke Panti Sosial Mattirodeceng untuk
pembinaan selama enam bulan.
Di panti itu darah Nuraini dan
teman-temannya diambil oleh seorang dokter. Untuk apa darah itu diambil? Mereka
tidak tahu. Yang jelas Nuraini dan teman-temannya tidak berani menolak ketika
darah mereka diambil. Mereka menyadari bahwa dengan menolak berarti hukuman
akan diterima.
Nuraini dan teman-temannya
mencoba sembunyi agar darahnya tidak diambil. Tapi, mereka ditarik-tarik dari
persembunyiannya seperti binatang. Padahal, mereka tidak tahu untuk apa
darahnya diambil karena tidak ada penjelasan dari pihak Dinas Sosial dan dokter
yang mengambil darah mereka.1 Setelah tiga kali menjalani tes HIV,
akhirnya Nuraini dan dua orang temannya dinyatakan HIV-positif.
Namun, sebelum Nuraini dan dua
temannya mengetahui hasil tes HIV mereka ternyata wartawan dan beberapa orang
lainnya justru sudah tahu bahwa mereka HIV-positif.2
Pengetahuan Nuraini dan dua
temannya tentang HIV/AIDS ketika itu nol besar. Padahal, berdasarkan standar
prosedur operasi tes HIV yang baku sebelum tes dilakukan harus ada konseling
(bimbingan) yang menjelaskan semua hal yang terkait dengan HIV/AIDS, informasi
dasar, penularan, pencegahan, tes dan lain-lain. Setelah yang dikonseling
memahaminya dengan benar maka dia pun dianjurkan menjalani tes HIV baik untuk
diagnosis maupun survailans. Kesediaannya (informed consent) diberikan
dengan lisan atau tertulis dengan nama asli, inisial atau samaran.
Ketemu Jodoh
Ketika pengambilan darah mereka
hanya diminta masuk dalam ruangan. Di sana ada banyak suster dan dokter. Mereka
sama sekali tidak menerima konseling.
Nuraini mengaku hasil tes
darahnya dia ketahui dari berita di sebuah harian lokal bukan dari pegawai
Dinas Dosial di panti itu atau dari dokter yang mengambil darahnya. Dalam
berita itu namanya ditulis dengan jelas. Setelah ada berita barulah pegawai
Dinas Sosial menyampaikan bahwa dirinya terpapar HIV.
Tapi, apa dan bagaimana HIV
yang sebenarnya Nuraini sama sekali tidak tahu karena petugas tadi tidak
menjelaskannya. Yang disampaikan oleh hanya keterangan bahwa penyakitnya belum
ada obatnya. Nurani dan teman-temannya hanya melongo mendengar penjelasan itu
karena mereka tidak tahu maksudnya.
Ketika menyadari bahwa hidupnya
tidak berarti lagi setelah dia mengetahui bahwa penyakitnya belum ada obatnya
Nurani meronta-ronta sampai pingsan. Dia tidak menerima hasil tesnya. Semangat
hidupnya pupus. Obat nyamuk pun diminumnya untuk mengakhiri hidupnya. Mati pada
saat itu bagi Nuraini jauh lebih berarti daripada hidup. Baginya hidup sudah
tidak ada lagi nilainya karena penyakitnya tidak ada obatnya. Kondisi itu
membuat dirinya kurus dan sakit.
Untunglah ada Dewi Fortuna
yang berpihak padanya. Dua bulan setelah didiagnosis HIV-positif ada laki-laki
yang mencintainya. Laki-laki itu dengan tulus mengulurkan tangan untuk
menikahinya tanpa mempermasalahkan masa lalunya dan kondisi dirinya pada saat
itu. Ketika diajak menikah Nuraini tidak bisa menjawab karena sudah tahu
kondisi dirinya pada saat itu. Menikah baginya sangat sulit karena penularan
HIV sudah diketahuinya, yakni bila melalui hubungan seks tanpa menggunakan
kondom. Supaya mendapat penjelasan yang akurat, Nuraini meminta laki-laki yang
ingin menikahinya itu untuk menemui pimpinan Dinas Sosial. Mulutnya terkunci
rapat untuk memberikan penjelasan soal status dirinya pada saat itu.
