Tanggapan Berita (29/10-2012) – “Sejak
HIV/AIDS teridentifikasi di wilayah Subang, hingga September 2012 tercatat
sebanyak 539 orang terjangkit virus tersebut. Virus ini bahkan telah merengut
98 nyawa.” Ini lead pada berita “HIV/AIDS
Merenggut 98 Nyawa” di Harian “GALAMEDIA”, 24/10-2012.
Tidak
jelas apakah pernyataan “Virus ini bahkan telah merengut 98 nyawa” merupakan
keterangan dari narasumber yang diwawancarai wartawan atau kesimpulan wartawan
dari hasil wawancara. Soalnya, pernyataan tsb. tidak akurat karena belum ada
kasus kematian karena virus HIV.
Kematian
pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) terjadi pada masa AIDS, secara statistik
terjadi setelah tertular HIV antara 5 – 15 tahun, karena penyakit-penyakit yang
disebut infeksi oportunistik,seperti diare dan TBC. Dalam berita tidak ada penjelasan tentang
penyakit penyebab kematian 98 pengidap HIV/AIDS tsb.
Menurut Kepala Dinas Kesehatan Subang melalui Koordinator Program Penanggulangan Infeksi Menular Seksual dan HIV/AIDS serta Narkoba, Suwata, “ … media penularan yaitu hubungan seks bebas mencapai 79 persen atau 426 kasus, ….”
Lagi-lagi
penggunaan kata ‘seks bebas’ yang rancu karena kalau ‘seks bebas’ diartikan
sebagai melacur, maka tidak semua kasus HIV/AIDS dengan faktor risiko hubungan
seksual terjadi melalui pelacuran. Dalam kasus itu ada ibu-ibu rumah tangga
yang tertular HIV dari suaminya dalam ikatan pernikahan yang sah.
Lagi
pula risiko penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi karena kondisi
hubungan seksual (salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki atau suami tidak
memakai kondom setiap kali sanggama) bukan karena sifat hubungan seksual (zina,
melacur, ‘jajan’, selingkuh, dll.).
Masih menurut Suwata: "Wilayah kota Subang merupakan yang tertinggi risiko penularannya, tetapi daerah paling rawan berada di jalur pantai utara (pantura) seperti Pusakanagara, Legon Kulon, Pamanukan, Sukasari, Ciasem hingga Patokbeusi. Sedangkan jalur tengah Cipunagara, Cibogo, dan Subang serta jalur selatan di wilayah Ciater."
Pernyataan
“daerah paling rawan” tidak akurat karena tidak ada kaitan antara daerah dengan
risiko penularan HIV. Risiko penularan HIV melalui hubungan seksual bukan
karena daerah tapi karena perilaku seksual orang per orang.
Wartawan
tidak bertanya: Mengapa wilayah kota Subang merupakan yang tertinggi risiko
penularannya?
Akibatnya,
pernyataan “daerah paling rawan” dan “kota Subang merupakan yang tertinggi
risiko penularannya” tidak ada penjelasannya secara faktual. Masyarakat tidak
memahmi mengapa hal itu terjadi, sehingga informasi HIV/AIDS dalam berita tsb.
sama sekali tidak memberikan pencerahan kepada masyarakat.
"Malahan
penderita usia minus satu tahun ada tujuh kasus, serta 5-14 tahun tercatat tiga
kasus, ….” Ini kutipan dari penjelasan Suwata.
Wartawan
lagi-lagi tidak membawa fakta terkait dengan bayi yang terdeteksi mengidap
HIV/AIDS ke ranah realitas sosial sehingga tidak ada gambaran ril terkait
dengan bayi-bayi dan anak-anak yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS itu.
Dengan
tujuh kasus HIV/AIDS pada bayi maka sudah ada 7 sumai dan 7 istri yang mengidap
HIV/AIDS. Apakah suami dari 7 istri yang melahirkan anak dengan HIV/AIDS itu
sudah menjalani tes HIV?
Kalau
7 suami tsb. belum menjalani tes HIV maka mereka menjadi mata rantai penyebaran
HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam
dan di luar nikah.
Tiga
kasus HIV/AIDS pada anak-anak usia 5 -14 tahun menunjukkan anak-anak itu
terdeteksi antara 5 – 14 tahun sebelumnya. Kalau ayah tiga anak ini tidak
menjalani tes HIV maka lagi-lagi tiga laki-laki itu menjadi mata rantai
penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa
kondom di dalam dan di luar nikah.
Terkait
dengan pemberian obat antiretroviral (ARV), dr Tirama E. Silalahi, yang bertugas di Klinik
Medone dan Klinik Sinar, Puskesmas Sukarahayu, Subang, mengatakan, saat ini
pihaknya melayani pengobatan 35 penderita HIV/AIDS. Tetapi yang rutin dan aktif
mengambil obat hanya 12 penderita saja.
Data
ini menunjukkan ada 23 pengidap HIV/AIDS yang tidak meminum ARV sehingga mereka
berpotensi menularkan HIV kepada orang lain.
Kalau saja wartawan membawa data terkait dengan kasus HIV/AIDS tsb. ke realitas sosial maka akan muncul berita yang komprehensif yang bisa membuka mata masyarakat terkait dengan penyebaran HIV/AIDS di Kab Subang.
Sayang,
wartawan hanya menulis berita dengan kualifikasi talking news yaitu ‘transkrip’
wawancara belaka tanpa fakta empir sebagai realitas sosial. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.