Bagi
banyak orang Lebaran merupakan saat yang dinanti-nantikan karena semua anggota
keluarga berkumpul di kampung halaman sambil merayakan hari raya, tapi lain
bagi Kartam, 50-an tahun. Ayah alm Cece (bukan nama sebernarnya), 22 tahun
(umur Cece ketika diwawancarai pada tahun 1996), seorang wanita asal Karawang,
Jawa Barat yang diidentifikasi HIV-positif di Riau, ini tidak bisa berlebaran bersama
Cece, putri sulungnya itu, karena Cece tidak pulang ke kampungnya di hari
lebaran 1996.
Sejak
putrinya dipulangkan dari Provinsi Riau karena dinyatakan HIV-positif
(berdasarkan hasil survailans tes HIV yang tidak sesuai dengan standar prosedur
operasi yang baku di Riau) Agustus 1993 keluarga Kartam sudah terusir dari
kampungnya, dari sebuah desa di Kecamatan Cibuaya, 5 km ke arah utara
Rengasdengklok, Kab. Karawang, Jawa Barat.
Penduduk
setempat mengetahui Cece sebagai ‘pengidap AIDS’ karena berita di media massa,
terutama televise, termasuk kunjungan pejabat mulai dari tingkat kelurahan
sampai kabupaten ke desa itu yang selalu ‘mengunjungi’ rumah Cece. Wartawan pun
silih berganti pula datang ke desa itu.
Akibat
pemberitaan media massa yang menyebut Cece sebagai pengidap HIV/AIDS masyarakat
pun mengucilkan mereka. Keluarga ini terpaksa pindah ke sebuah desa di kawasan
Cikarang, Bekasi, Jawa Barat (kira-kira 30 kem dari desanya). Di sana Kartam
dan keluarganya bekerja sebagai pencetak batu bata di lio (tempat
pembuatan dan pembakaran batu bata). Namun, Kartam tetap ingin merayakan
lebaran di kampung halamannya. Untuk itu Kartam memimjam uang Rp 60.000 dari
rekannya sesama pekerja di lio.
Padahal,
Kartam sudah berutang Rp 80.000 kepada majikannya di lio itu. “Ah, itu
bukan utang,” kata Kartam di tempat tinggalnya yang baru, juga di lio sekitar 200 km dari Karawang, kini
masuk wilayah Provinsi Banten. Soalnya, 11.000 batu bata yang sedang dibakar
sebelum dia meninggalkan lio itu belum dibayar pemilik lio. Upah
mencetak satu batu bata Rp 10, sehingga Kartam berhak memperoleh Rp 110.000.
Kartam
sendiri berpindah-pindah dari satu lio ke lio lain karena diusir
pemilik lio. Rupanya, ada saja orang yang membisiki pemilik lio
yang mengatakan keluarga Kartam sebagai ‘Keluarga AIDS’.
Ketika
pemilik lio mendapat kabar tentang
keluarga Kartam, maka Kartam pindah ke lio lain karena diusir yang punya
lio. Bahkan, tidak jarang baru satu atau
dua bulan bekerja mereka sudah diusir lagi karena pemilik lio mengetahui
putri Kartam yaitu Cece sebagai ‘pengidap AIDS’. Setelah beberapa kali pindah
dari satu lio ke lio lain di Cikarang akhirnya tidak ada lagi
pemilik lio yang mau menerima Kartam. Karena tidak bisa lagi bekerja di
Cikarang Kartam pun memboyong istri dan anak-anaknya ke Banten (kira-kira 120
ke arah barat).
Semula
Kartam dan istrinya sangat berharap bisa bertemu dengan Cece di hari Lebaran.
Itulah sebabnya Kartam memaksakan diri pulang ke kampung halamannya ke Karawang
walaupun harus meminjam uang dari temannya sesama pekerja lio di Banten.
