29 Oktober 2012

Kasus HIV/AIDS di Indonesia Tercatat Karena Pengidap atau Penderita Melaporkan Diri?



Tanggapan Berita (29/10-2012) – “Jumlah pengidap HIV/AIDS di Indonesia masih tinggi. Diperkirakan terdapat 500 ribu lebih penderita di seluruh wilayah Indonesia. Namun tingkat kesadaran para penderita untuk melakukan konseling cukup rendah. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 86.762 penderita yang melapor ke layanan konseling.” Ini lead di berita “Pemerintah Tergetkan Jumlah Penderita HIV/AIDS Turun” (jpnn.com, 27/10- 2012).

Di lead disebutkan “ …. hanya sekitar 86.762 penderita yang melapor ke layanan konseling”. Wah, ini wartawan rupanya tidak memahami pelaporan kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonsia. Angka itu adalah yang dilansir oleh Ditjen PP & PL Kemenkes RI yang merupakan jumlah kasus AIDS yang dilaporkan oleh dinas-dinas kesehatan seluruh Indonesia.

Tidak jelas apakah pernyataan itu merupakan kutipan atau penafsiran wartawan karena kasus-kasus HIV/AIDS yang dilaporkan adalah yang terdeteksi melalui berbagai sarana dan fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit dan klinik VCT (tempat tes HIV gratis secara sukarela dengan bimbingan dan kerahasiaan).

Ada pula pernyataan “tingkat kesadaran para penderita untuk melakukan konseling cukup rendah”. Ini juga ngawur karena penderita HIV/AIDS yang terdeteksi HIV/AIDS sudah melalui konseling sebelum dan sesudah tes HIV baik di klinik VCT (tempat tes HIV gratis secara sukarela dengan konseling dan kerahasiaan), rumah sakit, LSM, dll.

Terkait dengan tingkat pengetahuan masyarakat terhadap HIV/AIDS, maka: "Kita targetkan presentase penduduk usia 15 - 24 tahun, memiliki pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS dari 65 persen menjadi 95 persen." Ini dikatakan Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kemenkes, Prof dr Tjandra Yoga Aditama.

Pertanyaan untuk Prof Tjandra: Apakah ada jaminan jika mereka memahami HIV/AIDS kelak akan otomatis menerapkan cara-cara pencegahan HIV, al. seks aman?

Laki-laki dewasa, terutama suami-suami, yang menularkan HIV/AIDS kepada istrinya ada yang memahami cara-cara pencegahan  HIV melalui hubungan seksual, terutama dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti psangan, seperti PSK dan waria, tapi banyak di antara mereka yang tidak memakai kondom ketika sanggama dengan PSK atau waria.

Selain pemahaman juga diperlukan regulasi yang konkret untuk ‘memaksa’, terutama laki-laki, memakai kondom jika melacur.

Persoalannya adalah di Indonesia pelacuran dianggap tidak ada hanya dengan alasan tidak ada lokalisasi pelacuran dan beberapa daerah mempunyai peraturan daerah (perda) anti pelacuran dan anti maksiat.

Maka, dalam kaitan itu tentulah tidak bisa dilakukan langkah yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK.

Masih menurut Prof Tjandra, pemerintah juga akan menggiatkan sosialisasi konseling kepada para penderita. Pemerintah memiliki target untuk meningkatkan jumlah penduduk usia 15 tahun atau lebih yang menerima konseling dan tes HIV.

Langkah di atas terjadi atau dilakukan di hilir. Artinya, ditunggu dulu penduduk tertular HIV baru diberikan konseling yang berakhir dengan tes HIV.

Dikabarkan Menkes Nafsiah Mboi, menuturkan bahwa rehabilitasi masih menjadi cara paling ampuh untuk dijalani penderita HIV/AIDS. Cara itu dinilai bisa mengurangi tekanan jiwa para pengidap penyakit tersebut. Sementara cara preventif bisa dilakukan dengan cara sosialisasi, baik oleh pakar kesehatan maupun tokoh agama.

Yang disebutkan Bu Menkes itu pun merupakan langkah penanggulangan atau penanganan di hilir. Ya, menunggu ada dulu yang tertular HIV (di hulu) baru ditangani (di hilir).

Yang diperlukan adalah penanggulangan di hulu dengan cara-cara yang konkret.

Salah satu langkah konkret adalah menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK dengan program pemakaian kondom pada laki-laki yang melacur.

Tapi, lagi-lagi terbentur karena program itu hanya efektif dijalankan di lokalisasi pelacuran yang dibentuk berdasarkan regulasi sehingga mempunyai kekuatan hukum. Lokalisasi yang diregulasi akan menempatkan germo atau pengelola dalam jeratan hukum sehingga peraturan bisa memaksa germo atau pengelola untuk menjalankan program penanggulangan.

Program tsb. menjadi penting artinya dalam menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa karena saat ini ada 6 - 8 juta laki-laki dewasa di Indonesia yang melakukan hubungan seksual berisiko, al. melacur tanpa memakai kondom dengan PSK.

Tapi, selama pelacuran tidak dilokalisir, maka selama itu pula indisen infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui praktek pelacuran di sembarang tempat dan sembarang waktu akan terus terjadi. Buktinya dapat dilihat dari kasus HIV/AIDS yang terus terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.