30 Oktober 2012

“Kabur”, 7 Pengidap HIV/AIDS di Tapanuli Tengah, Sumut



Tanggapan Berita (31/10-2012) – “Hingga kini Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Tengah (Dinkes Tapteng) kesulitan melacak keberadaan tujuh orang penderita positif HIV/AIDS. Ketujuhnya menghilang, pasca dirujuk ke Rumah Sakit Umum (RSU) Adam Malik, Medan, beberapa waktu lalu.” Ini lead di berita ”7 penderita HIV/AIDS kabur” (Koran Sindo, 26/10-2012).

Ada beberapa hal yang tidak akurat pada lead berita itu.

Pertama, melacak penderita HIV/AIDS adalah perbuatan melawan hukum dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).

Kedua, orang-orang yang sudah menjalani tes HIV sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku tidak akan pernah ’mengilang’ karena mereka membutuhkan layanan kesehatan, mulai dari tes CD4, obat antiretroviral (ARV), dan pengobatan penyakit-penyakit lain.

Ketiga, kalau di Dinkes Tapteng tidak ada obat ARV tentu saja mereka harus bulak-balik tidap bulan mengambil obat ke Medan, kira-kira 380 ke arah utara Kota Sibolga, ibukota Tapteng, sehingga ada kemungkinan mereka memilih tinggal di Medan dan sekitarnya. 

Kalau saja wartawan yang menulis berita ini jeli, maka pertanyannya adalah: Apakah di Tapteng tidak ada fasilitas tes HIV dan penyediaan obat ARV? 

Sayang, wartawan yang menulis berita ini tidak memahami HIV/AIDS dengan baik sehingga dia memilih kata-kata yang bersifat polisional daripada memaparkan realitas terkait dengan epidemi HIV/AIDS di Tapteng.

Disebutkanoleh Kepala Dinkes Tapteng, Morgan Sibarani melalui Kepala Bidang (Kabid) Pengendalian Masalah kesehatan, Megawati Tarigan: “Pasca berobat ke RSU Adam Malik, ke tujuh penderita  ini tidak pernah datang kemari (Dinkes Tapteng) lagi dan kita sudah berupaya mengecek dan memantau keberadaan mereka ke rumah masing-masing, akan tetapi tidak berhasil. Bahkan diantara mereka ada yang sudah pindah rumah entah kemana.”

Tanpa dipantau atau dilacak pun mereka akan mencari layanan kesehatan karena ketika akan tes HIV sudah ada konseling (bimbingan) yang memberikan mereka pemahaman yang komprehensif tentang HIV/AIDS.

Pertanyaannya adalah: Mengapa mereka tidak ’melapor’ ke Dinkes Tapteng?

Dalam berita tidak jelas mengapa mereka dirujuk berobat ke Medan: Apakah untuk tes HIV, tes CD4, atau pengobatan penyakit lain yang terkait dengan HIV/AIDS.

Dikabarkan bahwa di Tapteng sampai Oktober 2012  tercatat 10 kasus HIV/AIDS. Dari 10 kasus itu, 3 penderita telah meninggal dunia beberapa waktu lalu.

Lagi-lagi wartawan tidak bertanya tentang bagaimana dan di mana 10 kasus itu terdeteksi. Apa faktor risiko penularah HIV, termasuk tujuh orang yang ’kabaru’ tidak jelas siapa mereka dan apa faktor risiko penularannya.

Begitu pula dengan penyebab kematian tiga pengidap HIV/AIDS juga tidak disebutkan dalam berita sehingga terkesan mereka meninggal karena HIV/AIDS. Padahal, kematian pengidap HIV/AIDS bukan karena  HIV/AIDS tapi penyakit lain yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare dan TBC.

Megawati berharap mereka dapat datang kembali untuk memeriksakan kesehatannya secara rutin ke Dinkes Tapteng. Disamping biaya gratis, juga turut disediakan obat–obatan gratis.

Yang perlu dilakukan adalah mengontrol CD4 pengidap HIV/AIDS untuk memulai pengobatan dengan obat ARV.

Pertanyaannya: Apakah di Dinkes Tapteng ada alat untuk memeriksa CD4?

Kalau tidak ada tentulah tujuh orang pengidap HIV/AIDS itu akan mencari tempat yang bisa membantu mereka mendapatkan layanan yang lebih komprehensif. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.