* “Dideportasi” dari Riau karena terdeteksi HIV-positif pada survailans
tes HIV ….
Liputan (26/10-2012) - Agaknya,
penderitaan panjang wanita itu putus sudah setelah awal puasa tahun 2002 lalu dia
dipanggil Yang Maha Kuasa setelah dirawat dua pekan di salah satu rumah
sakit di Jakarta. Selama beberapa tahun dia berjuang melawan infeksi HIV,
cercaan dan hinaan penduduk, perlakuan kasar aparat dan petugas kesehatan,
serta hujatan di media massa.
Sejak
dipulangkan dari Prov Riau, ketika itu belum dimekarkan menjadi Prov Riau dan
Prov Kepulauan Riau, karena terdeteksi HIV-positif dia terus-menerus dirundung
malang. Dikucilkan penduduk sampai dikejar-kejar aparat yang membuatnya tidak
bisa menpersiapkan hidup yang lebih layak dengan meninggalkan pekerjaannya
sebagai pekerja seks.
Wanita
tadi, sebut saja Cici, waktu itu berumur 25 tahun, penduduk sebuah desa di
Kabupaten Karawang, Prov Jawa Barat, awalnya ingin mengadu nasib ke Riau
setelah bercerai.
Ketika
berangkat ke Riau Cici meninggalkan anaknya dengan ibunya, seorang janda,
bersama kakek dan neneknya di sebuah rumah di sebuah desa sekitar 25 km dari kota
Karawang. Keluarga ini menopang hidupnya dengan bertani.
Dia
termakan bujuk rayu seorang wanita di Cikampek, sekitar 50 km dari kampungnya,
yang menjanjikan pekerjaan sebagai pelayan restoran di Riau dengan upah
Rp 400.000/bulan.
Dengan
hati yang berbunga-bunga Cici berangkat ke Riau (1992) dari Pelabuhan Tanjung
Priok dengan KM Lawit bersama sembilan rekannya. Di Tanjung Pinang mereka
ditempatkan di Batu 16, sebuah lokalisasi pelacuran di sana. Dia dipekerjakan
sebagai pekerja seks. “Malam pertama menerima tamu saya nangis
habis-habisan,” katanya seraya mengusap matanya yang memerah dan berair (terungkap
dalam wawancara penulis dengan Cici bulan April 1994).
Beberapa
bulan kemudian seorang langganannya, pria Cina warga negara Singapura, menebus
Cici dari germonya dengan imbalan Rp 1 juta. Pria itu kemudian
membawa Cici ke salah satu rumah di lokalisasi itu yang dihuni dua belas
pekerja seks. Cici dijadikan sebagai ‘istri’ oleh laki-laki Singapura tadi.
Beberapa
waktu kemudian seorang petugas kesehatan yang sering datang ke lokalisasi itu,
yang biasa dipanggil dengan ‘Pak Dokter’, mendatangi rumah Cici. ‘Pak Dokter’
mengumpulkan semua pekerja seks yang ada di rumah itu.
“Di
sini ada yang sakit,” kata ‘Pak Dokter’ (pekerja seks di sana sudah mengetahui
sakit yang disebut ‘Pak Dokter’ yaitu AIDS). Pekerja seks di lokalisasi itu
baru menjalani surveilans tes HIV.
Tiba-tiba
semua rekan Cici di rumah itu menunjuk dirinya.
“Dia
Pak, dia ’kan sering dibawa tamu asing ke hotel,” kata mereka serentak. Mereka
menuding Cici sebagai orang yang sakit karena wanita inilah yang mereka nilai
rentan terinfeksi HIV karena tamu-tamu Cici kebanyakan dari Singapura dan
terkadang bule. Cici sendiri mengaku selalu meminta tamunya memakai kondom,
tapi, “Ada saja yang menolak.”
