Identifikasi
AIDS pada kalangan laki-laki gay di Los Angeles, AS (1981) berdampak
pada pandangan terhadap HIV/AIDS dengan kaca mata moral. Tapi, ketika di
beberapa negara masyarakat mulai melihat epidemi HIV/AIDS dari aspek medis,
maka insiden infeksi HIV baru di kalangan dewasa mulai menunjukkan grafik yang
mendatar.
Sebaliknya,
di negara-negara yang tetap menempatkan moral sebagai ‘alat’ memandang HIV/AIDS
kasus-kasus infeksi HIV baru di kalangan laki-laki dewasa terus meroket.
Indonesia, misalnya, merupakan salah satu dari tiga negera di Asia setelah Cina
dan India dengan pertumbuhan kasus HIV terbesar.
Celakanya,
sejak awal epidemi HIV/AIDS Indonesia memakai sudut pandang moral dalam
menanggapi AIDS. Tidak tanggung-tanggung menteri kesehatan yang notabene
berpijak pada fakta medis justru mengumandangkan moral ketika membicarakan AIDS.
Kalangan
agamawan pun angkat bicara pula. Seperti halnya kalangan ulama di Indonesia.
Bulan November 1995 di Bandung, Jawa Barat, dilangsungkan Muzakarah Nasional Ulama tentang
Penanggulangan Penularan HIV/AIDS (kerjasama MUI, Departemen Agama RI, dan
UNICEF).
Muzakarah itu sebagai bagian
dari peran ulama dalam penanggulnagan AIDS. Tapi, butir-butir yang dihasilkan
sama sekali tidak memberikan cara-cara pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS
yang konkret.
Muzakarah
ini dilangsungkan karena terpanggil untuk berperan dalam penanggulangan AIDS.
Indonesia dikesankan berhadapan dengan ancamanAIDS sehingga dituntut untuk
memberikan langkah pencegahan.
Disebutkan
langkah ini diambil setelah memperhatikan “Hasil-hasil penelitian dari dalam dan luar negeri mengenai dampak epidemik
virus HIV/AIDS yang melanda kehidupan umat manusia sangat menghawatirkan.”
Disebutkan pula: “Bahwa
penyebaran HIV/AIDS sudah merupakan bahaya umum (al-Dharar al-’Am) yang
dapat mengancam siapa saja tanpa memandang jenis kelamin, umur dan profesi.”
Ini tidak akurat karena tidak semua orang berisiko tertular HIV. Orang yang
berisiko tertular HIV hanya laki-laki atau perempuan yang perilaku seksnya
berisiko, yaitu sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan pasangan
berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan di dalam atau di
luar nikah.
Kesepakatan pada muzakarah
disikapi dengan tadzkirah. (1) “Masyarakat, khususnya umat Islam Indonesia
dengan keimanan yang diyakininya dituntut secara sungguh untuk mampu
menghindari perbuatan-perbuatan tercela yang memungkinkan berjangkitnya virus
HIV/AIDS atas dirinya, keluarga dan masyarakat karena deteksi penyebarannya
yang masih amat sulit.”
Karena HIV/AIDS dikaitkan
dengan ‘perbuatan tercela’ maka hal ini akan mendorong masyarakat memberikan
cap buruk (stigma) dan perlakuan berbeda (diskriminasi) terhadap orang-orang
yang tertular HIV. Padahal, tidak ada kaitan langsung antara ‘perbuatan
tercela’ dengan penularan HIV karena HIV juga menular dengan cara yang tidak
tercela, seperti melalui hubungan seksual di dalam nikah, transfusi darah,
jarum suntik, air susu ibu (ASI), dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya terutama
saat persalinan dan menyusui denganASI.
Pada angka 3 disebutkan:
“Masyarakat, khususnya umat Islam Indonesia dengan keimanan yang diyakininya
dituntut untuk memahami dengan seksama ancaman dan bahaya HIV/AIDS, utamanya
dengan memperkokoh ketahanan keluarga sakinah.”
Ini juga mendorong masyarakat
melakukan stigma dan diskriminasi terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) karena
mengesankan Odha tertular HIV karena tidak mempunyai ketahanan keluarga yang
sakinah. Babagaimana dengan yang tertular melalui transfusi darah, jarum suntik
dan suaminya?
Cara yang disampaikan untuk
mencapai tujuan yaitu perilaku yang bertanggungjawab sesuai dnegan agama Islam
agar dapat mencegah penyebaran HIV serta mengurangi dampak negatifnya. Caranya
yaitu dengan menyebarluaskan pengetahuan/informasi tentang HIV/AIDS dapat
dilakukan dengan melakukan Komunikasi, Informasi, Edukasi, dan Motivasi (KIEM).
Pertanyaannya adalah: Apakah materi HIV/AIDS pada KIEM disampaikan secara
akurat?
Mencegah penyebaran HIV dalam
muzakarah ini juga tidak konkret. Misalnya, cara yang ditawarkan justru untuk
yang sudah positif tertular HIV. Ini artinya menunggu orang tertular dan
terdeteksi HIV dulu baru diajak mencegah penyebaran HIV. Padahal, sebelum
terdeteksi orang-orang yang sudah tertular HIV sudah menyebarkan HIV tanpa
mereka sadari.
Di angka 5 pada petunjuk pencegahan
disebutkan: “Bagi setiap pengidap HIV/AIDS dan penderita AIDS wajib
memberitahukan tentang kesehatannya kepada pihak-pihak yang berkepentingan
dengan jaminan kesehatannya.” Orang-orang yang terdeteksi HIV sudah menjalani
konseling (bimbingan) sebelum dan sesudah tes sehingga mereka sudah mengetahui
dan mematuhi hak dan kewajibannya jika terdeteksi positif atau negatif.