Mendengar
penjelasan soal kondisi diri Nuraini, laki-laki yang berniat menikahinya itu
kaget dan takut. Keinginannya untuk menikah bahkan diurungkan. Namun,
setelah mendengar penjelasan tentang cara penularan dan pencegahan HIV
laki-laki itu memantapkan hatinya untuk menikah dengan Nuraini. Kalau jodoh memang tidak akan kemana. Tuhan maha adil dan
bijaksana. Demikian halnya dengan Nuraini. Kala keputusasaan mendera jiwa, di
saat hanya kematian terpatri dalam dinding hati, dirinya dikirimi laki-laki
yang sepenuh hati mencintainya.
Laki-laki itu tidak
mempersoalkan kondisi dirinya yang sudah dinyatakan HIV-positif. Hatinya telah
bulat untuk menikahi Nuraini dan menjadi suami yang baik. Padahal, laki-laki
itu HIV-negatif, bahkan hingga saat ini status dirinya tetap HIV-negatif
kendati sudah delapan tahun sebagai suami Nuraini.
Setelah laki-laki itu melamar
Nuraini secara resmi kepada Kepala Dinas Sosial, Nuraini diminta memanggil
orang tuanya sebagai wali. Karena takut menanggung risiko yang akan terjadi
bila orang tuanya tahu kondisi dirinya, Nuraini menolak. Karena pihak Dinas
Sosial tidak bisa menikahkan bila orang tuanya tidak menjadi wali, akhirnya Nuraini
memanggil orang tuanya dari kampung.
Ketika orang tua Nuraini
datang, pihak Dinas Sosial memberikan penjelasan tentang status diri Nuraini.
Dijelaskan bahwa Nuraini terpapar HIV/AIDS, tapi tidak akan menular bila
melakukan hubungan seks memakai kondom. Hanya itu yang dijelaskan kepada orang
tua Nuraini. Kedua orang tua Nuraini tidak bisa berbuat apa-apa setelah tahu
kondisi anaknya yang akan tergantung pada obat. “Orang tuaku menerima dengan
lapang dada, karena walau bagaimanapun saya akan tetap menjadi anak mereka,”
kata Nuraini mengenang masa lalunya.
Ditolak Rumah Sakit
Nuraini sama sekali tidak tahu
kalau pernikahannya waktu itu diliput oleh wartawan. Bahkan, dia tidak tahu
bila dirinya yang menggunakan pakaian pengantin berwarna merah terpampang di koran
yang memberitakannya sebagai ‘Pengantin AIDS’ atau ‘pengidap HIV menikah’.
Apalagi pada saat itu dirinya sama sekali tidak pernah diwawancarai oleh
wartawan.3
Dia baru tahu bila status
dirinya telah tersebar luas sehari setelah menikah. Ketika itu Nuraini dan suaminya jalan-jalan untuk menikmati bulan madu.
Namun, yang mereka dapat justru cibiran dari orang yang mengenal wajahnya
karena dimuat di koran. Ingatannya lalu tertuju pada saat dirinya sedang
menggunakan pakaian pengantin. Pada saat itu memang beberapa kamera berusaha
mengambil gambarnya dalam kamar. Tapi, Nuraini tidak tahu kalau orang-orang
yang memotretnya itu adalah wartawan.
Beberapa hari kemudian dia baru
tahu dan melihat fotonya terpampang dengan jelas di koran lokal tanpa ada
pengaburan wajah. Padahal, pada saat itu pemahaman masyarakat soal HIV/AIDS
sangat awam. Banyak orang yang menilai ‘pengidap HIV/AIDS’ seperti monster yang
menakutkan dan dengan mudah akan menularkan penyakitnya pada orang lain.
Stigmatisasi dan diskriminasi
sangat kuat ketika itu. Tapi, wartawan
tidak memperdulikan dampak berita mereka. Wartawan justru merasa bangga bila
mendapat data dan foto oang-orang yang dinyatakan HIV-positif tanpa
mempertimbangkan sisi kemanusiaan. Berita yang
berempati sama sekali tidak pernah dipikirkan wartawan ketika mereka meliput
pernikahan Nuraini.
Pemberitaan pernikahan Nuraini
di media cetak dan salah satu televisi swasta kala itu membuat keluarganya yang
tinggal sekitar 80 km dari Makassar tercengang. Keluarga suaminya pun tidak bisa
menerima Nuraini.