Kartam sangat yakin Cece akan pulang. Cece sendiri meninggalkan Kartam sejak
Juni 1995, ketika itu mereka bekerja di sebuah lio di Cikarang, tanpa
memberitahukan tujuannya, “Kami tidak tahu persis di mana Cece,” kata istri
Kartam sambil terisak-isak. Penulis sempat mewawancarai Cece di lio yang di Cikarang sebelum dia pergi.
Kartam
sangat berharap bisa menjenguk Cece ke Riau. Cuma, Kartam terbentur ongkos
karena kalau mencari Cece dia harus memulainya dari kampung istrinya di
Indramayu, Jabar. Kalau di sana tidak ada barulah dia menelusurinya ke Riau.
Di
Indramayu sendiri Kartam sudah berutang kepada saudara-saudara istrinya. Uang
itu dipakai untuk membiayai Cece ke Arab Saudi setelah terusir dari kampung
halamannya. Sayang, Cece cuma sebulan di Arab sehingga upahnya di Arab tidak
bisa membayar utang yang jumlahnya hampir satu juta rupiah (1995). Ketika
hendak ke Arab Cece juga menjalani tes HIV. Ketika itu hasilnya negatif
sehingga dia bisa berangkat ke Arab Saudi sebagai tenaga kerja wanita (TKW).
Jadi Objek
Taruhan
Jangankan
biaya untuk mencari Cece ke Riau. Untuk membayar uang sekolah dua putranya yang
masih duduk di kelas 3 SD, di tempatnya yang baru di Banten, Kartam sudah
kebingungan. Tentu sangat sulit baginya untuk meminjam uang kepada majikannya
karena baru sepekan ia bekerja di sana. Padahal, ketika itu tahun ajaran baru.
Kartam
bersama istri dan anak-anaknya, termasuk Cece, terpaksa bekerja di lio
di Cikarang (1995) karena mereka tidak diterima lagi di kampung halamannya.
Semula Kartam bekerja sebagai buruh tani yang membantu mengetam padi. Istrinya
berjualan telur asin.
Tapi,
sejak ada berita di media massa yang menyebutkan Cece ‘pengidap AIDS’, pejabat
dan wartawan silih pun berganti datang maka kabar itu pun tersebar luas.
Akibatnya, semua orang menjauhi mereka. Tidak ada yang mau lagi mempekerjakan
Kartam dan tidak ada lagi yang membeli telur asin yang dijajakan oleh ibu Cece.
“Orang-orang
takut tertular, Pak,” kata seorang penduduk di kampung Kartam, di wilayah Kec.
Cibuaya, Kab. Karawang. Rupanya, penduduk di sana tidak bisa menerima kehadiran
Cece dan keluarganya karena mereka takut tertular. Bahkan, seorang pegawai
instansi pemerintah mengatakan berdekatan dengan Cece saja penyakit itu (AIDS,
pen.) bisa nepa (menular). Pemuda di kampung itu menuduh Cece membawa
aib dan penyebar maut.
Soalnya,
berita-berita di media cetak dan elektronik menjurus kepada ‘vonis mati’
terhadap Cece. Dalam berita disebutkan Cece, termasuk tiga wanita lain teman
Cece yang juga dipulangkan dari Riau, sebagai ‘penderita AIDS’ tinggal menunggu
waktu saja untuk dijemput maut.
Bagi
masyarakat berita itu menunjukkan bahwa AIDS berarti tinggal menunggu ajal.
Maka, tidak mengherankan kalau kemudian ada tetangga Cece, ketika mereka masih
di Cibuaya, yang bertaruh: Cece akan mati dua tahun lagi. Artinya, kalau Cece
hidup lebih dari dua tahun dia akan membayar taruhan.
Padahal,
sampai akhir Mei 1995 belum ada gejala-gejala AIDS pada diri perempuan yang
dirundung malang itu. Bahkan, Lebaran tahun 2001 Cece kembali ke kampungnya.