Yang menjadi persoalan besar
adalah orang-orang yang sudah mengidap HIV tapi tidak terdeteksi. Mereka inilah
yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat. Selain itu orang-orang
yang terdeteksi HIV tanpa melalui tes HIV yang sesuadi dengan standar juga
tidak mengetahui hak dan kewajibannya. Bahkan, mereka cenderung menjadi korban
sehingga ada rasa dendam pada diri mereka.
Untuk yang potensial tertular
HIV disebutkan pada poin 1: “Wajib memeriksakan kesehatan dirinya untuk
mengetahui status positif/negatif.” Sayang tidak dijelaskan siapa (saja) yang
potensial tertular HIV. Di beberapa daerah ada peraturan daerah (Perda) tentang
penanggulangan AIDS yang di dalamnya ada aturan untuk memeriksakan kesehatan
terkait dengan HIV/AIDS. Hasil tes HIV akan akurat jika dilakukan setelah
tertular tiga bulan karena pada rentang waktu sejak tertular sampai tiga bulan,
disebut masa jendela, tubuh belum memprodukdi antibody HIV. Soalnya, tes HIV
dengan ELISA mencari antibody HIV di dala darah sehigga kalau darah diperiksa
masa jendela maka hasilnya bisa negatif palsu (HIV sudah ada di daerah tapi
tidak terdeteksi) atau positif palsu (HIV tidak ada di darah tapi terdeteksi).
Lagi pula kalau ada kewajiban
periksa kesehatan setiap tiga bulan maka pada rentang waktu itu sudah terjadi
penyebaran HIV tanpa disadari oleh orang-orang yang mengidap HIV tapi tidak
terdeteksi. Seorang pekerja seks komersial (PSK), misalnya, dari mulai tertular
sampai terdeteksi HIV, katakanlah tiga bulan, maka pada rentang waktu itu sudah
ada 180 laki-laki (1 PSK x 3 laki-laki/malam x 20 hari/bulan x 3 bulan) yang
berisiko tertular HIV.
Pada angka 3 disebutkan: “Bagi
pasangan yang akan nikah wajib memeriksakan status kesehatannya untuk
mengetahui status positif/negatifnya.” Ini juga tidak banyak gunanya karena
kalau mereka menjalani tes tentu akan lebih buruk karena ada kemungkinan hasil
tes HIV-negatif palsu. Lagi pula tes HIV bukan vaksin. Mereka menjalani tes
sebelum menikah, tapi bisa saja selama perkawainan ada di antara pasangan itu
yang melakukan perilaku berisiko sehingga tertular HIV.
Sedangkan untuk masyarakat umum
disebutkan: “ …. perlu meningkatkan ketaqwaan kepada Allah SWT dengan menuruti
perintah dan menajuhi larangan-Nya, khususnya tentang larangan perzinaan dan
hal-hal yang dapat mendorong kepadanya.” Tidak ada kaitan langsung antara zina
dengan penularan HIV karena di dalam pernikahan pun bisa terjadi penularan HIV
kalau salah satu dari pasangan itu mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai
kondom setiap kali sanggama.
Belakangan ini ada upaya untuk
‘menghalalkan zina’ melalui nikah mut’ah. Ada yang hitungan jam, hari, dst.,
seperti yang terjadi di kawasan Puncak, Jawa Barat. Tapi, biar pun menikah
risiko penularan HIV tetap ada jika salah satu dari pasangan itu mengidap HIV
atau perilaku seksnya berisiko.
Di
bagian rekomendasi disebutkan: Komisi Fatwa
diharapkan dapat membicarakan dan mengeluarkan fatwa perihal langkah-langkah
pencegahan penyebaran HIV/AIDS, khususnya tentang beberapa hal.
Misalnya, tentang eutanasia
bagi penderita AIDS. Ini sangat naif karena biar pun, maaf, semua penderita
HIV/AIDS dieutanasia, dikarantina atau diasingkan penyebaran HIV tidak akan
berhenti karena di masyarakat masih banyak orang yang sudah mengidap HIV tapi
tidak terdeteksi. Jadi, eutanasia tidak perlu diperbincangkan dari aspek hak
asasi manusia (HAM) yang justru membuka debat kusir (baru) karena ada alasan
empiris.
Sedangkan
rekomendasi berupa “Sterilisasi bagi suami isteri
yang positif mengidap ataupun menderita HIV/AIDS” juga tidak berguna karena HIV
ada di cairan sperma dan cairan vagina bukan di sperma atau indung telur.
Di angka 6 rekomendasi disebutkan: “Kepada
pengidap/penderita diberikan tuntunan rohani (bertobat) agar mereka yakin bahwa
tobatnya diterima.” Ini tidak adil karena yang harus bertobat adalah orang yang
menularkan HIV. Begitu juga dengan yang tertular melalui transfusi darah dan
jarum suntik di instalasi kesehatan: Mengapa yang tertular yang harus bertobab?
Bukankah penularan itu terjadi karena kelalaian petugas?

Faktor risiko (mode of
transmission) HIV yang paling potensial menyebarkan HIV adalah hubungan
seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah dengan pasangan yang
berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK.
Dalam muzakarah ini tidak ada
jalan keluar untuk mengatasi penyebaran melalui faktor risiko hubungan seksual.
Maka, tidaklah mengherankan kalau kasus infeksi HIV baru, khususnya pada
kalangan laki-laki dewasa, terus terjadi.
Muzakarah ini sudah berusia 16
tahun. Sudah saatnya direvisi agar ada cara-cara pencegahan dan penanggulangan
epidemi HIV yang komprehensif. ***[AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.