10 Oktober 2012

AIDS di Papua: ”Buang Saja ke Pulau”



Liputan (11/10-2012) – ”Kalau ada yang AIDS, kembalikan dan buang saja ke pulau.” Itulah komentar seorang laki-laki yang menelepon pada acara ”Dialog Noken Kita Bersama” tentang HIV/AIDS di ”TVRI Papua” di Jayapura (27/9-2012).

Dilaporkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Prov Papua per 31 Maret 2012 sebanyak 12.187 yang terdiri atas 5.090 HIV dan 7.097 AIDS dengan 980 kematian. Sedangkan di Prov Papua Barat dilaporkan kasus kumulatif HIV/AIDS mencapai 3.315.

Pernyataan penelepon itu menggambarkan sikap dan pendapat banyak kalangan di Papua, khususnya di Jayapura, tentang HIV/AIDS. Ketika talk show di Radio “RockFM” Jayapura, Papua (25/9-2012-pkl. 18.00-19.00) juga ada  seorang tokoh adat di Jayapura yang mengatakan: "Saya tolak kondom. Tolak sunat. Orang-orang AIDS buang saja ke pulau. Pulangkan ke pulau asalnya."


PSK Istri Simpanan

Dua pendapat itu boleh-boleh saja, tapi di balik pernyataan itu mereka ’menembak’ pekerja seks komesial (PSK) khusunya dari P. Jawa. Maka, tidak mengherankan kalau di lokasi atau lokalisasi pelacuran di Tanah Papua lebih banyak ditemukan PSK asal P. Jawa, seperti di lokalisasi Tanjung 'turki' Elmo di tepi Danau Sentani di sisi kiri jalan raya Jayapura-Bandara Sentani, Papua, dan di lokalisasi Maruni 55 sekitar dua jam perjalanan dengan kendaraan bermotor dari Kota Manokwari, Papua Barat.

Lalu, PSK dari daerah lain?

Di Jayapura PSK asal Manado banyak praktek sebagai PSK tidak langsung di bar atau sebagai ’cewek panggilan’. Sebagian dari PSK asal Manado dijadikan ’istri simpanan’ oleh laki-laki penduduk asli lokal. Ini amat masuk akal karena di Papua ada uang tunjangan yang diberikan setiap tiga bulan. Gol I dan II Rp 3 juta/tiga bulan, golongan III dan IV Rp 7 juta/tiga bulan. Inilah yang mereka pakai untuk ’menyimpan istri’ karena uang itu tidak diketahui oleh istri.

Celakanya, ’istri simpanan’ mereka itu tetap bekerja di bar. Nah, si suami tidak rela ’istri simpanan’-nya di-booking tamu. Maka, dia pun menjadi tamu ’istri simpanan’-nya sehingga mengeluarkan uang imbalan sebagai tamu. ”Aduh, mereka (suami-suami yang punya ’istri simpanan’-pen.) pulang pagi dan mabuk,” kata seorang perempuan di Jayapura melihat suami-suami teman dan tetangganya.

Ternyata laki-laki Papua berduit tidak hanya menjadikan ’PSK Manado’ sebagai istri simpanan di Jayapura dan kota-kota lain di Papua, tapi juga di luar Papua. Seorang sopir taksi yang mengaku sering mengantar laki-laki Papua ke Bandara Sentani tidak habis pikir mendengar celotehan penumpangnya. Rupanya, laki-laki Papua itu dengan bangga bercerita bahwa mereka terbang ke Makassar, Surbaya dan Jakarta untuk menemui ’istri’.

Mereka bercerita bahwa ’istri’ mereka itu perempuan baik-baik. Tentu saja ’baik-baik’ karena mereka jumpai di hotel, restoran, bar, karaoke, panti pijat dan karaoke. Artinya, ’istri’ mereka itu bukan PSK. Itu benar. Tapi, apakah mereka bisa menjami ’istri’ mereka tinggal di rumah sebagai ’anak manis’ kalau mereka tidak ada? Soalnya, mereka menjenguk ’istri’ antara satu sampai tiga bulan sekali.

Sedangkan di Kota Manokwari, Prov Papua Barat, PSK asal Manado ’praktek’ di hotel di pusat kota. ”Pak, tolong, dong, bikin beritanya koq kami (maksudnya PSK asal P Jawa-pen.) dipaksa di sini,” kata seorang PSK yang mengaku dari Jawa Timur di lokalisasi pelacuran Maruni 55 Manokwari.

Sepintas tidak ada masalah pada dua kasus tsb., yaitu ’istri simpanan’ dan ’PSK Manado’ di hotel.

PSK Tidak Langsung

Tapi, jika disimak dari aspek epidemilogi penyebaran HIV/AIDS maka ada persoalan besar terkait dengan ’istri simpanan’ dan ’PSK Manado’ di hotel.

Pertama, ’istri simpanan’ yang merupakan PSK tidak langsung tidak dijangkau untuk sosialisasi kondom. Akibatnya, PSK tidak langsung yang dijadikan ’istri simpanan’ dan ’PSK Manado’ yang praktek di hotel meladeni ’suami’ dan pelanggannya tanpa kondom.

