Tanggapan
Berita - Dari 24 kasus kumulatif HIV/AIDS di Aceh Utara, Prov Aceh, dikabarkan
60 persen terdeteksi pada ibu rumah tangga dengan lima kematian (24 Warga Aceh Utara Terindikasi HIV/AIDS,
harianandalas.com, 30/8-2012). Salah satu dari pengidap HIV/AIDS di Aceh
Utara adalah seorang bocah murid SD (Lihat: Seorang Bocah
Siswa SD di Aceh Utara Terdeteksi Mengidap HIV/AIDS - http://www.aidsindonesia.com/2012/09/seorang-bocah-siswa-sd-di-aceh-utara_2.html).
Jika
60 persen kasus HIV/AIDS di Aceh Utara itu terdeteksi pada ibu rumah tangga,
maka data ini menggambarkan ada laki-laki yang mempunyai istri atau pasangan
lebih dari satu.
Dalam
berita tidak dijelaskan apakah suami atau pasangan ibu-ibu rumah tangga itu
sudah menjalani tes HIV. Kalau
suami-suami atau pasangan ibu-ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap
HIV/AIDS itu belum menjalani tes HIV, maka mereka akan menyebarkan HIV kepada
orang lain, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar
nikah.
Disebutkan
“ …. mereka sekarang dalam pengawasan pihak yang berkompeten yaitu dari Dinas
Kesehatan setempat.” Pernyataan ini menyesatkan karena mengesankan orang-orang
yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS harus diawasi. Ini salah kaprah karena
orang-orang yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS tidak otomatis harus mendapatkan
pengobatan dan perawatan.
Jika
tes HIV yang dilakukan terhadap orang-orang yang mengidap HIV/AIDS itu sesuai
dengan standar prosedur operasi tes HIV yang baku, maka mereka tidak perlu
diawasi karena salah satu janji seseorang yang menyatakan dirinya bersedia
menjalani tes HIV adalah: menghentikan penularan HIV mulai dari dirinya....
Sedangkan
untuk mencegah menularnya (penyebaran HIV/AIDS-pen.) lebih luas, dikabarkan
pemda telah membentuk tim terpadu melakukan sosialisasi kepada masyarakat
Gampong.
Yang
diperlukan bukan sosialisasi, tapi program yang konkret terutama menurunkan
insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa terutama melalui hubungan
seksual dengan pekerja seks komersial (PSK).
Yang
menjadi persoalan adalah Pemkab Aceh Utara akan bersikukuh bahwa di daerahnya
tidak ada pelacuran karena wilayah Provinsi Aceh menerapkan syariat Islam.
Memang,
secara de jure tidak ada lokalisasi pelacuran. Tapi, secara de facto praktek
pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu di Aceh.
Selain
itu ada pula laki-laki dewasa penduduk Aceh yang melacur ke luar daerah,
seperti ke Besitang di perbatasan Aceh dan Sumut atau ke Kota Medan. Dikabarkan
penerbangan Banda Aceh – Medan sering penuh pada akhir pekan. Begitu juga
dengan angkutan darat, seperti bus dan travel, selalu banyak penumpang di akhir
pekan dengan tujuan Medan. Di Kota Medan sendiri dikabarkan ada beberapa hotel
yang menawarkan potongan harga kepada pemegang KTP Aceh.
Disebutkan
bahwa “Kasus tersebut terjadi akibat jajanan seks bebas, narkoba yang kemudian
ketularan kepada keluarganya. ….”
Kalau
‘seks bebas’ diartikan sebagai zina atau melacur, maka pernyataan itu tidak
akurat karena penularan melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan
seksual (zina, melacur, ‘seks bebas’, dll.), tapi karena kondisi (saat terjadi)
hubungan seksual yaitu salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai
kondom ketika sanggama.
Menurut
Bupati Aceh Utara (Acut), H Muhammad Thaib alias Cek Mad, pihaknya merahasiakan
siapa nama dan dimana alamat penderita HIV itu.
Dalam
konteks kesehatan semua data dan informasi tentang penyakit seseorang merupakan
rahasia jabatan dokter sebagai catatan medis. Bukan hanya pengidap HIV/AIDS
yang dirahasiakan, tapi semua pengidap penyakit harus dirahasiakan. Yang boleh
dipublikasikan hanya penyakit yang terkait dengan wabah.
Disebutkan
pula “ …. masyarakat tak perlu takut (maksudnya penyebaran HIV/AIDS karena
identitas pengidap HIV/AIDS dirahasiakan-pen.), karena penularan itu ada
batasnya, yakni melalui cairan darah, cairan sperma, sentuhan vagina dan air
susu ibu.”
Penularan
HIV melaui ‘sentuhan vagina’ menyesatkan karena tidak jelas apa yang dimaksud
dengan ‘sentuhan vagina’.
Kalau
‘sentuhan vagina’ dimaksudkan sebagai hubungan seksual atau sanggama, maka
hubungan seksual tidak otomatis sebagai faktor risiko penularan HIV karena
harus memehui bebarapa unsur, al. salah satu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki
tidak memakai kondom. ***[AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W.
Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.