Kantor
Yayasan Kerti Praja di Jalan Raya Sesetan, Denpasar, tak ubahnya seperti
perkantoran. Tapi, salah satu ruangan di lantai satu menjadi tujuan
pekerja seks komersial (PSK). Di ruangan itulah mereka mendapatkan pelayanan
kesehatan, mulai dari pemeriksaan, pengobatan dan konseling.
Kegiatan yang dikembangkan Prof
Dr dr DN Wirawan, MPH, ketua yayasan, ini merupakan salah satu usaha untuk
melindungi masyarakat dari aspek kesehatan masyarakat agar tidak terjadi
penyebaran penyakit IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit yang ditularkan
melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, seperti GO,
sifilis, klamidia, hepatitis B, dll.) dari laki-laki ke PSK dan sebaliknya.
Selain datang sendiri Kerti
Praja juga punya program ’jemput bola’ yaitu menjemput PSK dari lokasi
pelacuran agar mau berobat ke klinik. PSK yang datang ke klinik yayasan
dibekali dengan pengetahuan tentang IMS dan HIV/AIDS, terutama cara-cara
pencegahannya dengan kondom.
“Ah, mau kontrol, aja,”
kata Ita, bukan nama sebenarnya, seorang PSK asal Jawa Timur, sambil berusaha
menutupi cupang yang berwarna kehitam-hitaman di lehernya dengan rambutnya (liputan tahun 2008). Ita
mengaku baru pulang dari kampungnya. Ita datang untuk berobat. Medical
record semua PSK yang menjadi kelompok dampingan disimpan di rak.
Berkat dampingan yang konsisten
banyak PSK yang datang sendiri ke poliklinik. Ada yang memang ingin berobat, kontrol atau konsultasi. Ada pula yang
sekaligus membeli kondom. Untuk meningkatkan kesadaran PSK yayasan juga
menjalin kerja sama dengan ‘induk semang’ atau germo PSK itu. Kerja sama
merupakan salah satu cara agar PSK diizinkan dibawa ke poliklinik untuk kontrol
dan konseling.
Sebuah taksi masuk ke halaman
yayasan. Empat perempuan dan seorang laki-laki turun dari taksi. Mereka
langsung menuju poliklinik. “Kita menjemput mereka, Pak,” kata Dewa, petugas
lapangan, yang menjemput PSK tadi. Biasanya setelah dijemput satu atau dua kali
selanjutnya mereka pun akan datang sendiri ke poliklinik.
Setelah kontrol dan konseling
mereka ditawari kondom “Sutra” sebagai upaya untuk melindungi diri. Pendekatan ini
mendorong PSK untuk membeli kondom mereka “Sutra” di poliklinik.
Tapi, seperti yang dikatakan
seorang PSK selalu saja ada yang menolak memakai kondom. Terutama laki-laki
lokal. “Kalau
orang Jepang atau Korea malah memakai kondom dua lapis,” kata salah seorang PSK
yang baru selesai menjalani pemeriksaan.
Untunglah
yayasan sudah menjalin kerja sama dengan mucikari sehingga kalau ada PSK yang
menolak tamu yang tidak mau memakai kondom mucikari tidak marah. Berkat
penyuluhan yang tidak kenal lelah kian banyak PSK yang sudah berani menolak
tamu jika tamu tidak mau memakai kondom. “Daripada celaka,” kata Tini, bukan nama
sebenarnya, seorang PSK juga asal Jawa Timur.
PSK
yang menjadi kelompok dampingan yayasan sudah memahami IMS dan HIV/AIDS
sehingga mereka mempunyai posisi tawar yang kuat.
Ada
juga mucikari yang sudah memikirkan ‘nasib’ PSK asuhannya dengan menyediakan kondom.
Tidak mengherankan kalau kemudian ada mucikari yang membeli kondom ke klinik.
Kadang-kadang ada pula suruhan PSK atau mucikari yang membeli kondom. Hal itu
menunjukkan tingkat pemahaman PSK terhadap keamanan sudah tinggi.
Persoalan
yang muncul kemudian adalah PSK silih berganti sehingga yayasan mulai lagi dari
nol. Karena menyangkut keselamatan rakyat banyak maka yayasan pun tidak
mengenal lelah dalam memasyarakatkan ‘seks aman’ dengan memakai kondom pada
hubungan seks yang berisiko.
Itu
berjalan sebelum tahun 2008. Tapi, sejak 2008 lokasi pelacuran di sekitar Jalan
Danau Tempe dibongkar sehingga PSK pun menyebar luas ke berbagai sudut kota.
Celakanya,
yang dibongkar hanyalah barak-barak di lokasi pelacuran. Sedangkan rumah-rumah
besar yang dijadikan tempat pelacuran, disebut ‘wisma’, di salah satu kawasan
di pantai Sanur, ternyata lolos dari pembongkaran. Ini terjadi karena
kepemilikan rumah-rumah di sana terkait dengan peringkat starata sosial
pemiliknya.
Salah
seorang penjangkau di ‘wisma-wisma’ itu mengatakan bahwa sebagian pengunjung yang
datang adalah pasangan yang pacaran. Biasanya mereka datang ke ‘wisma’ antara
pukul 19.00 – 21.00 yang merupakan jam tayang film di bioskop.

Lokalisasi
pelacuran boleh-boleh saja dibongkar, tapi praktek pelacuran terus terjadi.
Belakangan muncul pula lokasi pelacuran di Padang Galak, pantai Sanur, Denpasar
Timur, dan tempat-tampat lain.
Selain
itu muncul pula kafe yang sudah sampai ke kawasan pedesaan. Kafe-kafe itu pun
menyediakan PSK sehingga ada transaksi seks dalam bentuk pelacuran.
Selama
Pemprov Bali tetap mengabaikan praktek pelacuran, di lokasi, rumah-rumah,
penginapan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang serta kafe yang tersebar
luas, maka selama itu pula penyebaran HIV dengan faktor risiko hubungan seksual
akan terus terjadi.
Kasus-kasus
HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga membuktikan suami mereka melacur tanpa
kondom. Pada gilirannya, kekhawatiran Pulau Bali akan menjadi ‘pulau AIDS’ bisa
terjadi. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.