***
Cici
pun disekap di pos keamanan di lokalisasi itu. “Ah, dia (maksudnya ‘Pak
Dokter’) ’kan dendam kepada saya,” kata Cici. Rupanya, Cici selalu menolak ajakan
‘Pak Dokter’ untuk ‘tidur’ (melakukan hubungan seksual-pen.) dengannya. Cici
sendiri mengaku bukan tidak mau uang, tapi dia enggan ‘tidur’ dengan ‘Pak
Dokter’ karena dia menghargai jabatan petugas kesehatan itu, dan “Isterinya pun
sudah dua.”
Setelah
disekap dua minggu di pos keamanan pelabuhan (menunggu jadwal kapal KM Lawit),
Cici dipulangkan ke Jawa Barat melalui Tanjung Priok. Cici mau dipulangkan
karena rindu kepada anaknya. Cici menerima uang dari germonya Rp 500.000
dan dari pacarnya Rp 300.000. Cici merasa sudah mengumpulkan banyak uang.
Tarifnya Rp 120.000/malam. Pengeluarannya untuk kamar dan makan
Rp 50.000/bulan.
Ketika
diwawancarai Cici mengaku sangat kecewa membaca berita tentang dirinya di surat
kabar yang mengait-ngaitkan pembangunan rumahnya dengan uang yang dikirimkannya
dari Riau. Dalam pemberitaan disebutkan Cici bekerja sebagai pekerja seks
sehingga dikesankan uang yang dipakai keluarganya untuk membangun rumah adalah
uang dari hasil kerjanya sebagai pekerja seks. Padahal, seperti disampaikan Cici,
uang yang dikirimkannya untuk membangun rumah merupakan pemberian pacarnya
bukan uang dari penghasilannya sebagai pekerja seks.
Cici
sendiri mengaku kaget ketika mengetahui dirinya dikatakan ‘Pak Dokter’
terinfeksi HIV karena dia tidak pernah merasa dirinya ‘sakit’, “Wah, mungkin
jantung saya sudah copot kalau saya lemah jantung,” katanya. Hasil tes itu
diketahui melalui surveilans tes HIV yang tidak menganut asas konfidensialitas
dan tidak pula ada konseling sebelum dan sesudah tes. Hasil tes pun dibeberkan
di depan banyak orang oleh seorang petugas kesehatan (kemungkinan mantri
kesehatan).
Berita
seputar dirinya dan tiga wanita lain, yang juga pekerja seks asal Karawang,
yang dipulangkan dari Riau di media massa yang beredar di Karawang menggemparkan
kampungnya. Dalam berita itu ada identifikasi, antara lain inisial, alamat dan
tempat bekerja, yang jelas-jelas mengarah ke identitas mereka. Cici, misalnya,
di lingkungan kampungnya itu hanya dia yang bekerja di Riau sehingga mudah diketahui
masyarakat.
Ketika
ada berita tentang pekerja seks yang dipulangkan dari Riau di media massa,
ternyata Cici dan tiga rekannya masih di Riau. Cici pun mengaku bingung karena
dia tidak pernah diwawancarai wartawan. Radiogram dari Dinas Kesehatan Prov Riau
ke Dinas Kesehatan Kab Karawang tentang empat wanita yang dipulangkan itu bocor
ke wartawan dan aparat. Penduduk pun serta-merta mengetahuinya karena rumahnya
didatangi aparat dan wartawan sehingga kabar tentang Cici tersebar luas.
Ketika
tiba di rumahnya (Oktober 1993) Cici mengaku sangat kaget karena semua penduduk
menghindarinya, mencibirnya dan ada pula yang memandangnya seperti baru melihat
makhluk angkasa luar.
Hari-hari
berikutnya Cici harus menerima tamu dari berbagai kalangan dan instansi, mulai
dari tingkat desa sampai provinsi. Puncaknya terjadi ketika pegawai Koramil setempat
menggiring Cici ke Puskesmas Tempuaran, Kab Karawang, sekitar 1 km dari
rumahnya.
Sebelumnya
Cici menolak ketika aparat desa dan pegawai puskesmas menjemputnya. Padahal,
ketika itu Cici sedang berduka karena ketika tiba dia hanya menemukan pusara makam
anaknya. Anaknya meninggal ketika dia masih di Riau.
