Catatan: * Naskah ini sudah dimuat di Harian ”Radar Tasikmalaya” edisi 12 Januari
2009.
Pemkab Tasikmalaya dan Pemkot Tasikmalaya,
keduanya di Prov Jawa Barat, akhirnya menjadi daerah ke-15 dan ke-23 dari 45
daerah di Nusantara yang mempunyai peraturan daerah (Perda) penanggulangan
AIDS. Kota Tasikmalaya sendiri masuk dalam daftar program akselerasi
penanggulangan HIV/AIDS yang dikeluarkan Depkes RI. Apakah dua perda itu
berhasil menanggulangi epidemi HIV?
Ketika kasus AIDS pertama terdeteksi
di Indonesia (Bali, 1987) reaksi yang muncul justru penyangkalan. Berbagai
kalangan, termasuk menteri kesehatan waktu itu, HIV/AIDS tidak akan masuk ke
Indonesia karena masyarakat negeri ini berbudaya, bergama dan ber-Pancasila.
Penyangkalan yang sama juga terjadi di Thailand ketika kasus HIV/AIDS
terdeteksi di Negeri Gajah Putih itu. Peringatan dari pakar epidemiologi tidak
digubris petinggi negeri itu.
Tapi, apa yang terjadi kemudian? Sepuluh tahun setelah diingatkan kasus
HIV/AIDS di Thailand mendekati angka 1.000.0000. Devisa yang diterima negeri
itu dari pariwisata hanya menyumbang 2/3 terhadap biaya penanggulangan HIV/AIDS
langsung dan tidak langsung. Padahal, salah satu sumber devisa negeri itu
justru dari pariwisata.
Tercepat di Asia
Tahun 2001 Dr Peter Piot, waktu itu Direktur Eksekutif UNAIDS (badan PBB
yang khusus menangani AIDS), juga sudah mengingatkan Indonesia di Kongres AIDS Internasional
Asia Pasifik di Melbourne, Australia, tentang percepatan penularan HIV di
Indonesia terutama di kalangan penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan
berbahaya) dengan jarum suntik. Peringatan itu bak ’anjing menggongong kafilah
berlalu’. Tidak ada tanggapan positif dari pemerintah. Padahal, banyak pejabat
yang menghadiri kongres itu dengan biaya pemerintah.
Apa yang terjadi kemudian? Sepuluh tahun kemudian pertambahan kasus
HIV/AIDS di Indonesia tercepat di Asia. Kasus HIV/AIDS di wilayah Kabupaten dan
Kota Tasikmalaya sudah dilaporkan 96 kasus, 24 di antaranya sudah meninggal. Ada 45 Odha
(Orang dengan HIV/AIDS) yang sedang menjalani terapi. Selain itu ada pula 27
yang belum menjalani terapi.
Kasus itu tidak menggambarkan angka yang sebenarnya di masyarakat karena
banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tetular HIV. Ini terjadi karena
tidak ada tanda, gejala atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik orang-orang
yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tetular).
Tapi, pada kurun waktu itu penularn sudah (bisa) terjadi. Semua tanpa disadari.
Fakta juga menunjukkan lebih dari 90 persen kasus penularan HIV terjadi tanpa
disadari.
Maka, cara-cara pencegahan yang ditawarkan perda-perda AIDS, termasuk Perda
Kab Tasikmalaya No 4/2007 dan Perda Kota Tasikmalaya No 2/2008 yang
mengatur pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS sama sekali tidak menyentuh
akar persoalan.
Perda AIDS Kab Tasikmalaya menyebutkan: ”Pencegahan HIV/AIDS dilakukan
melalui cara meningkatkan iman dan taqwa” (pasal 6 ayat 2 huruf a). Bagaimana
menakar iman dan taqwa yang bisa mencegah penularan HIV? Siapa yang berhak
menakarnya? Pasal ini pun jelas mendorong masyarakat untuk melakukan
stigmatisasi (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (pembedaan perlakuan
terhadap sesama penduduk berdasarkan penyakit). Karena masyarakat menganggap
orang-orang yang tertular HIV karena tidak mempunyai iman dan taqwa.