Tapi, lagi-lagi suaminya tetap
kukuh pada pendiriannya. Ikrar telah dilafalkan dan tak mungkin diingkari.
Nurani akan tetap menjadi istrinya sepanjang hayatnya, tetap menjadi ibu dari
dua orang anaknya. Apa pun risikonya.
Dia menyadari bahwa orang
tuanya dan keluarganya tidak merimanya hanya karena ketidaktahuan mereka soal
AIDS dengan benar. Butuh waktu yang lama untuk membuktikan kepada keluarganya
bahwa virus HIV yang ada pada dirinya takkan menular kepada keluarganya,
termasuk suaminya selama mereka tidak melakukan perbuatan yang berisiko.
Bagi Nuraini Juli 1997
merupakan petaka yang tak akan pernah dilupakannya sepanjang hayatnya. Pada
saat itu dirinya harus pindah dari rumah kos yang satu ke kos yang lain karena
warga yang tinggal tak jauh dari rumahnya tidak menerima kehadirannya karena
kondisi dirinya yang bertatus HIV-positif. Penduduk menganggap HIV merupakan
penyakit kutukan dan penularannya melalui udara atau nyamuk.
Pemahaman masyarakat soal
HIV/AIDS kala itu memang masih sangat rendah. Suaminya yang ketika itu pegawai
honorer di salah satu kantor pemerintahan di Makassar ikut pula mendapat
diskriminasi. Setelah ada berita tentang pernikahannya dengan perempuan yang
bertatus HIV-positif, pimpinannya memecatnya tanpa alasan yang jelas.
Pengabdiannya yang telah
puluhan tahun berlangsung tak bernilai hanya karena menikah dengan Nuraini. Alasan
pemecatannya, karena dia telah terkena kasus sehingga keberadaannya sulit
diterima. Keputusan pimpinannya yang tidak manusiawi dan tampa pertimbangan
yang matang itu tak membuatnya menceraikan istrinya. Dia tetap pada
keputusannya menjadi suami Nuraini. Cinta yang tumbuh dalam hati sungguh suci
dan tulus.
HIV/AIDS
bagi masyarakat merupakan momok yang sangat menakutkan. Ketika Nuraini menggunakan
baju kaos (T-Shirt) yang ada kata-kata HIV/AIDS penduduk yang tinggal di
sekitar rumahnya di Tallo mengusirnya. Kaos itu diperolehnya ketika mengikuti
pertemuan Odha di Bali tahun 1998.
Nurani
dan suaminya bagaikan ‘virus yang mematikan’ bagi penduduk yang tinggal di
sekitar tempat kosnya. Nuraini memang baru saja mengikuti pelatihan advokasi di
Bali. Dia diundang Yayasan Spritia, sebuah yayasan pendampingan Odha di
Jakarta. Dalam kegiatan itulah Nuraini mengtahui secara detail tentang apa dan
bagaimana HIV/AIDS yang sebenarnya. Dia juga dibekali dengan berbagai macam
buku soal HIV/AIDS.
Nuraini
membaca buku-buku itu sehingga dia memahami HIV/AIDS. Ketika Nuraini ikut
sebagai ‘peserta’ pada sebuah pelatihan di Makassar, dari belasan wartawan
hanya beberapa yang mengenal Nuraini sebagai Odha. Ketika sharing dengan
Nuraini banyak wartawan yang tercengang karena mereka tidak menyadari di antara
mereka ada Odha.
Beberapa
penduduk juga mengenali wajah Nuraini lewat koran sebagai ‘Pengantin AIDS’.
Ini yang membuatnya terusir untuk yang kesekian kalinya.
Dulu
bukan hanya masyarakat yang tidak menerima diri Nuraini. Tapi, rumah sakit juga ikut mendiskriminasinya. Misalnya, ketika sakit
Nuraini berobat ke rumah sakit swasta di Makasar. Rumah sakit tidak mau merawatnya
setelah Nuraini menyampaikan status dirinya.