Niatnya
untuk mengubah hidup tidak pernah terwujud karena sejak tiba di desanya dia
terus-menerus menghadapi berbagai persoalan. Untuk menghindarkan diri dari
masalah yang dihadapi di desanya, dia pun pindah ke rumah ayahnya (sekitar 15
km dari rumahnya). Beberapa bulan dia merasa aman. Sehari-hari dia membantu
ayah dan ibu tirinya mengerjakan sawah. “Anak saya tidak sakit, lihat dia
gemuk,” kata ayahnya. “Yah, sudah nasib,” katanya tentang status HIV-nya. Cici
pun mengatakan akan menjaga diri agar tidak menulari orang lain.
Tapi,
ada saja penduduk yang membuka kedok Cici sebagai Odha (Orang dengan HIV/AIDS).
Akibatnya, aparat desa setempat pun menjadikan ayah Cici sebagai sapi perahan.
Selain karena Cici disebut “masuk dalam daftar kasus” pacarnya pun sering pula
datang ke rumah itu. Bahkan ada yang mengaku sebagai wartawan dan meminta
imbalan Rp 2 juta untuk menghapus nama Cici dari “daftar kasus”. Setelah
menikah Cici kembali ke rumahnya. Beberapa bulan kemudian Cici pindah ke RT
lain, masih di desa yang sama, dan membangun rumah baru. Di rumah itulah Cici
tinggal bersama ibunya.
Ketika
dinyatakan positif HIV di Riau, Cici sebenarnya tidak percaya. Menurut
pacarnya, pemeriksaan itu tidak sahih karena tesnya tidak dilakukan di rumah
sakit (bagi pacarnya yang disebut rumah sakit adalah “Cipto”, maksudnya RSCM).
Itulah sebabnya Cici menolak diperiksa di Puskesmas Tempuran. Dia berkali-kali
meminta kepada dokter di puskesmas itu agar diperiksa di RSCM, tetapi puskesmas
menolak. Setelah mereka mengatakan sebagai ‘dokter dari RSCM’ barulah Cici
bersedia diambil darahnya.
***
Cara
yang ditempuh puskesmas itu jelas sudah melanggar HAM. Selain karena tidak
berdasarkan asas sukarela, tidak pula ada konseling prates serta tidak
menerapkan asas konfidensialitas karena penduduk beberapa desa di sekitar
puskesmas itu mengetahuinya. Bahkan, di sepanjang perjalanan menuju puskesmas
Cici menjadi tontonan penduduk. Di puskesmas pun banyak orang, mulai dari
aparat desa, kecamatan, pegawai puskesmas, pegawai dinas kesehatan kabupaten
dan propinsi. Hasil pemeriksaan puskesmas dan radiogram dari Riau itu sendiri
tidak diberikan kepada Cici, “Cukup di kantor desa saja,” kata seorang petugas
desa.
Cici
menyesalkan perlakuan puskesmas dan aparat pemda, “Seharusnya ’kan tidak boleh
disebarluaskan,” katanya tentang kondisi kesehatannya. Pegawai salah satu rumah
sakit di Karawang malah memberikan medical record salah satu dari tiga wanita
yang dipulangkan dari Riau itu kepada wartawan. Akibat perlakuan yang
membeberkan status HIV itu pergaulan Cici terganggu. Penduduk memusuhinya.
Setelah
mengetahui status HIV Cici, aparat setempat pun rupanya khawatir kalau Cici
kembali menjadi pekerja seks (sekitar 5 km dari kampungnya ada lokalisasi)
sehingga gerak-gerik Cici pun diawasi karena wanita itu sering bepergian.
Mereka keliru. Cici memang selalu pergi, tapi ke Karawang karena dia harus
mengambil uang kiriman pacarnya dari Singapura yang ditransfer melalui bank.
Setiap bulan Cici dikirimi uang Rp 300.000. Cici pun menjemput pacarnya ke
Bandara Soekarno-Hatta. Antara tahun 1993 dan 1995 sudah empat kali Cici dibawa
pacarnya ke Singapura melalui Bandara Soekarno-Hatta.
