04 Oktober 2012

Ganti-ganti Pasangan Mendorong Penyebaran HIV/AIDS di Kab Pasuruan, Jatim



Tanggapan Berita (5/10-2012) – “Dari data Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, heteroseksual atau berganti-ganti pasangan, menjadi penyumbang terbanyak munculnya penyakit yang sampai sekarang belum ada obatnya itu.” Ini pernyataan di berita “Selama 6 Bulan Kasus HIV/AIDS di Kabupaten Pasuruan Mencapai 68” (www.pasuruankab.go.id, 20/9-2012).  

Ada beberapa hal yang tidak akurat dalam pernyataan di atas.

Pertama, heteroseksual adalah orientasi seks yaitu ketertarikan kepada lawan jenis: laki-laki yang tertarik kepada perempuan dan sebaliknya perempuan tertarik kepada laki-laki. Tidak ada kaitan langsung antara orientasi seks dengan penularan HIV.

Kedua, penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah jika salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom setiap kali sanggama.

Ketiga, berganti-ganti pasangan adalah perilaku seksual seseorang. Ganti-ganti pasangan bisa dilakukan di luar nikah, seperti melacur, selingkuh, dll., serta di dalam nikah yaitu kawin-cerai. Perilaku ini berisiko tertular HIV karena ada kemungkinan salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko jika laki-laki tidak memakai kondom ketika sanggama.


Dikabarkan pada semester pertama tahun ini jumlah kasus HIV/AIDS di Kab Pasuruan mencapai 68. Dari jumlah ini 71% terdeteksi pada usia 12 - 35 tahun.

Celakanya, wartawan yang menulis berita ini tidak mengembangkan data di atas ke realitas sosial terkait dengan penyebaran HIV/AIDS.

Kasus HIV/AIDS pada usia 12 tahun menunjukkan anak itu kemungkinan tertular dari ibunya. Itu artinya ibunya mengidap HIV/AIDS yang kemungkinan juga tertular dari ayahnya. Maka, dari satu bayi atau anak-anak yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS sudah ada tiga penduduk yang mengidap HIV/AIDS. Jika ayah anak itu mempunyai istri lebih dari satu, maka jumlah perempuan dan bayi yang tertular HIV pun akan bertambah pula.

Disebutkan oleh drg Loembini Pedjati Lajoeng, Kepala Dinas Kesehatan Kab Pasuruan, bawah free sex menempati posisi teratas, dengan menyumbang sebanyak 58% dari jumlah kasus HIV/AIDS tahun ini.

Kalau yang dimaksud Loembini ‘free sex’ adalah berzina atau melacur maka tidak ada kaitan langsung antara ‘free sex’ dengan penularan HIV karena penularan HIVmelalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual) kalau salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom setiap kali sanggama (kondisi hubungan seksual).

Ada pula pernyataan: “ …. telah ditemukan sebanyak 66 orang dinyatakan positif terkena penyakit mematikan itu.” 

Pernyataan di atas tidak akurat dan menyesatkan karena belum ada kaus kematian karena HIV atau AIDS atau karena HIV/AIDS. Penyebab kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) adalah penyakit lain, disebut infeksi oportunistik, seperti diare dan TBC.

Disebutkan pula: “Khusus untuk Kecamatan Prigen, Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan telah mengkategorikannya sebagai daerah beresiko tinggi HIV/AIDS, sehingga untuk dapat menurunkan semakin banyaknya kasus HIV/AIDS, membutuhkan berbagai langkah.”

Pernyataan di atas menyesatkan karena tidak ada daerah yang berisiko tinggi HIV/AIDS. Risiko (tinggi) tertular HIV/AIDS bukan karena daerah, kelompok, suku, bangsa, dll., tapi karena perilaku orang per orang terutama yang terkait dengan faktor risiko hubungan seksual.

Disebutkan pula bahwa “ …. salah satu upaya untuk mengatasi penyebaran HIV di kecamatan itu al. pendampingan secara rutin pada kelompok dampingan, intervensi perubahan perilaku, social marketing kondom, ….”

Program perubahan perilaku memakan waktu yang lama, sehingga perilaku berisiko tetap mereka lakukan. Selain itu tidak ada jaminan bahwa intervensi itu akan membuat laki-laki selalu memakai kondom ketika melacur. Sosialisasi kondom pun tidak ada manfaatnya tanpa pemantauan yang konkret.

Ini pernyataan Loembini:"Yang jelas, kami akan berjuang terus untuk memerangi kasus HIV/AIDS ini sampai tuntas."

Sayang, dalam berita tidak ada penjelasan tentang cara konkret yang dilakukan Loembini dalam ‘memerangi AIDS’. Ya, itu hanya sebatas retorika.

Pertanyaan untuk Loembini: Apakah di Kab Pasuruan ada pelacuran?

Kemungkinan Loembini mengatakan: Tidak ada!

Ya, Loembini benar karena di Kab Pasuruan tidak ada lokalisasi pelacuran yang dibina dinas sosial.

Tapi, apakah Loembini bisa menjamin di wilayah Kab Pasuruan tidak ada praktek pelacuran yang terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu?

Kalau jawabannya BISA, maka penyebaran HIV/AIDS di Kab Pasuruan bukan karena hubungan seksual.

Tapi, kalau jawabannya TIDAK BISA, maka Kab Pasuruan menghadapi masalah besar karena terjadi penyebaran HIV/AIDS di masyarakat. Semua terjadi tanpa disadari karena orang-orang yang sudah tertular HIV/AIDS tidak menyadari diri mereka sudah mengidap HIV/AIDS.

Pertanyaan berikutnya adalah: Apakah Loembini bisa menjamin bahwa tidak ada laki-laki dewasa penduduk Kab Pasuruan yang melacur tanpa kondom di Pasuruan atau di luar Pasuruan?

Kalau jawabannya BISA, maka tidak ada kaitan antara hubungan seksual dengan penyebaran HIV/AIDS di Pasuruan. Maka, perlu dicari faktor risiko lain.

Namun, kalau jawabannya TIDAK BISA, maka penyebaran HIV/AIDS di Pasuruan didorong oleh hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, secara horizontal di masyarakat.

Tanpa program yang konkret maka penyebaran HIV/AIDS di Kab Pasuruan akan terus terjadi yang akan bermuara pada ‘ledakan AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.