Demikian pula ketika dia sakit
tahun 2003. Seorang dokter di rumah sakit lain di Makassar mengetahui status
HIV Nuraini dari rekannya sesama dokter (di rumah dokter inilah Nuraini tinggal
setelah diusir penduduk berkali-kali). Pihak rumah sakit ini malah memintanya
untuk pindah ke RS Wahidin. Alasannya, rumah sakit itu belum bisa merawat
pasien HIV-positif.5
Akhirnya,
Nuraini pindah ke RS Wahidin. Di rumah sakit ini
Odha memang dirawat intensif. Sayang, terkadang pihak rumah sakit menulis
status pasien di tempat tidur sehingga orang lain mengetahuinya.Hal ini
dialaminya Maret 2004. Nuraini protes dan menjelaskan kepada perawat bahwa
status dirinya sebagai Odha tidak boleh ditulis di tempat tidurnya. Mendengar
penjelasan tersebut perawat yang bertugas langsung menghapus status HIV Nuraini
dari caratan di tempat tidurnya.
Dianggap Momok
Nuraini juga pernah diusir dari
Badoka atau di Jalan Gaeng Ramang. Penyebabnya, karena dia memakai kaos
bertulisakn ‘Manusia HIV/AIDS’ yang diperolehnya dari pelatihan di Bali
tahun 1999. “Penduduk yang tinggal di rumah kosku memintaku pergi karena kata
mereka saya pembawa penyakit dan bisa menular kepada semua penduduk,” kata
Nuraini. Dia tidak punya pilihan. Dia pindah karena takut diamuk massa. “Dengan
hati yang hancur kami terpaksa angkat kaki,” ujar Nuraini.. Dia merasa
penjelasannya tentang HIV/AIDS tidak akan diterima tetangganya
Tahun 1998 Nuraini kembali
terusir dari tempat tinggalnya di sekitar pompa bensin di Jalan Urip Sumaharjo.
Memang, penduduk tidak mengusirnya secara langsung, Tapi, seorang tetangganya
mengatakan bahwa Nuraini pernah dilihatnya di koran sebagai ‘pengidap
penyakit’.
Namun, tetangganya itu mengaku
lupa nama penyakitnya. Sebelum diusir, Nuraini dan suaminya memilih pindah.
Hampir setiap bulan suami-istri ini pindah dari satu rumah kos satu ke rumah
kos yang lain hanya karena pemahaman penduduk yang rendah soal HIV/AIDS.
Nuraini seolah-olah jadi momok
bagi penduduk yang mengetahui status HIV-nya. ‘Rasa aman’ baru dirasakan
suami-istri ini setelah mereka tinggal di rumah dr Alimin tahun 2003. Tak ada
diskriminasi. Sejak tinggal di rumah Pak Dokter itulah mereka tidak pernah lagi
diusir penduduk. “Kata Pak Dokter yang berhak mengusir cuma dia,” kata Nuraini.
Penduduk yang tingal di sekitar rumah dokter Alimin baik dan tidak pernah
mempersalahkan keberadaan Nuraini.
Setelah mengikuti pelatihan
HIV/AIDS di Bali tahun 1999 dan banyak membaca buku tentang HIV/AIDS, apalagi
setelah bertemu dengan almarhum Suzana Murni.4 Nuraini mulai terbuka
tentang status dirinya.
“Susana pernah bilang bahwa
suatu hari nanti orang akan tahu tentang status diri kita, lalu kenapa kita
tidak mau terbuka, lagi pula tidak semua orang tahu soal HIV/AIDS.” Kata-kata
inilah yang mendorong Nuraini mau terbuka tentang status dirinya. Bahkan, wajah
dan namanya tidak lagi dipersoalkannya jika dimuat di media massa.
Pertama kali Nuraini terbuka
tentang status dirinya dilakukannya dalam acara sosialisasi HIV/AIDS di Hotel
Sahid Makassar. Acara itu dihadiri oleh pengurus KPAD Makassar, USAID, pengurus
LSM dan aparat pemerintah kota (Pemkot) Makassar. Pertemuan dihadiri sekitar 60
orang.
Sebelum berbicara di depan
umum, panitia meminta persetujuan Nuraini untuk terbuka dan tidak memaksanya.
