Tanggapan Berita (3/10-2012) – Kasus kumulatif HIV/AIDS DI Yogyakarta dari tahun 1993 – 2012 dilaporkan 1.797 terdiri atas 1.036 HIV dan 761 AIDS. Dengan kasus seperti ini dan penanggulangan HIV/AIDS di DI Yogyakarta dikabarkan sangat minim (Anggaran penanggulangan HIV/AIDS di DIY minim, Koran Sindo, 12/9-2012).
Data
KPA Prov DIY menunjukkan anggaran per tahun di Kab Gunungkidul Rp 4,5 juta, Kab
Kulonprogo Rp 10 juta, Kab Bantul Rp 50 juta, Sleman Rp 80 juta, dan Kota
Yogyakarta Rp 350 juta.
Mengapa
ada perbedaan yang mencolok?
Menurut
Ketua KPA Provinsi DIY, Riswanto, distribusi dana tersebut mempertimbangkan
jumlah kasus HIV dan AIDS di kabupaten dan kota. Maka, Kota Yogyakarta mendapat
dana terbanyak karena jumlah kasusnya paling banyak dibandingkan kabupaten
lain.
Alokasi dana menurut jumlah kasus tentu saja tidak objektif karena bisa saja terjadi ‘ledakan’ kasus HIV/AIDS di kabupaten yang angkanya kecil karena dana penanggulangan tidak memadai untuk melancarkan program penanggulangan.
Alokasi dana menurut jumlah kasus tentu saja tidak objektif karena bisa saja terjadi ‘ledakan’ kasus HIV/AIDS di kabupaten yang angkanya kecil karena dana penanggulangan tidak memadai untuk melancarkan program penanggulangan.
Dengan
dana minim hanya cukup untuk biaya operasional tenaga anggota Komisi
Penanggulangan AIDS (KPA) kabupaten dan kota di DIY.
Tapi,
alasan itu pun tidak seluruhnya benar karena dengan dana penanggulangan
HIV/AIDS yang besar pun, seperti di DKI Jakarta dan Prov Papua, ternyata
penyebaran HIV/AIDS tidak bisa dikendalikan. Itu terjadi karena program KPA
tidak konkret sehingga tidak menyentuh akar persoalan yaitu penanggulangan
HIV/AIDS di hulu.
Wakil Gubernur DIY, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario (KGPAA) Pakualam IX, menyesalkan kurangnya kepedulian terhadap HIV dan AIDS di beberapa kabupaten. Minimnya anggaran tersebut memperlihatkan minimnya kepedulian terhadap HIV/AIDS.
Dikabarkan
bertolak dari peningkatan jumlah kasus HIV dan AIDS, maka penanganannya pun harus
lebih komprehensif. Seluruh lapisan masyarakat termasuk pemerintah hingga
pelajar harus terus mendapatkan sosialisasi yang benar mengenai penyakit akibat
virus tersebut.
Kalau hanya sebatas sosialisasi
tentulah tidak ada manfaatnya karena informasi yang disampaikan pun tidak
konkret. Lihat saja Perda AIDS DI Yogyakarta yang mengabaikan keberadaan lokasi
pelacuran ‘Sarkem’ di Jalan Pasar Kembang (Lihat: Perda AIDS DI
Yogyakarta - http://www.aidsindonesia.com/2012/10/perda-aids-di-yogyakarta.html).
Dengan dana yang kecil sekalipun kalau program penanggulangan realitis dan menyentuh akar persoalan, maka penanggulangan HIV/AIDS, terutama menurunkan insiden infeksi HIV baru, bisa dilakukan.
Persoalannya
adalah: Apakah pemerintah kota dan kabupaten serta KPA mempunyai program
penanggulangan yang konkret? Kalau tidak ada maka dana yang besar pun akan
mubazir, tapi dengan program yang konkret dana yang kecil akan bermanfaat. ***[AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.