Opini (9/9-2012) – “HIV/AIDS dan
TEOLOGI KRISTEN” Itulah judul tulisan Pdt. Dr. Martin
Lukito Sinaga yang saya baca di http://www.gkps.or.id/home/20071416?task=view.
Judul itu menarik minat saya untuk membaca tulisan dimaksud dengan harapan ada
hal baru yang bisa dipakai untuk mendukung program penanggulangan HIV/AIDS.
Tapi,
harapan saya ternyata meleset karena yang dikedepankan hanya formula ABC,
yaitu:
A (Abstain) Tidak
berhubungan seks. Disebutkan abstain adalah menghindari penularan HIV melalui
jalur seksual, orang harus tidak melakukan hubungan seks, menghindari atau
menunda aktivitas seksual jika ia dapat memperhitungkan resikonya. Bagi banyak
orang di masyarakat, hal ini bukanlah pilihan yang realistis.
Penularan
HIV melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah yang berisiko adalah
jika hubungan seksual dilakukan tanpa kondom dengan yang mengidap HIV/AIDS.
Maka, bukan dengan cara tidak melakukan hubungan seksual (sama sekali).
Dorongan seksual adalah metabolisme tubuh yang tidak bisa ditunda dan tidak
pula bisa diganti dengan kegiatan lain. Menyalurkan hasrat seksual tidak harus
dengan sanggama, tapi ada cara-cara yang tetap terkait dengan seks, seperti
masturbasi atau onani. Maka, tidak pula dengan cara menunda hubungan seksual karena
berdampak buruk terhadap tubuh. Amat jelas tidak melakukan hubungan seksual
sama sekali dan menunda hubungan seksual bukan pilihan.
B (Be Faithful) atau bersikap
setia. Karena itu, hanya melakukan dan setia dengan satu mitra seksual yang
setia dan negatif HIV adalah tindakan yang baik. Semakin sering hubungan
seksual dilakukan dengan lebih dari satu mitra seksual, semakin besar resiko
tertular HIV. Pesan ini tentu harus diberitakan dan dipromosikan oleh gereja,
meskipun pemberitaan dan promosi tidak memberikan perlindungan penuh dari virus
HIV tersebut.
Peroalannya
adalah orang-orang yang mengidap HIV/AIDS tidak bisa dikenali dari fisiknya. Laki-laki
‘hidung belang’ banyak yang setia dengan pekerja seks komersial (PSK). Artinya,
kalalu mereka melacur mereka tetap melakukannya dengan PSK yang sama setiap
kali mereka melacur. Dalam pikiran laki-laki ‘hidung belang’ langkah itu adalah
‘kesetiaan’. Maka, setia tidaklah jaminan karena bisa saja satu waktu setia
dengan si A, di lain waktu setia dengan si B, dst.
C (Condom) Kondom mencegah
pertukaran cairan tubuh dari tubuh yang satu ke tubuh lain. Kondom juga
mencegah penularan HIV dari ibu ke anak. “Jika Anda tidak yakin 100% dengan
status HIV Anda atau mitra seksual Anda, menggunakan kondom setiap kali berhubungan
seks merupakan cara terbaik melindungi diri sendiri”, demikian kita baca dalam
brosur lembaga PBB yang menangani HIV/AIDS (UNAIDS).
Kondom
bukan untuk mencegah pertukaran cairan tubuh, terutama air mani dan cairan
vagina, tapi melindungi penis agar tidak bergesekan langsung dengan vagina dan
membuat penis tidak terendam dalam cairan vagina, serta menampung air mani agar
tidak tumpah di dalam vagina.
Bukan
soal yakin atau tidak yakin terhadap status HIV pasangan, tapi melakukan
hubungan seksual dengan yang tidak diketahui status HIV-nya merupakan perilaku
berisik tertular HIV. Maka, pakai kondom agar terhindar dari risiko tertular
HIV.
Selain
itu kondom juga dipakai oleh laki-laki jika melakukan hubungan seksual dengan
perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti
pasangan, seperti PSK dan perempuan pelaku kawin-cerai.
Perempuan
pun harus meminta laki-laki yang sanggama dengannya untuk memakai kondom jika
status HIV laki-laki tsb. tidak diketahui. Perempuan yang melakukan hubungan
seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti juga
harus meminta laki-laki memakai kondom.
Disebutkan:
“Akhirnya kita bisa tegaskan di sini bahwa sebelum AIDS, Allah telah
memerintahkan kita untuk memberitakan penolakan terhadap tiga hal, yaitu
perzinahan, prostitusi dan hubungan seks di luar nikah.”
Tidak
ada kaitan langsung antara perzinahan, prostitusi dan hubungan seks di luar
nikah dengan penularan HIV karena penularan HIV melalui hubungan seksual bisa
terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual) jika salah satu mengidap
HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom (kondisi hubungan
seksual).
Ada
lagi pernyataan: “Kini setelah AIDS hadir di dunia, Allah juga berfirman agar
kita tidak melakukan pembunuhan dan bunuh diri (maka cegahlah penularan
HIV/AIDS Yang bisa membunuh tersebut, dengan memilih ABC di atas).”
Persoalan
besar yang kita hadapi adalah tidak ada yang bisa menjamin bahwa tidak akan ada
manusia yang berzina atau melacur.
Nah,
karena tidak ada jaminan maka apakah agama bisa menolerir atau memberikan
pilihan pemakaian kondom pada perzinaan atau pelacuran?
Untuk
menghentikan penyebaran HIV/AIDS melalui hubungan seksual adalah hal yang
mustahil. Yang sudah terbukti berhasil di banyak negara adalah menurunkan
insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan
seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran.
Cara
yang konkret adalah melalui program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki
yang melacur di lokalisasi pelacuran.
Tentu program itu merupakan
masalah besar karena agama-agama tidak mungkin membenarkan program tsb. Maka,
penyebaran HIV/AIDS pun akan terus terjadi yang kelak akan bermuara pada ‘ledakan
AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.