Nurani langsung setuju untuk terbuka. Alasannya, karena ingin memperlihatkan
kepada semua orang bahwa sama sekali tidak ada perbedaan antara orang yang
HIV-positif dengan orang yang HIV-negatif. Kondisi dirinya tidak separah yang
dibayangkan orang selama ini. Nuraini ingin mengatakan pada semua orang bahwa
kondisi fisik antara HIV-positif dan HIV-negatif sama sekali tidak ada
perbedaannya secara fisik. Sejak itulah Nuraini sering diundang untuk
berbicara. tenang HIV/AIDS.
Nurani memberikan pemahaman
kepada masyarakat bahwa penularan HIV tidak semudah yang dibayangkan selama
ini. Hepatitis
B dan TBC jauh lebih mudah menular daripada HIV/AIDS. Setiap kali pertemuan,
menurut Nuraini, peserta selalu menanyakan kondisi dirinya, bagian tubuh mana
yang sakit. Apakah selera makannya tidak berkurang, Bagaimana kondisi suaminya
yang masih negatif dan bagaimana caranya menjaga diri sehingga suaminya masih
tetap negatif kendati sudah bertahun-tahun menikah.
Nuraini
selalu memberitahu dokter atau perawat di rumah sakit tentang statuf HIV-nya
karena dia tidak ingin orang lain terpapar. Nurani tidak mau menularkan virus
yang ada pada dirinya kepada orang lain. Hal ini sering membingungkan kalau dia
di rawat di rumah sakit. Soalnya, kalau dia tidak terus terang maka dokter dan
perawat tidak tahu status dirinya.
Tapi,
sebaliknya kalau dia membeberkan status dirinya dia ketakutan akan mendapat
diskriminasi atau ditolak rumah sakit seperti yang pernah dia alami. Tapi,
sikap teguh untuk menjaga kesehatan orang lain dan diri sendiri lebih kuat
dalam diri Nuraini sihingga dia selalu jujur tentang kondisi dirinya. Dokter tidak pernah melakukan diskriminasi, hanya perawat
yang sering takut mendekatinya.
Membuka Diri
Ketika tejadi pembengkakan pada
payudaranya tahun 2000 dia dirawat di sebuah rumah sakit swasta di Makassar. Nuraini ingin
‘berontak’ karena seorang perawat di rumah sakit itu meludah di depan matanya
ketika perawat itu mengetahui status HIV-nya. Dia ingin berteriak
sekeras-kerasnya dengan mengatakan kepada perawat itu bahwa virus yang ada pada
dirinya tidak berbahaya. Tapi, dia tidak sanggup menguraikannya dalam bentuk
kata. Dia berupaya meredam umpatan dan amarah yang membara dalam dadanya.
Nuraini menyadari dengan mengamuk dan berteriak tidak akan menyelesaikan masalah
malah bisa sebaliknya menambah masalah.
Sikap
yang tidak bersahabat dari perawat juga dirasakan Nuraini ketika dia dirawat di
rumah sakit swasta di Makassar. Perawat takut memperbaiki selang infus yang
tersumbat. Tangan perawat gemetar ketika menyentuh selang karena dia mengetahui
Nuraini HIV-positif. Wajah perawat itu pucat pasi. Melihat hal itu Nuraini
memberikan penjelasan bahwa HIV tidak akan menular hanya dengan menyentuh
selang infus. Emosi yang menggumpal dalam dadanya dia redam. Dia menjelaskan soal
penularan HIV/AIDS pada perawat yang berkeringat dingin yang duduk tidak jauh
dari tempat tidurnya. “Jangan menjadi perawat kalau takut sama orang yang
HIV-positif karena HIV tidak menular melalui selang infus,” kata Nuraini
mengenang kejadian itu. 6
Sekitar
tahun 2000 setiap kali dirawat di rumah sakit Nurani selalu ditempatkan di
ruangan khusus. Namun, sejak tahun 2003 dia dirawat di rumah perawatan umum.
Tapi, perawat tetap melakukan diskriminasi kalau mereka mengetahui status
dirinya. Walaupun akan menghadapi diskriminasi Nuraini tetap membeberkan status
HIV-nya kepada perawat.
Ada
perasaan bersalah dalam dirinya bila dia tidak terbuka kendati dia mengetahui
dampak buruk yang akan terjadi pada dirinya kalau dia membuka status dirinya
kepada perawat. Nuraini tidak mau orang lain tertular virus yang ada pada
dirinya. Baginya sudah cukuplah dirinya yang tertular.7 Orang lain
harus dilindungi, termasuk suaminya.
