10 Oktober 2012

HIV/AIDS di Jakarta Barat Terus ‘Meningkat’



Tanggapan Berita (10/10-2012) – “Di Jakarta Barat, daerah yang banyak mengidap HIV/AIDS berada di Kalideres dan Tamansari. Setiap tahunnya, jumlah penderita terus meningkat.” Ini pernyataan Sukarno, Ketua Pelaksana Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Jakarta Barat, di berita “Pengidap HIV/AIDS di Jakarta Barat Terus Meningkat” (megapolitan.kompas.com, 19/9-2012).

Dari pernyataan tersebut, ada dua hal yang tidak dijelaskan dalam berita.

Pertama, mengapa pengidap HIV/AIDS banyak terdeteksi di Kalideres dan Tamansari?

Kedua, bagaimana kasus HIV/AIDS terdeteksi di Kalideres dan Tamansari?

Jawaban dari dua pertanyaan di atas sama sekali tidak ada dalam berita sehingga data itu tidak memberikan gambaran utuh tentang penyebaran HIV/AIDS di Jakarta Barat.

Pernyataan ‘Setiap tahunnya, jumlah penderita terus meningkat’ menunjukkan Sukarno tidak memahami cara pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia. Pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan secara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu seterusnya sehingga angka kasus yang dilaporkan tidak akan pernah turun biar pun penderitanya banyak yang meninggal dunia.

Yang terjadi adalah setiap tahun jumlah kasus baru bertambah. Artinya, dari tahun ke tahun jumlah kasus yang terdeteksi terus bertambah.

Nah, itu menunjukkan penyebaran HIV/AIDS terus terjadi secara horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Kondisi ini diperkuat dengan data bahwa “Mayoritas yang mengidap penyakit tersebut adalah perempuan karena tertular saat berhubungan seks.”

Tidak dijelaskan apakah perempuan yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS itu ibu rumah tangga atau pekerja seks komersial (PSK), karyawan panti pijat, cewek bar, dll. Hal ini juga tidak memberikan gambaran yang utuh tentang penyebaran HIV di Jakarta Barat.

Tapi, kalau ada di antara perempuan yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS itu PSK, maka ada risiko pada laki-laki ‘hidung belang’ penduduk Jakarta Barat tertular HIV jika mereka melakukan hubungan seksual dengan PSK tanda kondom.

Pertanyaannya adalah: Apakah Pemko Jakarta Barat mempunyai program yang konkret untuk mencegah penularan HIV dari PSK kepada laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK?

Kalau jawabannnya TIDAK ADA, maka penyebaran HIV/AIDS di Jakarta Barat didorong oleh laki-laki ‘hidung belang’ yang tertular HIV dari PSK.

Disebutkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Jakarta Barat tahun 2010 tercatat 590, dan di tahun 2011 dilaporkan 708. Tentu saja angka ini tidak menggambarkan kasus ril di masyarakat karena penyebaran HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi (708) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar).

Disebutkan bahwa pencegahan virus ini pun tergantung dari perilaku masyarakat, bagaimana cara mereka mengatasi penyakit ini dengan melaporkan atau memeriksakan kesehatan ke rumah sakit.

Persoalannya adalah banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV/AIDS karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik mereka. Akibatnya, mereka menularkan HIV tanpa mereka sadari dan yang tertular pun tidak menyadarinya.

Banyak kasus terdeteksi ketika orang-orang yang tertular HIV sudah masuk masa AIDS, yaitu setelah tertular antara 5 – 15 tahun, ketika mereka mereka berobat. Dokter menganjurkan tes  HIV karena penyakit yang mereka derita terkait dengan HIV/AIDS dan perilaku mereka terkait dengan perilaku beisiko tertular HIV.

Menurut Kasi Pengendalian Masalah Kesehatan (PMKes), dr Irma, pengidap AIDS memiliki risiko besar untuk menularkan virus kepada janin. Karena masalah itulah, penderita AIDS diharapkan tidak hamil.

Lagi-lagi persoalannya adalah banyak ibu-ibu rumah tangga yang tidak menyadari mereka sudah tertular HIV. Untuk itulah diperlukan mekanisme yang sistematis untuk mendeteksi HIV pada perempuan hamil. Celakanya, tidak ada regulasi untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil.  Perda AIDS DKI Jakarta pun sama sekali tidak memberikan cara yang konkret untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil (Lihat: Perda AIDS Jakarta - http://www.aidsindonesia.com/2012/10/perda-aids-dki-jakarta.html).  

Di wilayah Jakarta Barat banyak pusat hiburan malam yang tidak tertutup kemungkinan menyediakan jasa ‘layanan seks’. Untuk itulah Pemko Jakarta Barat perlu membuat regulasi berupa program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK di tempat-tempat hiburan tsb.

Karena izin usaha adalah tempat hiburan, maka praktek pelacuran tidak bisa dijangkau karena tidak termasuk dalam regulasi perizinan. Akibatnya, program ‘wajib kondom’ bagi laki-laki ‘hidung belang’ tidak bisa diterapkan secara utuh di pusat-pusat hiburan malam yang menyediakan ‘layanan seks’. 

Itu artinya penyebaran HIV/AIDS di Jakarta Barat khususnya dan di Jakarta umumnya akan terus terjadi. Pada gilirannya akan terjadi ‘ledakan AIDS’. **[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.