Tidak ada gejala-gejala terkait AIDS pada diri perempuan itu. Setelah merayakan
lebaran Cece kembali ke Riau.
“Kalau
dikorankan lagi saya akan lari,” kata Cece ketika ditemui penulis awal
Maret 1995 di sebuah lio di Cikarang, Kab. Bekasi, Jawa Barat. Ayah dan
ibunya pun mengatakan bahwa pemberitaan di media massa tentang putrinya sebagai
sumber malapetaka bagi keluarganya.
Akibat
berita di media cetak dan televisi penduduk mengucilkan mereka, aparat mencaci-maki
dan tidak ada orang yang mau mempekerjakan Kartam. Tidak ada lagi yang mau
lewat di depan rumah mereka.
Beberapa
judul berita yang becerita tentang Cece memang menyebutkan bahwa putrinya itu
sudah ‘menderita AIDS’ (mencapai masa AIDS-pen.). Padalah, ketika itu sama
sekali belum ada gejala-gejala AIDS. Tes yang dijalani Cece di Riau pun hanya
survailans tes HIV dan hasil tes survailans itu tidak dikonfirmasi dengan tes
lain.
Ketika
darahnya diperiksa di Riau dia baru sekitar dua tahun di sana (berangkat ke
Riau tahun 1992) dan bekerja di toko kelontong yang menjual makanan dan minuman
ringan. Pemilik toko ini kemudian mengawaninya.
Penduduk
di sekitar rumah Cece di Cibuaya menyebutkan bahwa mereka mengetahui Cece
‘mengidap AIDS’ setelah melihat wajah perempuan itu di salah satu acara sebuah
stasiun televisi swasta nasional. Tidak cuma rumah Cece yang dihindari orang,
tapi hajatan pesta sunatan di rumah tetangga Cece pun tidak dikunjungi tamu.
Undangan sudah disebarluaskan, tapi tidak satu pun yang diundang datang ke
hajatan itu.
Tetangga
Cece tadi rugi besar, bahkan yang punya hajat itu pun harus menyerahkan uang Rp
400.000 kepada aparat di kecamatan itu. “Katanya, sih, uang denda,” kata
seorang penduduk di sana.
Rupanya,
yang punya hajat tadi adalah orang yang membawa Cece ke Riau dan mempekerjakan
Cece sebagai pembatu rumah tangga di rumahnya sebelum Cece kawin di sana. Orang
itu pulalah yang membawanya pulang ke kampung ketika Cece ‘diusir’ dari Riau.
Sejak peristiwa itu yang punya hajat tadi pun tidak pernah lagi pulang kampung.
Padahal, biasanya tiap tahun mereka pulang kampung untuk merayakan Lebaran.
Beberapa
hari setelah Cece tiba di kampungnya dari Riau, rumah-rumah penduduk di sekitar
rumah Cece disemprot oleh aparat keamanan setempat. Seorang polisi berpakaian
dinas berdiri di depan rumah Cece. Sambil bertolak pinggang polisi itu
menghardik Cece, “Kamu datang ke sini hanya untuk menularkan penyakit!”
Polisi
tadi pun menuduh Cece sebagai pelacur. Kartam yang ketika itu terbaring di
ranjang karena sakit hanya bisa mengurut dada mendengar cercaan polisi itu.
“Kalau saya tidak sakit akan saya lawan biar pun dia polisi karena anak saya
bukan pelacur!” kata Kartam sambil terisak-isak mengenang peristiwa itu.
Setelah
beberapa bulan bekerja di rumah tetangganya yang membawanya ke Riau sebagai
pembantu rumahtangga Cece kawin dengan seorang lelaki Cina, pemilik toko
kelontong tadi.
Karena
tidak menikah ‘resmi’di KUA itulah, tampaknya, Cece menjadi salah satu obyek
pemeriksaan HIV di Riau karena ada mitos yang menyebutkan HIV menular melalui
zina atau ‘kumpul kebo’. Instansi di Riau pun, tampaknya, hanya memilih
perempuan pendatang sebagai obyek survailans tes HIV di daerahnya, padahal
tidak tertutup kemungkinan penduduk lokal pun ada yang menjadi ‘bini simpanan’
pendatang yang tidak menikah resmi di KUA.