Membuka
diri bagi Nuraini justru memberikan ketenangan dalam dirinya. Ada kepuasan
dalam jiwanya karena telah memutuskan mata rantai penyebaran HIV/AIDS pada
dirinya. Slogan “HIV Stop di Sini”
yang menjadi keputusan dalam pertemuan Nasional Kelompok Dukungan Sebaya
untuk Odha ingin diwujudkannya. Yang terdeteksi HIV-positif hanya sedikit,
yang tidak ketahuan jauh lebih besar.
Sejak
tahun 2003 Nuraini tidak lagi didampingi oleh LSM pemerhati HIV/AIDS. Selama ini dia melihat perhatian pemerhati HIV/AIDS
sangat kurang. Ketika
dia sakit tak satu pun yang menjenguknya.
Memang,
diskriminasi terhadap dirinya mulai reda. Diskriminasi sering dialaminya di
rumah sakit, tapi bukan dilakukan oleh dokter namun dilakukan oleh perawat.
Pokja AIDS di RS Wahidin dirasakan Nuraini sangat membantu karena perawatan dan
pelayanan yang diterima Odha memuaskan.
Yang
menjadi masalah besar bagi Nuraini adalah soal tempat tinggal. Karena dr Alimin
telah menjual rumahnya maka mau tak mau dia dan suami serta dua anak tirinya
harus meninggalkan rumah yang selama ini telah memberikan ketenangan kepada
mereka. Sejak Agustus 2005 Nuraini dan kelaurganya tinggal di
kawasan Daya, Makassar. Mereka mengontrak kamar kecil. Tiap bulan dia harus
membayar kontrakan Rp 150.000. Suaminya tidak lagi bekerja karena bengkel motor
yang selama ini menopang hidup mereka tidak lagi bisa dijalankan karena tidak
ada tempat untuk membuka bengkel di rumah kontrakannya.
Nuraini belum terbuka soal
status dirinya kepada tetangga barunya. Dia mengaku masih trauma mengenang masa
silam yang selalu terbayang dalam ingatannya. Dia tidak tahu harus ke mana lagi
kalau kembali lagi terusir. Alasan Nuraini tidak terbuka kepada tetangga
barunya bukan hanya karena belum siap diusir, tapi juga di kebingungan bagaiman
cara memberikan penjelasan kepada tetangganya soal HIV/AIDS. Dia takut yang
terjadi justru antipati tetangga. Itulah yang membuatnya memilih diam untuk
‘menyelamatkan’ diri, suami dan kedua anaknya.
Tapi, Nuraini siap mengatakan
pada semua orang soal status dirinya di pertemuan. Dialog lewat radio juga
dilakukanya kalau ada yang mau mengundangnya. Nuraini ingin memberikan
pemahaman kepada semua orang tentang HIV/AIDS melalui media massa supaya
stigmatisasi dan diskriminasi tidak lagi terjadi kepada Odha, seperti yang
dialami selama ini.
Nuraini sendiri merupakan
‘korban media’. Berita-berita seputar dirinya yang tidak komprehensif
membuatnya berhadapan dengan kenyataan pahit: menerima perlakuan yang tidak
manusiawi mulai dari stigmatisasi, diskriminasi sampai pengusiran.
Bahkan, pada direncanakan pada
peringatan Hari AIDS Sedunia 1 Desember 1998 akan ada talk show di TVRI yang
menampilkan percakapan Nuraini dengan Presiden BJ Habibie. Disebutkan bahwa
Nuranini akan dipoles sedemikian rupa agar tidak bisa dikenali. Waktu itu
penulis mendesak dr NafsiahMboi, SpA, MPH, waktu itu anggota DPR, untuk
membatalkan rencana itu. Dan, alhamdulillah rencana itu batal. Soalnya, tidak
ada jaminan identitas dan suara Nuraini akan diacak karena waktu itu
menampilkan orang yang mengidap HIV/AIDS merupakan ’kebanggaan’ bagi sebagian
media massa.