Tahun
1995 mereka menikah di sebuah KUA di Jakarta. Tapi aparat desa tidak mengakui
pernikahan itu, “Ah, Cici cuma sebagai gendak (perempuan simpanan-pen.) saja,”
kata seorang aparat desa. Cici pun menunjukkan buku akta nikah tsb.
Itulah
sebabnya Cici selalu menyediakan beberapa amplop berisi uang jika suaminya
menginap di rumahnya karena ada saja aparat yang mendatanginya dengan berbagai
alasan. Ini terjadi karena perangkat desa tidak mengakui pernikahan Cici
sehingga mereka menganggap laki-laki WN Singapura itu bukan suaminya.
Ketika Cici hamil delapan bulan dia pun pergi
ke Puskesmas Tempuran karena janin di dalam perutnya bergerak-gerak. Namun,
lagi-lagi di puskesmas dia mengalami perlakuan buruk. Tampaknya, pegawai
puskesmas penasaran karena ada kemungkinan dalam medical record Cici ada
catatan khusus karena dia seorang Odha.
Cici bukan diperiksa, tetapi dokter puskesmas itu membawa Cici ke rumahnya. Di sana Cici diinterogasi dengan pertanyaan yang mengarah ke riwayat seksnya. Cici sangat jengkel karena janin yang ada di perutnya disebut penyakit. Selain itu Cici pun sangat marah karena setelah makan obat yang diberikan puskesmas dia mual-mual dan muntah-muntah. Cici menganggap obat itu untuk menggugurkan kandunganya, “Bayi ini ada ayahnya,” kata Cici (Lihat: Sudah Terinfeksi HIV Disakiti Pula* - http://www.aidsindonesia.com/2012/10/sudah-terinfeksi-hiv-disakiti-pula.html).
Cici dibawa ke RSCM. Karena statusnya
HIV-positif RSCM kemudian membawa Cici ke Yayasan Pelita Ilmu (YPI), sebuah
lembaga yang menangani HIV/AIDS di Jakarta. Di YPI Cici ditangani
dr. Zubairi Djoerban, DSPD serta dr. Samsuridjal Djauzi, DSPD. Selama
menunggu kelahiran Cici tinggal di sanggar YPI. Persalinan Cici di RSCM
ditangani oleh dr. Siti Dhyanti Wishnuwardhani, spesialis obstetri dan
ginekologi FKUI/RSCM. Cici melahirkan bayi perempuan tepat pada pembukaan
Olimpiade Atlanta, AS, 1996.
Sejak
Cici melahirkan YPI membuka sanggar di desa tempat Cici tinggal untuk meredam
penolakan masyarakat terhadap Cici. Bahkan, ketika Cici dimakamkan tidak ada
penduduk yang membantu. “Hanya kami, Bang, yang memakamkan almarhum,” kata
Abdul Rahman, aktivis di Yayasan Pantura Plus yang dulu berbung di sanggar YPI.
Kini,
putrinya tinggal bersama ibu Cici. Dua tahun lagi anak itu akan masuk sekolah.
Yang dikhawatirkan kalau kelak masyarakat tidak menerima anak-anak mereka satu
kelas dengan putri Cici itu. Di sisi lain sekolah (baca: guru dan instansi
terkait) juga diragukan dapat menepis protes masyarakat itu sehingga nasib anak
itu pun kian merana. Masyarakat sudah mengetahui siapa anak itu, anak seorang
Odha, yang selama ini menjadi ‘musuh’ mereka.
Tapi,
syukurlah belakangan hasil tes putri
Cici negatif sehingga anak itu hidup tanpa beban kecuali ada yang
mengungkit-ungkit status HIV alm ibunya.
***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
*
Pernah diimuat di Newsletter HindarAIDS No. 37, 17 Januari 2000
(http://www1.rad.net.id/aids/HINDAR/hindar.htm) dan dikembangkan sesuai dengan
data terakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.