Tanggapan Berita. Dikabarkan Wakil
Bupati Aceh Utara, Muhammad Jamil, mengaku prihatin setelah membaca berita
tentang bocah SD tertular AIDS di salah satu kecamatan pedalaman di Aceh Utara.
Wakil Bupati berjanji akan membantu meringankan beban bocah tersebut ….” (Wabup Aceh Utara Prihatin Siswa SD Idap AIDS, beritasore.com, 31/8-2012).
Jika
dikaitkan dengan upaya penanggulangan HIV/AIDS yang perlu diperhatikan oleh
Muhammad Jamil bukan membantu bocah itu, tapi menjalankan program
penanggulangan HIV/AIDS yang konkret. Sayang, dalam berita tidak ada penjelasan
tentang langkah-langkah konkret Pemkab Aceh Utara dalam menanggulangi
penyebaran HIV/AIDS.
Muhammad
Jamil dikabarkan mengatakan pihaknya akan gencar mensosialisasikan bahaya
HIV/AIDS dan narkoba ke sekolah-sekolah dan ke berbagai instansi pemerintah
lainnya.
Yang
perlu disampaikan bukan bahaya HIV/AIDS, tapi cara-cara pencegahan yang
konkret.
Tidak
pula ada penjelasan apa langkah Pemkab Aceh Utara jika kelak bocah itu
mengalami masalah di sekolah kalau identitasnya tersebar. Soalnya, di beberapa
daerah terjadi penolakan oleh pihak sekolah terhadap anak-anak dengan HIV/AIDS...
Berita
ini sama sekali tidak membawa fakta ini, bocah pengidap HIV/AIDS, ke ranah
realitas sosial terkait dengan penyebaran HIV.
HIV/AIDS
pada bocah itu tentu saja tidak ‘turun dari langit’ atau ‘ditiup makhluk
halus’, tapi HIV pada bocah itu ditularkan ibunya. Sedangkan ibu bocah itu
tertular HIV dari suaminya.
Maka,
yang perlu dipersoalkan adalah di Aceh Utara ada suami yang menularkan HIV
kepada istrinya. Dalam berita tidak ada penjelasan mengapa dan bagaimana bocah
itu tertular HIV.
Dalam
berita juga tidak dijelaskan apakah kedua orang tua bocah itu sudah menjalani
tes HIV. Soalnya, kalau ayah bocah itu tidak menjalani tes HIV, maka bisa jadi
dia akan menularkan HIV yang diidapnya kepada orang lain, terutama melalui
hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Menurut
Muhammad Jamil, untuk menekan jumlah penderita HIV/AIDS dalam sosialisasinya
akan disuguhkan ceramah agama yang disampaikan para mubaligh. Diharapkan dengan
sosialisasi itu nantinya dua persoalan itu lambat laun dapat diatasi.
Tidak
ada kaitan langsung antara agama dan penularan HIV karena tidak semua (cara)
penularan HIV terkait dengan moral.
Penularan
HIV melalui hubungan seksual, misalnya, bisa terjadi di dalam ikatan pernikahan
yang sah jika salah satu dari pasangan itu mengidap HIV/AIDS dan suami tidak
memakai kondom setiap kali sanggama.
Informasi yang menyesatkan tersebar luas di Aceh berupa penyangkalan dengan mengatakan HIV/AIDS di Aceh dibawa orang luar pasca tsunami. Padahal, kasus HIV/AIDS tidak banyak terdeteksi sebelum tsunami karena kegiatan terkait HIV/AIDS tidak ada (Lihat: Merunut “Perjalanan” HIV/AIDS di Aceh - http://www.aidsindonesia.com/2012/09/menrunut-perjalanan-hivaids-di-aceh.html).
Pertanyaannya adalah: Apakah
Pemkab Aceh Utara bisa menjami tidak ada laki-laki dewasa penduduk Aceh Utara
yang melacur tanpa kondom di Aceh atau di luar Aceh?
Kalau jawabannya bisa, maka
tidak ada penyebaran HIV/AIDS dengan faktor risiko hubungan seksual di Aceh
Utara. Kemungkinan penularan terjadi dengan faktor risiko lain, seperti
transfusi darah, jarum suntik pada penyalahguna narkobat, dll.
Tapi, kalau jawabannya tidak
bisa, maka Pemkab Aceh Utara akan menghadapi penyebaran HIV/AIDS yang kelak
akan bermuara pada ‘ledakan AIDS’. ***[AIDS
Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.