Akankah pengalaman pahit
Nuraini ini (akan) terjadi lagi kepada saudara-saudara kita yang tertular HIV
antara lain hanya karena berita yang tidak komprehensif? ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Catatan: Naskah ini dikembangkan
dengan bahan tambahan berdasarkan fakta terbaru (Oktober 2005) yang dilaporkan
oleh Santiaji Syafaat dari Makassar.
1Cara-cara inilah yang sering dialami oleh pekerja seks atau
waria. Mereka menjadi korban
kesewenang-wenangan berbagai pihak, termasuk yang memakai agama sebagai
pembenar dan orang yang membalut lidahnya dengan moral. Mereka disebut sebagai
pekerja seks tanpa vonis hakim melalui sidang pengadilan. Perlakuan yang mereka
alami merupakn perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap HAM.
Cara-cara tes survailnas itu pun bertentangan dengan standar prosedur operasi
tes HIV yang baku. Celakanya, hal itu justru dilakukan oleh instansi pemerintah
yang wajib melindungi rakyat.
2Sumber di Makassar menyebutkan identitas Nuraini dan
kawan-kawannya ‘terbongkar’ karena Dinas Kesehatan ditekan pejabat tinggi di
Sulsel. Padahal, kegiatan itu hanya survailans. Lagi-lagi ini membuktikan
pemahaman yang sangat rendah di kalangan pejabat tinggi tentang HIV/AIDS. Yang
menjadi persoalan besar adalah laki-laki yang pernah melakukan hubungan seks
dengan pekerja seks di Jalan Nusantara (diplesetkan sebagai Jalan Vagina
Raya), tempat Nuraini dkk. mangkal, karena kalau ada di antara mereka yang
tertular maka mereka menjadi jembatan penyebaran HIV ke masyarakat secara
horizontal.
3Pernikahan Nuraini dan dua rekannya memancing silang
pendapat yang tidak lebih dari debat kusir. Soalnya, alasan yang dipakai kalau
salah satu pasangan suami-istri mengidap penyakit menular maka pernikahan batal
demi hukum. Yang kontra yanya melihat HIV sebagai satu-satunya penyakit menular
di muka bumi ini. Lho, bagaimana dengan panu, kurap, flu, TBC, hepatitis B,
hepatitis C, sifilis dan GO? Kalau alasan ini di pakai maka jutaan perceraian
terjadi karena pengidap TBC, kurap, panu, sifilis, GO dan hepatitis B puluhan
juta jumlahnya di Indonesia.
4Susana Murni adalah aktivis AIDS yang berkecimpung dalam
pendampingan terhadap Odha, termasuk dirinya, melalui Yayasan SPIRITIA Jakarta.
Susana meninggal di Jakarta 6/7-2002.
5Hal ini merupakan pradoks. Dokter dan perawat hanya menyoal
pasien dengan status HIV-positif. Padahal, dengan mengetahui status HIV seorang
pasien dokter dan perawat lebih ketat menerapkan kewaspadan umum. Sebaliknya,
pasien yang tidak terdeteksi HIV-positif tapi ternyata HIV-positif tentu lebih
berbahaya karena dokter dan perawat bisa saja lalai menerapkan kewaspadaan
umum.
6Ini menunjukkan pemahaman yang keliru karena ada kemungkinan
dokter dan perawat pernah menghadapi pasien dengan status HIV-positif yang
tidak terdeteksi. Kalau saja dokter dan perawat mau memutar otak tentulah jauh
lebih berbahaya menghadapi pasien yang tidak diketahui statuf HIV-nya daripada
pasien yang diketahui status HIV-nya. Dengan mengetahui status HIV pasien dapat
ditempuh langkah-langkah pencegahan, seperti kewaspadaan umum.
7Nuraini sendiri tertular dari laki-laki yang ‘mengencaninya’
ketika dia bekerja sebagai PSK. Inilah ironi di kalangan masyarakat yang
munafik. PSK dihujat, tapi laki-laki yang menyebarkan HIV luput dari hujatan.
Laki-laki yang menularkan HIV kepada Nuraini tidak terdeteksi. Laki-laki ini
menjadi mata rantai penyebaran HIV kepada orang lain secara horizontal. Jika
dia menularkan HIV kepada Nuraini tahun 1997 dan sampai sekarang laki-laki itu
belum terdeteksi maka selama delapan tahun dia menularkan HIV kepada orang lain
tanpa disadarinya. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.