11 September 2012

Prostitusi Kelas Atas Mendorong Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia


* Kasus HIV/AIDS banyak terdeteksi pada PNS, wiraswata dan pengusaha


Tanggapan Berita (12/9-2012) – Surabaya gempar. Jaringan pelacuran (prostitusi) kelas atas dengan tarif antara Rp 1,5 juta – Rp 5 juta terbongkar di Surabaya. Poros jaringan yang sudah terungkap Surabaya – Semarang yang melibatkan 2.600 pelacur. Laki-laki berduit yang menjadi konsumen pelacur ‘kelas kakap’ ini menjadi faktor pendorong penyebaran HIV/AIDS di Indonesia.

Kasus kumulatif HIV/AIDS secara nasional priode 1987 sd. 30 Juni 2012 dilaporkan 118.865 yang terdiri atas 86.762 HIV dan 32.103 AIDS dengan 5.623 kematian (Lihat: Kasus HIV/AIDS per Juni 2012 Dilaporkan 118.865 - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/kasus-hivaids-per-juni-2012-dilaporkan.html).  


Pertama, pelacur-pelacur belia kelas atas itu tidak terjangkau oleh aktivis LSM yang bergerak di bidang penyuluhan HIV/AIDS sehingga tidak bisa dilakukan upaya menawarkan kondom.

Kedua, laki-laki ‘hidung belang’ menganggap mereka tidak berisiko tertular HIV/AIDS karena mereka tidak melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) jalanan dan yang mangkal di lokalisasi pelacuran.

Dikabarkan “Ratu Germo” Yuanita, 34 tahun, alias Keyko, tinggal di Surabaya, Jawa Timur, ‘mengoperasikan’ anak buahnya sekitar 2.600 orang yang tersebar di beberapa provinsi di Indonesia (surabayapost.co.id, 11/9-2012).

Andaikan setiap hari 1 anak buah Keyko meladeni 1 pejabat atau pengusaha, maka setiap hari ada 2.600 pejabat dan pengusaha yang berisiko tertular HIV/AIDS.

Maka, amatlah masuk akal kalau belakangan ini kian banyak kasus HIV/AIDS terdeteksi pada pegawai negeri sipil (PNS) dan pengusaha, terutama wiraswatawan.

Itu terjadi karena mereka mempunyai uang sehingga bisa membeli seks melalui kurir atau telepon tanpa harus pergi ke lokalisasi pelacuran. Hubungan seksual pun dilakukan di hotel berbintang atau apartemen sehingga jauh dari kesan lokalisasi.

Di DKI Jakarta, misalnya, sampai akhir tahun 2011 dilaporkan 2.605 kasus AIDS, yang terdeteksi pada: 345 ibu rumah tangga, 680 karyawan, 297 wiraswasta, 139 buruh, 84 narapidana, 59 mahasiswa dan siswa, 40  TNI/Polri, 37 PNS, dan 29 sopir (Suara Karya, 19/7-2012)

Dalam prakteknya cewek-cewek yang dijadikan pelacur yang beroperasi di hotel berbintang dan apartemen disebut sebagai PSK tidak langsung.

Di banyak daerah dikabarkan PSK tidak langsung menjadi mata rantai utama penyebaran HIV/AIDS.

Di Makassar, Sulsel, misalnya, PSK tidak langsung banyak dari kalangan cewek belia penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya). “Mereka itu muda-muda dan cantik-canting, Bang,” kata seorang rekan yang bergerak dalam pendampingan Odha (Orang dengan HIV/AIDS) di Makassar. Mereka beroperasi di diskotek, biliar, kafe dan pub sehingga tidak terkesan sebagai pelacur. Laki-laki ‘hidung belang’ pun merasa seperti di ‘sorga’ karena mendapat cewek yang bukan pelacur. Hal itu juga yang terjadi di Denpasar, Bali. Pelacur banyak yang disamarkan sebagai cewek di diskotek dan kafe.

Padahal, cewek-cewek itu praktek sebagai pelacur. Artinya, mereka melakukan hubungan seksual dengan laki-laki yang berganti-ganti. Ironisnya, laki-laki tidak akan mau memakai kondom karena mereka merasa rugi. Bayar mahal koq penis dibungkus (dengan kondom).


Maka, penyebaran IMS (infeksi menular seksual, seperti GO/kencing nanah, sifilis/raja singa, virus hepatitis B, klanidia, jengger ayam, herpes genitalis, dll.) serta HIV terus terjadi. Kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga merupakan dampak dari perilaku suami mereka yang sering melacur tanpa kondom, termasuk dengan PSK tidak langsung.

Seperti yang terjadi di Kota Kendari, Sultra, tentulah tidak sembarang orang yang bisa ‘memakai’ cewek karena tarifnya Rp 500.000 dan sewa kamar hotel antara Rp 500.000 – Rp 1.500.000. Ini hanya bisa dilakukan pegawai, karyawan, wiraswata dan pengusaha (Lihat: “Selangit”, Tarif PSK di Kota Kendari, Sultra - http://www.aidsindonesia.com/2012/09/selangit-tarif-psk-di-kota-kendari.html).

 

Menutup lokalisasi pelacuran tidak otomatif menghentikan praktek pelacuran. Di kota atau daerah yang tidak ada lokalisasi pelacuran tetap saja ada praktek pelacuran. 

 

Di Kota Tangerang, Banten, misalnya, yang mempunyai perda anti pelacuran tetap saja terjadi praktek pelacuran. Seorang rekan yang mendapingi PSK dan waria di sana mengatakan setiap malam ada 100 PSK dan waria yang ‘praktek’ meladeni laki-laki ‘hidung belang’. Suasana di sebuah hotel di Kota Tangeang juga menunjukkan praktek pelacuran yang terus terjadi di kota itu.

Di Banda Aceh, seorang waria mengaku meladeni lima laki-laki setiap hari dari berbagai kalangan. Waria ini sudah mengetahui risiko tertular IMS dan HIV/AIDS, tapi dia tidak bisa berbuat banyak karena di sana kondom tidak boleh diperjual-belikan.

Sudah saatnya pemerintah membalik paradigma berpikir dalam menangani pelacuran. Tidak lagi menutup lokalisasi, memburu pelacur, menjalankan program resosalisasi, dll., tapi mengajak laki-laki agar tidak melacur. Cara-cara yang dilakukan menangani pelacuran sudah gagal sejak dulu (Lihat: Menyingkap (Kegagalan) Resosialisasi dan Rehabilitasi Pelacur(an) - http://www.aidsindonesia.com/2012/08/menyingkap-kegagalan-resosialisasi-dan.html).

 

Biar pun lokalisasi pelacuran dibumihanguskan dari republik ini, tapi tidak ada jaminan tidak akan ada praktek pelacurna dalam berbagai bentuk. Itu artinya penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi dan kita tinggal menunggu waktu saja untuk mencapai kondisi seperti Thailand dua decade yl. ketika negeri itu mencatat kasus HIV/AIDS yang mendekati angka 1.000.000 yaitu 900-ribuan. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.