Dikorankan
Cece
sendiri dipaksa oleh seorang petugas keamanan, ketika di Riau, ke rumah sakit.
Di sana darahnya diambil untuk dites. Beberapa hari kemudian ada seseorang yang
tidak dikenalnya datang memberitahu bahwa Cece sakit, yang kemudian
diketahuinya sebagai ‘penyakit AIDS’ yang sebenarnya hanyalah terdeteksi
HIV-positif melalui survailans. Karena disebut sakit Cece memilih dipulangkan
ke kampungnya. Sesampainya di kampung Cece berobat ke rumah sakit di Karawang,
tapi pemeriksaan di rumah sakit itu tidak menemukan penyakit pada diri Cece.
Prosedur
pemeriksaan dan pemulangan Cece ternyata melanggar asas kesepakatan
internasional yang menyangkut HIV/AIDS. Darahnya diambil tanpa konseling
sebelum tes dan tanpa persetujuan (informed consent) dari Cece. Kemudian
hasil tesnya diketahui umum secara luas. Mulai dari aparat di tingkat Provinsi
Jabar, Kabupaten Karawang, Kecamatan Cibuaya sampai ke desa dan pengurus RT
serta penduduk dan wartawan.
Bahkan,
petugas di RS Bayukarta Karawang pun dengan ringan tangan menunjukkan medical
record Cece kepada wartawan. Pemulangan Cece ke kampung asalnya pun
merupakan perbuatan yang melawan hukum karena tidak ada aturan yang membenarkan
pemulangan seseorang yang HIV-positif dari satu daerah ke daerah asal.
Cara-cara yang dilakukan di Riau dan di Karawang merupakan perbuatan yang
melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM).
Biar
pun perlakuan terhadap Cece, mulai dari pembeberan identitas, pemulangan dan
pemberitaan di media massa, melawan hukum dan melanggar HAM, tapi tak satu pun
instansi yang merasa bertanggung jawab terhadap nasib Cece dan keluarganya.
Sehari setelah tiba dari Riau petugas puskesmas setempat mendatangi rumah Cece
dan mengambil contoh darahnya tanpa konseling dan persetujuan.
Kartam
mengaku kebingungan karena darah anaknya baru diambil pagi hari, eh,
siang hari sudah ada koran yang memuat cerita tentang penyakit anaknya.
Rupanya, berita tentang pemulangan empat perempuan Karawang dari Riau yang
terdeteksi HIV-positif itu dikabarkan melalui telegram ke dinas terkait di
Karawang dan Bandung beberapa hari sebelum Cece tiba di kampungnya. Telegram
itulah yang menjadi sumber informasi bagi wartawan dan pejabat setempat.
Kepada
ayah dan ibunya Cece sering mengatakan, “Kalau saya masih di sini (maksudnya di
Cibuaya, pen.) saya akan terus dikorankan (maksudnya menjadi berita di
media massa-pen.).” Inilah, agaknya yang membuat Cece memilih pergi tanpa
memberitahukan tujuannya. Soalnya, ketika masih di Cibuaya Cece selalu menjadi pusat perhatian aparat
pemda, tumpuan caci-maki penduduk serta menjadi buruan ‘nyamuk-nyamuk pers’.
Seorang
perempuan lain, juga di Karawang yang juga dipulangkan dari Riau bersama Cece,
sebut saja Cici, 22 tahun, justru menjadi sapi perahan aparat desa dan
kecamatan. Cici menjalin hubungan cinta dengan seorang pria Cina Singapura.
Biar pun Cici sudah pulang kampung pria itu tetap mengunjunginya secara rutin.
