Tanggapan Berita (31/10-2012) – “Hingga kini Dinas Kesehatan Kabupaten Tapanuli Tengah
(Dinkes Tapteng) kesulitan melacak keberadaan tujuh orang penderita positif
HIV/AIDS. Ketujuhnya menghilang, pasca dirujuk ke Rumah Sakit Umum (RSU) Adam
Malik, Medan, beberapa waktu lalu.” Ini lead di berita ”7 penderita HIV/AIDS kabur” (Koran
Sindo, 26/10-2012).
Ada beberapa hal yang tidak
akurat pada lead berita itu.
Pertama, melacak penderita
HIV/AIDS adalah perbuatan melawan hukum dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia
(HAM).
Kedua, orang-orang yang
sudah menjalani tes HIV sesuai dengan standar prosedur operasi tes HIV yang
baku tidak akan pernah ’mengilang’ karena mereka membutuhkan layanan kesehatan,
mulai dari tes CD4, obat antiretroviral (ARV), dan pengobatan penyakit-penyakit
lain.
Ketiga, kalau di Dinkes
Tapteng tidak ada obat ARV tentu saja mereka harus bulak-balik tidap bulan
mengambil obat ke Medan, kira-kira 380 ke arah utara Kota Sibolga, ibukota
Tapteng, sehingga ada kemungkinan mereka memilih tinggal di Medan dan
sekitarnya.
Kalau saja wartawan yang menulis berita ini jeli, maka pertanyannya adalah: Apakah di Tapteng tidak ada fasilitas tes HIV dan penyediaan obat ARV?
Sayang, wartawan yang menulis berita ini tidak memahami HIV/AIDS dengan baik sehingga dia memilih kata-kata yang bersifat polisional daripada memaparkan realitas terkait dengan epidemi HIV/AIDS di Tapteng.
Disebutkanoleh Kepala Dinkes Tapteng, Morgan Sibarani melalui Kepala
Bidang (Kabid) Pengendalian Masalah kesehatan, Megawati Tarigan: “Pasca
berobat ke RSU Adam Malik, ke tujuh penderita ini tidak pernah datang
kemari (Dinkes Tapteng) lagi dan kita sudah berupaya mengecek dan memantau
keberadaan mereka ke rumah masing-masing, akan tetapi tidak berhasil. Bahkan
diantara mereka ada yang sudah pindah rumah entah kemana.”
Tanpa dipantau atau dilacak pun
mereka akan mencari layanan kesehatan karena ketika akan tes HIV sudah ada
konseling (bimbingan) yang memberikan mereka pemahaman yang komprehensif
tentang HIV/AIDS.
Pertanyaannya adalah: Mengapa
mereka tidak ’melapor’ ke Dinkes Tapteng?
Dalam berita tidak jelas mengapa
mereka dirujuk berobat ke Medan: Apakah untuk tes HIV, tes CD4, atau pengobatan
penyakit lain yang terkait dengan HIV/AIDS.
Dikabarkan bahwa di Tapteng
sampai Oktober 2012 tercatat 10 kasus
HIV/AIDS. Dari 10 kasus itu, 3 penderita telah meninggal dunia beberapa waktu
lalu.
Lagi-lagi wartawan tidak
bertanya tentang bagaimana dan di mana 10 kasus itu terdeteksi. Apa faktor
risiko penularah HIV, termasuk tujuh orang yang ’kabaru’ tidak jelas siapa
mereka dan apa faktor risiko penularannya.
Begitu pula dengan penyebab
kematian tiga pengidap HIV/AIDS juga tidak disebutkan dalam berita sehingga
terkesan mereka meninggal karena HIV/AIDS. Padahal, kematian pengidap HIV/AIDS
bukan karena HIV/AIDS tapi penyakit lain
yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare dan TBC.
Megawati berharap mereka dapat
datang kembali untuk memeriksakan kesehatannya secara rutin ke Dinkes Tapteng.
Disamping biaya gratis, juga turut disediakan obat–obatan gratis.
Yang perlu dilakukan adalah
mengontrol CD4 pengidap HIV/AIDS untuk memulai pengobatan dengan obat ARV.
Pertanyaannya: Apakah di Dinkes
Tapteng ada alat untuk memeriksa CD4?
Kalau tidak ada tentulah tujuh
orang pengidap HIV/AIDS itu akan mencari tempat yang bisa membantu mereka
mendapatkan layanan yang lebih komprehensif. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful
W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.