09 Oktober 2012

KPA di Jawa Timur Mendata Odha untuk Mecegah AIDS Meluas




Tanggapan Berita (10/10-2012) – “Selain itu, KPA Provinsi juga minta kepada KPA di kabupaten/kota dan LSM untuk mendata nama dan alamat penderita untuk memudahkan penanganan dan mencegah meluasnya wabah penyakit mematikan tersebut.” Ini pernyataan di berita “Jatim Provinsi Beresiko Terkena Virus AIDS” (tribunnews.com, 26/10-2012).

Ada beberapa hal yang tidak akurat dalam pernyataan di atas.

Pertama, HIV/AIDS bukan wabah karena HIV tidak mudah menular. HIV juga tidak bisa menular melalui pergaulan sehari-hari, air dan udara. HIV hanya menular melalui cara-cara tertentu.

Kedua, HIV/AIDS bukan penyakit mematikan karena belum ada laporan kematian karena HIV atau AIDS atau karena HIV/AIDS. Kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) terjadi di masa AIDS (setelah tertular antara 5 – 15 tahun) karena penyakit yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare dan TBC.

Ketiga, orang-orang yang sudah terdeteksi HIV/AIDS tidak perlu diawasi karena mereka akan menjaga dirinya serta sudah berjanji tidak akan menularkan HIV kepada orang lain. Ini bisa terjadi kalau tes HIV dilakukan dengan cara yang sesuai dengan standar operasi tes HIV yang baku.


Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Prov Jawa Timur (Jatim) rupanya tidak memahami penyebaran HIV justru terjadi pada orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi. Ini terjadi karena banyak orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda, gejala atau pun ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik mereka.

Maka, penyebaran HIV/AIDS di Jatim akan terus terjadi melalui penduduk Jatim, terutama laki-laki dewasa, yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi (Lihat Gambar 1).

Yang perlu dilakukan KPA Jatim adalah membuat program yang konkret berupa intervensi agar tidak terjadi penyebaran HIV/AIDS dari laki-laki ke PSK dan dari PSK ke laki-laki. Intervensi lain adalah program konkret untuk mencegah penularan HIV dari suami ke istri dan dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Disebutkan dengan kasus kumulatif HIV/AIDS 6.309 Jatim menjadi salah satu provinsi dengan jumlah populasi berisiko tinggi terkena virus AIDS. Dari jumlah itu 3.310 terdeteksi pada penyalahguna narkoba (narkotika dan bahan-bahan berbahaya).

Tapi, perlu dipertanyakan apakah bisa dibuktikan bawah semua kasus yang terdeteksi pada penyalahguna narkoba (3.310) benar-benar tertular melalui jarum suntik pada saat mereka menyuntikkan narkoba secara bersama-sama dengan bergiliran?

Tentu saja tidak karena ada di antara mereka yang sudah ngesek (melalukan hubungan seksual berisiko) sebelum menjadi penyalahguna narkoba dan ketika atau selama mereka sudah menjadi penyalahguna narkoba.

Menurut Asisten III Bidang Kesejahteraan Masyarakat Setdaprov Jatim,  Edi Purwinarto:  “Dengan tingginya mobilisasi penasun di daerah, membuat penyebaran kasus HIV/AIDS yang cukup signifikan di banyak kabupaten dan kota lainnya di Jatim.”

Edi benar, tapi mengabaikan fakta lain di ranah realitas sosial yaitu penyebaran HIV/AIDS melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah melalui laki-laki ‘hidung belang’. Pemprov Jatim boleh-boleh saja menepuk dada karena lokalisasi akan ditutup. Bahkan Pemkot Surabaya mencanangkan “Surabaya Kota Bersih dari Asusila”.

Tapi, jangan lupa praktek pelacuran akan terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu di Jatim. Bisa juga laki-laki dewasa penduduk Jatim melacur ke luar Jatim (Lihat Gambar 2).  


Bahkan, dua bulan lalu terbongkar pelacuran dengan menggunakan alat komunikasi yang disebut e-prostitution yang melibatkan 2.000-an gadis belia. Melihat tarif pelacur ini antara Rp 2 – Rp 5 juta tentulah yang bisa ‘menikmati’ gadis-gadis belia itu hanya yang berkantong tebal, seperti pengusaha, karyawan dan pegawai negeri. Maka, tidak mengherankan kalau lima sampai sepuluh tahun ke depan kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi di kalangan pengusaha, karyawan dan pegawai negeri.

Sekretaris KPA Jatim, Otto Bambang Wahyudi, mengatakan  untuk menekan meluasnya wabah AIDS, pihaknya telah minta kepada seluruh KPA di kabupaten/kota dan LSM yang peduli terhadap HIV/AIDS untuk mempertajam sosialisasi kepada masyarakat mengenai cara pencegahan dan penanggulangannya.

Sosialisasi HIV/AIDS sudah berjalan sejak tahun 1980-an. Maka, yang diperlukan adalah program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks. Program ini hanya bisa dilakukan di lokalisasi pelacuran. Celakanya, Perda AIDS Prov Jawa Timur pun tidak memberikan langkah yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS (Lihat: Menyibak Kiprah Perda AIDS Jatim - http://www.aidsindonesia.com/2012/09/menyibak-kiprah-perda-aids-jatim.html).

 

Celakanya, Pemprov Jatim akan menutup semua lokalisasi pelacurna di wilayah Jatim. Maka, prektek pelacuran pun terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu yang menjadi salah satu faktor yang mendorong penyebaran HIV/AIDS di Jatim. Pemprov Jatim tinggal menunggu waktu saja untuk ‘panen AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.