Jika aparat desa mengetahui pria itu menginap di rumah Cici petugas pun datang
memeriksanya. Agar persoalannya selesai Cici pun menyerahkan empat amplop yang
semuanya berjumlah Rp 200.000 (Lihat: Duka
Derita Seorang Perempuan Pengidap HIV/AIDS di Karawang, Jawa Barat - http://www.aidsindonesia.com/2012/10/duka-derita-seorang-perempuan-pengidap.html).
Begitu
pula dengan seorang Odha perempuan yang menikah di Makassar, Sulawesi Selatan.
Pasangan ini berkali-kali diusir dari rumah kontrakannya hanya karena
masyarakat di sekitar mereka mengenal mereka sebagai ‘Pengantin AIDS’. Julukan
ini tersebar luas di masyarakat karena merupakan judul berita lengkap dengan
foto pengantin di media cetak lokal dan nasional.
Rupanya,
ada penduduk yang menyimpan koran yang memuat foto pengantin mereka. Maka,
ketika suatu hari Odha tadi memakai kaos (T-shirt) yang bertuliskan
pesan-pesan tentang AIDS maka ketua RT setempat pun menyelidik-nyelidik.
Kebetulan ada penduduk yang menyimpan koran yang memuat foto mereka. Akibatnya,
pasangan ini diusir. Mereka sudah beberapa kali diusir penduduk dari tempat kos
hanya karena ada penduduk yang mengetahui identitas mereka sebagai ‘Pengantin
AIDS’. Terakhir mereka bisa ‘aman’ karena tinggal di rumah salah seorang
pegawai sebuah instansi dan memberikan pekerjaan kepada pasangan itu (Lihat: Nasib ‘Pengantin AIDS’ di Makassar, Sulsel,
yang Berkali-kali Diusir Tetangga - http://www.aidsindonesia.com/2012/10/nasib-pengantin-aids-di-makassar-sulsel.html).
Patah Hati
Cece
dan Cici serta keluarga mereka tetap tidak percaya Cece dan Cici tertular HIV
karena, “Lihat saja badan anak saya gemuk,” kata ayah Cici menjelang lebaran
1996 di rumahnya di Cibuaya, Kab. Karawang. Cici meninggal awal tahun 2000
meninggalkan seorang putri yang juga HIV-positif.
Begitu
pula dengan ayah dan ibu Cece mereka juga mengatakan Cece sehat karena badannya
gemuk dan tidak pernah sakit. “Kerjanya kuat, pilek pun tidak pernah,” kata
Kartam ketika Cece masih bersamanya di Cikarang (1995). Tampaknya, hal itu
terjadi karena pemberitaan yang simpang siur tentang HIV/AIDS. Foto-foto Odha
(Orang yang hidup dengan HIV/AIDS) yang ditampilkan media massa adalah
orang-orang yang kurus yang sudah mencapai AIDS.
Padahal,
untuk mencapai masa AIDS ada rentang waktu antara 5-10 tahun sehingga sebelum
mencapai masa AIDS seseorang yang HIV-positif tidak menunjukkan tanda-tandayang
khusus. Bahkan, banyak yang sudah mencapai masa AIDS tetapi badannya tetap
kekar dan tegar.
Penderitaan
Kartam dan keluarganya ternyata belum berakhir walaupun mereka sudah pindah nun
jauh dari kampungnya karena mereka tidak mengetahui di mana Cece berada.
Rupanya,
putrinya patah hati karena pacarnya memutuskan tali cinta mereka. Hal ini
terjadi karena ada orang sekampung Cece, yang juga bekerja di lio, yang
menceritakan status HIV Cece kepada pacarnya. Pemuda itu sendiri sudah berjanji
akan menyunting Cece. “Orang tua mana yang tidak senang mengawinkan anaknya,”
kata ibu Cece sambil mengusap air mata.