Tidak ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan iman dan taqwa karena
penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah.
Penularan terjadi kalau salah satu atau kedua-dua pasangan itu mengidap HIV dan
laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan sanggama.
Maka, pencegahan yang ditawarkan pada pasal 6 ayat 2 huruf b: ”Pencegahan
HIV/AIDS dilakukan melalui cara tidak melakukan hubungan seksual di luar
perkawinan yang sah….” tidak akurat. Penularan HIV terjadi bukan karena sifat
hubungan seksual (di luar nikah, zina, melacur, selingkuh, jajan, seks bebas,
seks oral dan anal, serta homoseksual) tapi karena kondisi hubungan seksual
(salah satu atau dua-duanya mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom).
Sedangkan pada Perda AIDS Kota Tasikmalaya tidak ada cara-cara pencegahan
penularan yang akurat. Yang ada hanya pemutusan mata rantai penularan. Pada
pasal 12 ayat a disebutkan: ”Setiap orang yang telah mengetahui dirinya
terinfeksi HIV dan AIDS wajib melindungi pasangan seksulanya dengan melakukan
upaya pencegahan dengan menggunakan kondom.” Fakta menunjukkan lebih dari 90
persen kasus penularan HIV terjadi tanpa disadari oleh yang menularkan dan yang
ditulari.
Akar Persoalan
Penyebaran HIV antar penduduk secara horizontal terjadi karena banyak orang
yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Soalnya, seseorang yang sudah
tetular HIV tidak menunjukkan gejala-gejala yang khas AIDS pada fisiknya
sebelum masa AIDS (antara 5-10 tahun setelah tetular). Pada kurun waktu itulah
terjadi penularan tanpa disadari, terutama melalui hubungan seksual tanpa
kondom di dalam atau di luar nikah.
Siapa, sih, yang berisiko tertular HIV? Mereka adalah orang-orang
yang perilakunya berisiko yaitu yang pernah atau sering melakukan hubungan
seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang
berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja
seks komersial (PSK) di wilayah Kab Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya atau di
luar kabupaten dan kota serta di luar negeri.
Jika di antara penduduk Kab Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya ada yang
perilakunya berisiko meka merekalah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di
Kab Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya. Yang beristri akan menularkan HIV kepada
istirnya (horizontal), pasangan seks lainnya atau PSK. Kalau seorang istri
tertular HIV dari suaminya maka ada pula risiko penularan kepada bayi yang
dikandungnya kelak (vertikal). Yang tidak beristri akan menularkan HIV kapada pasanganya
seksnya atau PSK.
Dua perda itu tidak akan bisa menanggulangi penyebaran HIV di wilayah
Kabupaten Tasikmalaya dan Kota Tasikamalaya karena dua perda itu tidak
menyentuh akar persoalan, terutama yang terkait dengan penyebaran HIV melalui
hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.
Untuk memutus mata rantai penyebaran HIV dan menurunkan insiden kasus HIV
baru di kalangan laki-laki dewasa, maka perlu ada pasal yang berbunyi: ”Setiap
orang, laki-laki dan perempuan, wajib memakai kondom jika melakukan hubungan
seksual di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau
dengan yang sering berganti-ganti pasangan di wilayah Kab Tasikmalaya dan Kota
Tasikmalaya atau di luar wilayah.”
Sedangkan untuk memutus mata rantai penyebaran HIV melalui penduduk yang
sudah mengidap HIV perlu ada pasal yang berbunyi: ”Setiap orang yang pernah
atau sering melakukan hubugan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah
dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti
pasangan di wilayah Kab Tasikmalaya dan Kota Tasikmalaya atau di luar wilayah
wajib menjalani tes HIV dengan konseling.”
Makin banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi, maka kian banyak pula mata
rantai penyebaran HIV yang diputus. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.