Kedua, ’istri simpanan’ itu adalah perempuan yang sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan banyak laki-laki sehingga mereka berisiko tertular HIV. Nah, kalau ada di antara ’istri simpanan’ itu yang mengidap HIV/AIDS, maka si suami pun berisiko tertular HIV. Seterunya HIV akan ditularkan suami kepada istrinya di rumah. Jika istri tertular HIV maka ada pula risiko penularan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.

Ketiga, biarpun ’PSK Manado’ yang praktek di hotel bukan PSK langsung yang praktek di lokalisasi pelacuran, tapi mereka tetap sebagai perempuan yang berisiko tinggi tertular HIV. Maka, laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan ’PSK Manado’ berisiko tertular HIV. Maka, jangan heran kalau kelak di Kota Manokwari kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi pada pengusaha, karyawan, PNS, dll. yaitu mereka yang mempunyai uang.

Keempat, ’istri’ yang tinggal di luar Papua juga tidak bisa dijamin tidak melakukan hubungan seksual dengan laki-laki lain ketika mereka tinggalkan. Kondisi ini membuat ’istri’ mereka itu berisiko tertular HIV yang seterusnya menularkan HIV kepada mereka.

Terkait dengan suara untuk memulangkan ’orang AIDS’ ke pulau asalnya atau membuanya ke pulau ada kesan mereka ’menembak’ PSK adal P Jawa. Ini terjadi karena isu genosida dengan mendatangkan ’PSK Jawa pengidap AIDS’ ditiupkan di Tanah Papua.

Padahal, kuncinya ada pada laki-laki Papua. Kalau memang ’PSK Jawa’ dianggap sebagai ’agen’ genosida, mengapa ada laki-laki Papua yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan ’PSK Jawa’?

Kondisi penyebaran HIV/AIDS di Papua kian runyam karena ada laki-laki yang menjadikan ’PSK Manado’ sebagai ’istri simpanan’. Mereka menganggap ’PSK Manado’ tidak berisiko karena bukan ’agen’ genosida. Tapi, mereka sudah melakukan kesalahan besar. ’PSK Manado’ juga tidak berbeda dengan ’PSK Jawa’ karena sama-sama sebagai perempuan yang berisiko tertular HIV karena sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan laki-laki yang berganti-ganti.

Ada dua kemungkinan terkait dengan ’PSK Jawa’ yang terdeteksi HIV/AIDS di Papua.

Pertama, HIV/AIDS pada ’PSK Jawa’ ditularkan oleh laki-laki penduduk asli Papua. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki itu sebagai suami sehingga dia menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat secara horizontal melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, terutama kepada istrinya dan ’istri simpanannya’.

Kedua, HIV/AIDS pada ’PSK Jawa’ sudah ada ketika dia tiba di Papua. Jika ini yang terjadi, maka laki-laki yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan ’PSK Jawa’ yang sudah mengidap HIV/AIDS berisiko tertular HIV. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki itu sebagai suami sehingga dia menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat secara horizontal melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, terutama kepada istrinya dan ’istri simpanannya’.

Dibuang ke Pulau

Laki-laki yang menularkan HIV/AIDS kepada ’PSK Jawa’ dan laki-laki yang tertular HIV/AIDS dari ’PSK Jawa’ menjadi rantai penyebaran HIV di masyarakat secara horizontal melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, terutama kepada istrinya,  ’istri simpanannya’, atau PSK lain.

Boleh-boleh saja ’PSK Jawa’ yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS di kembalikan ke pulau asalnya atau di buang ke pulau lain. Tapi, perlu diingat bahwa laki-laki yang menularkan HIV/AIDS kepada ’PSK Jawa’ dan laki-laki yang tertular HIV/AIDS dari ’PSK Jawa’ tsb. tetap ada di Papua dan menjadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS secara horizontal di masyarakat melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah.

Lagi pula, bagaimana dengan penduduk asli Papua yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS? Apakah mereka juga akan dibuang ke pulau?

Tahun 1990-an Pemprov Riau (waktu itu belum dimekarkan sehngga termasuk Prov Kepulauan Riau) memulangkan PSK yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS.

Apa yang terjadi 10 tahun kemudian? Di tahun 2000-an kasus-kasus HIV/AIDS pada penduduk lokal mulai terdeteksi. Penularan pada laki-laki penduduk lokal terjadi pada tahun 1990-an karena masa AIDS terjadi antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV/AIDS.

Maka, yang perlu dilakukan oleh Pemprov Papua dan Pemprov Papua Barat adalah menjalakan program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewas berupa ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran.

Di Kab Merauke dan Kab Mimika program dijalankan tapi diskriminatif karena yang dijerat hanya ’PSK Jawa’, sedangkan mucikari atau germo dan laki-laki tidak kena sanksi hukum. Pemkab Merauke dan Pemkab Mimika boleh-boleh saja menepuk dada karena berhasil memenjarakan ’PSK Jawa’, tapi mereka lupa kalau laki-laki yang menularkan HIV dan yang tertular HIV dari ’PSK Jawa’ menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat.

Maka, tidaklah mengherankan kalau kasus HIV/AIDS di Prov Papua dan Prov Papua Barat terus terdeteksi karena insiden infeksi HIV baru terus terjadi. **[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.