Penantian
Kartam dan keluarganya untuk bisa bertemu dengan Cece tidak sia-sia karena
tahun 1999 Cece menemui mereka di kampung halamannya. Rupanya, setelah
‘bertualang’ dari satu lio ke lio lain Kartam dan keluarganya
tidak mempunyai pilihan selain pulang ke kampung di Karawang. Tetangga di desa
pun sudah bisa menerima Cece dan keluarganya.
Kini,
Kartam dan keluarganya sudah kembali tinggal di kampung halamannya. Sedangkan
Cece kembali ke Riau dan bekerja di sana. Kartam dan istri serta adik-adiknya
pun sudah pernah diajak Cece ke Riau. Tetangga yang dahulu mencaci-maki dan
mencibir sudah ada yang menyesal dan meminta maaf. Kartam sendiri mengaku
memaafkan tetangganya.
Dua
bulan kemudian Kartam menerima telepon dari Cece yang mengajaknya ke Riau. Di
sana ada pekerjaan sebagai penjaga kebun durian. Kartam pun memboyong
keluarganya ke sebuah pulau di sekitar P. Batam di Kep. Riau. “Saya senang bisa
berkumpul dengan Cece.” kata Kartam mengenang pertemuannya dengan Cece ketika
ditemui Lebaran lalu (2005) di Karawang. Selain menjaga kebun durian Kartam
juga menderes pohon karet. Sedikit demi sedikit Kartam mengumpulkan uang. Hasil
jerih payahnya dipakainya untuk membangun rumah. Sebagian disimpannya, “Untuk
membeli tanah di kampung (maksudnya di Karawang, pen.),” katanya terbata-bata.
Selama
dua tahun bersama Cece seakan-akan semuanya baik-baik saja. Kartam sudah
membayang-bayangkan akan menjadi petani di kampungnya berbekal simpanannya,
ketika itu berjumlah Rp 9 juta dan puluhan ayam kampung. Tapi, tiba-tiba
semuanya buyar karena Cece sakit. Menurut Kartam putrinya ‘muntaber’. Bidan
yang mereka datangi mengatakan Cece ngidam. Kartam dan istrinya lega.
Tapi, ‘muntaber’ datang berulang-ulang. Kalau berobat sembuh. Setelah obat
habis sakit lagi. Begitu seterusnya. Akhirnya, mereka membawa Cece ke rumah
sakit. “Mereka tidak tahu apa penyakit anak saya,” kata Kartam. Pemeriksaan
laboratorium, termasuk rongent, tidak menunjukkanpenyakit yang diderita
Cece.
Hampir
satu tahun Kartam dan istrinya mengurus Cece yang terus-menerus sakit. Harta
Cece dan simpanan Kartam pun ludes untuk membiayai pengobatan Cece. Cece
meninggal dunia lima hari setelah Lebaran tahun 2003. Satu hal yang dibanggakan
Kartam dan istrinya adalah penduduk di sana banyak yang datang melayat walaupun
mereka pendatang.
Setelah
acara seratus hari kematian Cece, Kartam memboyong keluarganya kembali ke
Karawang. Untuk biaya pulang Kartam menjual barang yang ada, termasuk rumah
yang dibangunnya.Rumah yang dibangunnya dengan biaya sekitar dua juta rupiah
hanya laku Rp 800.000.
Kini,
Kartam dan keluarganya hanya bisa mengenang masa-masa indah dengan Cece di
rantau karena Cece sudah pergi meninggalkan mereka untuk selama-lamanya. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Catatan:
*
Naskah ini pernah dimuat di Newsletter PMP AIDS-LP3Y, Yogyakarta, Edisi
Ke-12, April 1996. Diolah kembali berdasarkan data terbaru tentang Cece dan keluarganya.
**
Kartam dan istrinya pernah ditampilkan
untuk memberikan testimoni tentang pengalaman mereka sebagai korban pemberitaan
media massa pada seminar tentang “HAM
terkait HIV/AIDS” yang diselenggarakan oleh LAHSI di Jakarta
(8/12-2001).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.