Tanggapan Berita (5/10-2012) – “Dari
data Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, heteroseksual atau
berganti-ganti pasangan, menjadi penyumbang terbanyak munculnya penyakit yang
sampai sekarang belum ada obatnya itu.” Ini pernyataan di berita “Selama 6 Bulan Kasus
HIV/AIDS di Kabupaten Pasuruan Mencapai 68” (www.pasuruankab.go.id, 20/9-2012).
Ada
beberapa hal yang tidak akurat dalam pernyataan di atas.
Pertama, heteroseksual
adalah orientasi seks yaitu ketertarikan kepada lawan jenis: laki-laki yang
tertarik kepada perempuan dan sebaliknya perempuan tertarik kepada laki-laki.
Tidak ada kaitan langsung antara orientasi seks dengan penularan HIV.
Kedua, penularan HIV
melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah jika salah
satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak memakai kondom setiap
kali sanggama.
Ketiga, berganti-ganti
pasangan adalah perilaku seksual seseorang. Ganti-ganti pasangan bisa dilakukan
di luar nikah, seperti melacur, selingkuh, dll., serta di dalam nikah yaitu
kawin-cerai. Perilaku ini berisiko tertular HIV karena ada kemungkinan salah
satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko jika laki-laki
tidak memakai kondom ketika sanggama.
Dikabarkan
pada semester pertama tahun ini jumlah kasus HIV/AIDS di Kab Pasuruan mencapai
68. Dari jumlah ini 71% terdeteksi pada usia 12 - 35 tahun.
Celakanya,
wartawan yang menulis berita ini tidak mengembangkan data di atas ke realitas
sosial terkait dengan penyebaran HIV/AIDS.
Kasus
HIV/AIDS pada usia 12 tahun menunjukkan anak itu kemungkinan tertular dari
ibunya. Itu artinya ibunya mengidap HIV/AIDS yang kemungkinan juga tertular
dari ayahnya. Maka, dari satu bayi atau anak-anak yang terdeteksi mengidap
HIV/AIDS sudah ada tiga penduduk yang mengidap HIV/AIDS. Jika ayah anak itu
mempunyai istri lebih dari satu, maka jumlah perempuan dan bayi yang tertular
HIV pun akan bertambah pula.
Disebutkan oleh
drg Loembini Pedjati Lajoeng, Kepala Dinas Kesehatan Kab Pasuruan, bawah free
sex menempati posisi teratas, dengan menyumbang sebanyak 58% dari jumlah kasus
HIV/AIDS tahun ini.
Kalau yang
dimaksud Loembini ‘free sex’ adalah berzina atau melacur maka tidak ada kaitan
langsung antara ‘free sex’ dengan penularan HIV karena penularan HIVmelalui
hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan
seksual) kalau salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS dan laki-laki
atau suami tidak memakai kondom setiap kali sanggama (kondisi hubungan
seksual).
Ada pula
pernyataan: “ …. telah ditemukan sebanyak 66 orang dinyatakan positif terkena
penyakit mematikan itu.”
Pernyataan di
atas tidak akurat dan menyesatkan karena belum ada kaus kematian karena HIV
atau AIDS atau karena HIV/AIDS. Penyebab kematian pada Odha (Orang dengan
HIV/AIDS) adalah penyakit lain, disebut infeksi oportunistik, seperti diare dan
TBC.
Disebutkan pula: “Khusus untuk Kecamatan Prigen, Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan telah mengkategorikannya sebagai daerah beresiko tinggi HIV/AIDS, sehingga untuk dapat menurunkan semakin banyaknya kasus HIV/AIDS, membutuhkan berbagai langkah.”
Pernyataan di
atas menyesatkan karena tidak ada daerah yang berisiko tinggi HIV/AIDS. Risiko
(tinggi) tertular HIV/AIDS bukan karena daerah, kelompok, suku, bangsa, dll.,
tapi karena perilaku orang per orang terutama yang terkait dengan faktor risiko
hubungan seksual.
Disebutkan pula bahwa “ …. salah satu upaya untuk mengatasi penyebaran HIV di kecamatan itu al. pendampingan secara rutin pada kelompok dampingan, intervensi perubahan perilaku, social marketing kondom, ….”
Program
perubahan perilaku memakan waktu yang lama, sehingga perilaku berisiko tetap
mereka lakukan. Selain itu tidak ada jaminan bahwa intervensi itu akan membuat
laki-laki selalu memakai kondom ketika melacur. Sosialisasi kondom pun tidak
ada manfaatnya tanpa pemantauan yang konkret.
Ini pernyataan Loembini:"Yang
jelas, kami akan berjuang terus untuk memerangi kasus HIV/AIDS ini sampai
tuntas."
Sayang, dalam
berita tidak ada penjelasan tentang cara konkret yang dilakukan Loembini dalam ‘memerangi
AIDS’. Ya, itu hanya sebatas retorika.
Pertanyaan untuk
Loembini: Apakah di Kab Pasuruan ada pelacuran?
Kemungkinan Loembini
mengatakan: Tidak ada!
Ya, Loembini
benar karena di Kab Pasuruan tidak ada lokalisasi pelacuran yang dibina dinas
sosial.
Tapi, apakah Loembini
bisa menjamin di wilayah Kab Pasuruan tidak ada praktek pelacuran yang terjadi
di sembarang tempat dan sembarang waktu?
Kalau jawabannya
BISA, maka penyebaran HIV/AIDS di Kab Pasuruan bukan karena hubungan seksual.
Tapi, kalau
jawabannya TIDAK BISA, maka Kab Pasuruan menghadapi masalah besar karena
terjadi penyebaran HIV/AIDS di masyarakat. Semua terjadi tanpa disadari karena
orang-orang yang sudah tertular HIV/AIDS tidak menyadari diri mereka sudah
mengidap HIV/AIDS.
Pertanyaan
berikutnya adalah: Apakah Loembini bisa menjamin bahwa tidak ada laki-laki
dewasa penduduk Kab Pasuruan yang melacur tanpa kondom di Pasuruan atau di luar
Pasuruan?
Kalau jawabannya
BISA, maka tidak ada kaitan antara hubungan seksual dengan penyebaran HIV/AIDS
di Pasuruan. Maka, perlu dicari faktor risiko lain.
Namun, kalau
jawabannya TIDAK BISA, maka penyebaran HIV/AIDS di Pasuruan didorong oleh
hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, secara horizontal di
masyarakat.
Tanpa program
yang konkret maka penyebaran HIV/AIDS di Kab Pasuruan akan terus terjadi yang
akan bermuara pada ‘ledakan AIDS’. ***[AIDS
Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.