Tanggapan Berita (23/10-2012) – “Dua
pasangan suami istri (Pasutri) di Kecamatan Sepaku dan Kecamatan Babulu,
Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), (Prov Kaltim-pen.) diusir warga setempat karena mengidap
HIV/AIDS.” Ini lead di berita “Positif HIV/AIDS, Dua Pasutri Diusir Warga”
(www.beritasatu.com, 23/10-2012).
Kasus
kumulatif HIV/AIDS di PPU tercatat 23,
tapi karena empat sudah diusir keluar daerah maka sekarang tinggal 19.
Terkait
dengan kejadian tsb. patut
dipertanyakan: Mengapa status HIV/AIDS kedua pasangan pasutri itu diketahui
masyarakat?
Itu
artinya ada yang membocorkan atau membeberkan status HIV/AIDS dua pasangan
pasutri tsb. Padahal, semua informasi tentang seseorang terkait dengan
penyakit, tindakan medis, dll. merupakan fakta privat dan rahasia yang ada di
rekam medis yang dilindungi undang-undang, yaitu UU No 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran, dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI No 269 Tahun 2008
tentang Rekam Medis.
Dalam
kaitan ini yang membocorkan status HIV/AIDS dua pasustri itu sudah melakukan
perbuatan melawan hukum dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM) yang
diancam dengan sanksi pidana kurungan.
Dikabarkan
bahwa "Mereka diusir, karena warga setempat ketakutan penyakit ini bisa
menular kepada warga yang lain." Ini disampiakan oleh Ketua Komunitas Peduli
AIDS (KPA) Plus PPU, Jodi.
Perilak
warga itu merupakan bukti nyata betapa selama ini pemerintah tidak becus dalam
memasyaratkan informasi HIV/AIDS yang
komprehensif. Ini terjadi karena materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE)
tentang HIV/AIDS selalu dibalut dengan moral sehingga fakta medis tentang
HIV/AIDS tidak sampai ke masyarakat.
Yang
sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah), seperti mengaitkan
penularan HIV melalui hubungan seksual dengan zina, pelacuran, ‘seks menyimpang’,
dll. Padahal, risiko tertular HIV/AIDS terjadi bukan karena sifat hubungan
seksual (zina, pelacuran, ‘seks menyimpang’, dll.), tapi karena kondisi
hubungan seksual (salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai
kondom).
Terkait
dengan ulah masyarakat di Kec Sepaku dan Kec Babulu, maka orang-orang yang
mengusir dua pasutri itu, terutama laki-laki dewasa, ditantang untuk menjalani
tes HIV. Langkah ini akan menjadi pemikiran bagi laki-laki yang perilakunya
berisiko.
Dikabarkan
bahwa pengusiran terjadi setelah mereka diketahui positif HIV kemudian warga
tidak menerima keberadaan mereka dan mengusir mereka dari kampungnya.
Tentu
ada yang membeberkan status HIV kedua pasangan itu. Status HIV hanya ada di
rumah sakit, dinas kesehatan, konselor, dokter, petugas laboratorium dan KPA
setempat. Maka, polisi bisa mengusut pembocor status HIV kedua pasangan tsb.
Sayang,
dalam berita tidak dijelaskan siapa kedua pasangan pasutri tsb., dan bagaimana
mereka tertular HIV. Data ini perlu untuk memberikan gambaran ril kepada
masyarat.
Misalnya,
ada di antara mereka yang bekerja sebagi pekerja seks maka pengusiran mereka
tidak menyelesaikan masalah karena ada laki-laki lain di dua kecamatan itu yang
berisiko tertular HIV jika mereka melakukan hubungan seksual dengan pekerja
seks tanpa kondom.
Dikabarkan bahwa tahun depan KPA Plus bersama dengan dinas kesehatan akan melakukan sosialisasi di tingkat kelurahan dan desa. Selama ini disebutkan masyarakat belum memahami sepenuhnya tentang HIV/AIDS. "Intinya masyarakat harus diberikan pengetahuan tentang penyakit ini. Jangan sampai terulang lagi ada penderita HIV yang diusir karena tidak diterima warga." Ini pernyataan Jodi.
Tapi,
kalau materi KIE yang akan disampaikan kelak tidak akurat, maka selama itu pula
masyarakat tetap tidak akan bisa memahami HIV/AIDS secara benar. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.