01 Oktober 2012

Di Jayapura HIV/AIDS Terdeteksi pada Pasien di Rumah Sakit


Tanggapan Berita (1/10-2012) – “ …. dari 30 orang yang ditemukan positif mengidap HIV-AIDS tersebut, dua di antaranya sudah meninggal dunia. Kedua orang tersebut meninggal dunia karena kondisinya sudah sangat parah.” Ini pernyataan dalam berita “Penderita AIDS di Papua Terus Bertambah. Hingga Agustus 2012, Sudah 103 Dipastikan Positif” di www.jpnn.com (13/9-2012).

Tidak jelas apakah pernyataan itu merupakan kutipan tidak langsung dari narasumber (Koordinator VCT RSDH Waena, Agustinus Adii, OFM) atau penafsiran wartawan yang menulis berita ini.

Kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) bukan karena kondisi yang sudah sangat parah karena HIV/AIDS, tapi karena penyakit lain yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare dan TBC. Sayang, dalam berita tidak dijelaskan penyakit yang menyebabkan kematian pada dua Odha tsb.

Disebutkan lagi: "Kami sudah melakukan perawatan dan memberikan obat ARV namun karena kondisinya memang sudah sangat parah, sehingga keduanya meninggal dunia."


Obat antiretroviral (ARV) bukan obat untuk Odha, tapi obat untuk menekan pertambahan virus (HIV) dalam tubuh Odha. Obat ini bukan seperti obat yang dikenal luas sebagai obat untuk menyembuhkan, tapi hanya untuk menekan pertambahan virus.

Bertolak dari kematian dua Odha yang berumur antara 21 – 29 tahun ada kemungkinan mereka tertular HIV antara 5 – 15 tahun sebelumnya.

Dikabarkan setelah menemukan 73 warga yang positif mengidap HIV/AIDS pada periode Januari-April 2012, Rumah Sakit Dian Harapan (RSDH) Waena kembali menemukan 30 pasien yang mengidap HIV/AIDS periode Juni-Agustus 2012. 

Menurut Agustinus Adii: "Tiga puluh pasien yang positif HIV-AIDS ini adalah warga atau penduduk asli Papua yang usianya berkisar 21 hingga 29 tahun dan semuanya berjenis kelamin laki-laki."

Sayang, tidak disebutkan faktor risiko (kemungkinan cara penularan) pada dua Odha yang meninggal.

Jika faktor risiko pada Odha yang meninggal dan yang terdeteksi HIV/AIDS adalah hubungan seksual, maka ada kemungkinan mereka melakukannya dengan pekerja seks komersial (PSK) tanpa kondom. Di antara Jayapura dan Sentani ada lokalisasi pelacuran yang dikenal sebagai ‘turki’ (turunan kiri) yaitu Tanjung Elmo. Biar pun penjangkauan pemakaian kondom gencar di tempat itu, tapi tetap saja banyak laki-laki yang tidak mau memakai kondom ketika sanggama dengan PSK.

Ada kemungkinan 30 pengidap HIV/AIDS yang baru terdeteksi itu tertular melalui hubungan seksual dengan PSK di masa remaja. Ini terjadi karena remaja tidak mendapatkan informasi yang akurat tentang cara-cara penyaluran dorongan seksual yang aman.

Disebutkan bahwa Agustinus Adii mengajak seluruh warga Kota Jayapura khususnya yang berdomisili di sekitar Waena agar secara sukarela memeriksakan dirinya jika merasa ada sesuatu yang mencurigakan dalam dirinya agar bisa segara diketahui.

Masalahnya adalah justru tidak ada ‘sesuatu yang mencurigakan dalam diri’ setelah tertular HIV sampai masa AIDS yang secara statistik terjadi antara 5 – 15 tahun setelah tertular.

Maka, siapa, sih, yang harus tes HIV biar pun tidak ada ‘sesuatu yang mencurigakan dalam diri’ mereka?

Inilah yang sering luput dari sosialisasi HIV/AIDS. Selalu disebutkan masyarakat. Tidak semua orang harus tes HIV. Yang harus tes HIV adalah al. orang-orang yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK.

Sayang, materi KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) tentang HIV/AIDS selalu dibumbui dengan moral sehingga fakta medis, seperti cara-cara penularan dan pencegahan yang konkret, luput dan yang muncul hanya mitos (anggapan yang salah).

Disebutkan bahwa Agustinus Adii juga berharap Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) kabupaten dan kota serta provinsi di Papua agar lebih gencar melakukan sosialisasi ke masyarakat.

Selama materi KIE HIV/AIDS tidak akurat, maka selama itu pula masyarakat tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan yang konkret.

Disebutkan pula bahwa Agustinus Adii juga berharap agar KPA melibatkan tokoh agama untuk memberikan ceramah agar masyarakat bisa lebih paham sehingga terhindar dari penularan penyakit ini.

Tidak ada kaitan langsung antara agama dan penularan HIV. Penularan HIV juga terjadi pada kegiatan yang agamis, seperti hubungan seksual suami-istri karena salah satu dari pasangan itu mengidap HIV/AIDS dan suami tidak memakai kondom setiap kali sanggama.

Selama pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota di Papua tidak mempunyai program penanggulangan yang konkret, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi. Yang akan terjadi kelak adalah ‘ledakan AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.