* Epidemi HIV/AIDS justru akan menyengsarakan keturunan pasangan
poligami
Tanggapan Berita (16/9-2012) – “Sejak
Papua dianeksasikan sebagai bagian dari Negara Kesatauan Republik Indonesia
(NKRI), banyak Rakyat Papua telah menjadi korban kekerasan militer Indonesia,
oleh sebab itu generasi Papua perlu terapkan budaya poligami.” Ini pernyataan Ciska
Abugau, anggota Pokja perempuan di Mejelis Rakyat Papua (MRP) dalam berita “Anggota MRP: Poligami Penting Untuk
Selamatkan Papua Dari Genosida” di suarapapua.com
(7/9-2012).
Ada
beberapa hal yang tidak pas dalam pernyataan Ciska itu.
Pertama, tidak pernah
ada genosida di Papua. Genosida adalah adalah
pembunuhan besar-besaran secara berencana terhadap suatu bangsa atau ras.
Kedua, jumlah korban
kekerasan tidak disebutkan sehingga tidak menggambarkan ‘kepnuhan’ suku asli di
Papua.
Ketiga, poligami
adalah istilah yang terkait dengan jumlah istri lebih dari satu di ajaran agama
Islam. Sedangkan di agama lain tidak dikenal poligami.
Ketika
HIV/AIDS menjadi ‘mesin pembunuh’ di Tanah Papua, maka poligami justru akan
menimbulkan masalah baru yang justru lebih berat, yaitu jika pasangan poligami
mengidap HIV/AIDS maka anak-anak yang dilahirkan akan mengidap HIV/AIDS.
Sejak
dilahirkan sampai meninggal pada usia belasan tahun anak-anak yang lahir dengan
HIV/AIDS itu akan menjadi beban. Persoalan besar akan muncul ketika orang tua
anak-anak yang lahir dengan HIV/AIDS itu meninggal, maka anak itu pun menjadi
yatim-piatu.
Siapa
yang akan mengurus anak-anak yatim-piatu yang hidup dengan HIV/AIDS itu?
Apakah
gereja dan panti asuhan mau menampung anak-anak yatim-piatu yang lahir dengan
HIV/AIDS itu?
Anak-nak
yatim piatu yang lahir dengan HIV/AIDS tidak sakit-sakitan sehingga bukan
kewajiban dinas kesehatan untuk menangani mereka. Anak-anak itu pun bukan
penyandang masalah sosial sehingga dinas sosial pun lepas tangan.
Ciska
tidak belajar dari sejarah ketika suku Marind di wilayah Merauke nyaris punah
karena epidemi sejenis IMS (infeksi menular seksual) yaitu granuloma
inguinale yang juga dikenal sebagai Donovanosis (diambil dari nama
seorang dokter yang menemukan IMS tsb. di Papua New Guinea). Penyebaran itu
terjadi setelah Perang Dunia I.
Penyakit
itu menurunkan populasi suku Marind karena kematian dan tingkat kelahiran yang
rendah. Kondisi itulah yang terjadi sekarang yang juga karena IMS serta
HIV/AIDS.
Dengan
jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS sebesar 12.187 di Prov Papua
dan 3.315 di Prov Papua Barat serta jumlah ibu rumah tangga yang banyak mengidap
HIV/AIDS, maka tingkat kematian pada kalangan dewasa akan tinggi dan tingkat
kelahiran anak pun sangat rendah.
Nah,
bertolak dari fakta ini yang perlu dilakukan oleh Ciska adalah membuat
peraturan agar setiap laki-laki yang melacur dengan pekerja seks komersial
(PSK) wajib memakai kondom sehingga mereka terhindar dari IMS dan HIV/AIDS.
Jika
laki-laki Tanah Papua tidak ada lagi yang tertular IMS atau HIV atau dua-duanya
sekaligus, maka tingkat kematian karena HIV/AIDS rendah dan kelahiran pun
meningkat. Tidak perlu poligami yang justru akan menimbulkan masalah baru.
Kepnunahan
orang Papua terletak di tangan laki-laki Papua. Bukan pada orang lain.
Menurut
Ciska, pada praktek poligami laki-laki sebagai kepala keluarga harus
bertanggung jawab untuk mengurus keluarganya, agar tidak menimbukan kekerasan
dalam rumah tangga.
Yang
jadi persoalan bukan kekerasan, tapi penularan IMS atau HIV/AIDS atau
dua-duanya sekaligus dari laki-laki yang berpoligami.
Jika
seorang laki-laki Papua mengidap HIV/AIDS berpoligami, misalnya, dengan empat
istri maka keempat istrinya berisiko tertular HIV. Kalau istri-istrinya
tertular HIV maka anak-anak yang mereka lahirkan kelak akan berisiko pula
tertular HIV.
Ciska
yakin bila kebiasan (budaya) poligami tidak diterapkan oleh generasi muda Papua, maka orang
Papua akan punah dengan sendirinya di kemudian hari.
Biar
pun berpoligami kalau mengidap HIV/AIDS, maka pasangan yang berpoligami lebih
cepat meninggal dan anak-anak mereka pun meninggal sebelum remaja karena penyakit
yang terkait dengan HIV/AIDS.
Mandos
Mote, seorang mahasiswa Institut Pemerintah Dalam Negeri (IPDN) membenarkan
ungkapan Mama Ciska. Menurut More budaya poligami perlu diangkat untuk menyelematkan orang dan alam Papua, walaupun
hal tersebut bertentangan dengan hukum agama.
Karena
bertentangan dengan agama tentu saja poligami akan menimbulkan masalah baru.
Sebagai mahasiswa Mote harus lebih arif melihat kematian yang tinggi dan
kelahiran yang rendah pada suku asli Papua.
Langkah
yang tepat adalah menjaga agar tidak ada lagi laki-laki dewasa Papua yang
tertular IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus agar tingkat kematian
rendah dan anak-anak yang mereka lahirkan tidak mengidap HIV/AIDS. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
OBAT BIUS CAIR
BalasHapusLIQUID SEX
ANEKA KONDOM SILIKON
OBAT KUAT VIAGRA USA
OBAT PENGHAPUS TATTO
OBAT KUAT CIALIS 50mg
CARA MEMBESARKAN PENIS
ALAT PEMBESAR PENIS
MINYAK ASLI LINTAH PAPUA
OBAT PENYUBUR SPERMA
VIGRX PLUS
OBAT PERONTOK BULU