Perkosaan
adalah kejahatan kriminal yang luar biasa (extra ordinary crime) karena
merupakan perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi
manusia (HAM) serta meninggalkan trauma berkepanjangan pada korban. Kehamilan
yang tidak diinginkan. Dicibir dan dicacimaki karena masyarakat selalu
menyalahkan perempuan. Dikeluarkan dari sekolah. Dipecat dari pekerjaan, dan lainnya.
Celakanya,
biar pun perkosaan merupakan perbuatan kriminal yang luar biasa tapi ancaman
hukumannya justru biasa-biasa saja.
Di
KUHP pada pasal 285 ancaman hukuman maksimal 12 tahun. Belakangan sejak diberlakukan era
otonomi daerah, muncul euforia untuk membuat peraturan daerah (perda).
Perda-perda yang dihasilkan sarat dengan aturan yang dibalut dengan syariat
Islam, norma dan moral. Judul perdanya pun: anti maksiat, anti pelacuran,
pemberantasan maksuat dan pelacuran. Biar pun judul perda menggigit tapi
anncaman hukumannya hanya mencubit. Sesuai dengan UU ancaman hukuman kurungan
(pidana) bagi pelanggar perda maksimal enam bulan dan denda Rp 50 juta.
Kalau
di satu daerah yang mempunyai perda anti maksiat atau anti pelacuran ada pasal
yang mengatur perkosaan sebagai perbuatan maksiat maka ancanamanya hanya enam
bulan. Bandingkan dengan negara-negara yang memberikan sanksi berat terhadap
pemerkosa mulai dari penjara seumur hidup sampai hukuman mati.
Saya
sudah mengirim surat ke semua organisasi keagaman yang sah di Indonesia dan ke
perguruan tinggi agama Islam berisi pertanyaan: Apakah ada ayat di kitab suci
yang eksplisit mengatur hukuman terhadap pemerkosa? Hanya satu surat balasan
yang saya terima, yaitu dari sebuah perguruan tinggi Islam di Kalimantan. Tapi,
dalam surat itu tidak ada kutipan ayat yang eksplisit mengatur hukuman bagi
pemekosa. Surat itu hanya membanding-bandingkan hukuman bagi pezina. Begitu
pula dengan konsultasi di sebuah harian di Palembang, Sumsel, pengasuh rubrik
itu hanya memberikan perbandingan dengan zina.
Perkosaan
tidak bisa dibandingkan atau disamakan dengan zina karena zina dilakukan suka
sama suka, sedangkan perkosaan dilakukan dengan paksaan dan kekerasan. Majelis
Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa yang membolehkan (opsi) aborsi bagi
kehamilan karena perkosaan dengan usia kehamilan di bawah 40 hari (Fatwa MUI No
4 Tahun 2005 tentang Aborsi). Di beberapa negara juga ada opsi aborsi bagi
korban perkosaan.
Korban
perkosaan kian terpuruk karena polisi meminta saksi dan bukti perlawanan
sebagai alat bukti perkosaan. Ini hal yang mustahil karena perkosaan terjadi di
bawah ancaman fisik dan psikologis. Bahkan, tidak jarang perkosaan dilakukan
oleh beberapa orang.
Kabarnya,
dulu ketika diperika di polisi ada pertanyaan kepada korban perkosaan: Apakah
Anda goyang waktu diperkosa? Syukurlah sekarang pertanyaan itu kabarnya tidak
ada lagi.
Lihatlah
Perda Prov. Gorontalo No 10/2003 tanggal 21 November 2003 tentang Pencegahan
Maksiat. Di pasal 6 tentang Pencegahan Perkosaan dan Pelecehan Seks disebutkan:
(1) Setiap perempuan dilarang berjalan sendirian atau berada di luar rumah
tanpa ditemani muhrimnya pada selang waktu pukul 24:00 sampai dengan pukul
04:00, kecuali dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. (2) Setiap
perempuan di tempat umum wajib berbusana sopan. (3) Dilarang menyelenggarakan
kegiatan pemilihan atau lomba kecantikan yang menampilkan perempuan dengan
busana yang minim dan atau ketat.
Pasal-pasal
ini bias gender karena hanya menyalahkan perempuan. Ada kesan pasal ini
’menembak’ pekerja seks yang mangkal di tempat umum, seperti tepi jalan raya,
taman, dll. Tapi, ’tembakan’ itu salah sasaran karena pekerja seks tidak hanya
ada di tempat umum. Yang rugi justru perempuan yang bukan pekerja seks yang
harus ada di luar rumah pada rentang waktu itu dengan berbagai alasan: pulang
kerja, ke apotek, ke rumah teman, dll. Sedangkan pekerja seks hilir mudik naik
motor atau mobil memenuhi panggilan melalui telepon genggam.
Pasal-pasal
itu pun menempatkan perempuan sebagai pelangkap penderita. Kalau saja aparat di
Pemprov Gorontalo dan anggota DPRD Prov. Gorontalo memakai perspektif dalam
merancang pasal untuk mencegah pelecehan seksual dan perkosaan tentulah
pasal-pasal itu tidak menyudutkan perempuan.
Paradigma
yang dipakai dalam membuat perda ini bertolak dari asumsi bahwa perempuan
pekerja seks berkeliaran di malam hari. Padahal, pekerja seks tidak langsung
melakukan transaksi melalui kurir dan telepon. Mereka tidak ada di jalanan atau
di lokalisasi, tapi di hotel-hotel berbintang atau rumah kos mewah dan
apartemen.
Mengapa
aturan itu tidak dibalik? Kalau saja paradigma yang dipakai berperspektif
gender maka pasal itu berbunyi: Pemerintah provinsi menjamin keamanan setiap
perempuan yang keluar rumah malam hari. Ini baru pasal yang beradab karena
tidak bias gender dan melindungi perempuan yang dianggap oleh laki-laki sebagai
makhluk yang lemah. Bahkan, ada sikap yang menempatkan perempuan sebagai
sub-ordinat dari laki-laki.
Bias
gender kian terasa di ketentuan pidana pada perda ini. Pada pasal 14 disebutkan:
1) Setiap orang yang melanggar ketentuan pasal 6 Peraturan Daerah ini diancam
dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp
5.000.000 (lima juta rupiah). Setiap orang yang dimaksud adalah perempuan.
Jika
seorang perempuan di wilayah Provinsi Gorontalo yang keluar malam pada rentang
waktu antara pukul 24.00 dan pukul 04.00 diperkosa, maka berdasarkan perda ini
perempuan tadi sudah melanggar pasal 6 ayat 1. Maka, yang ditindak adalah
perempuan korban perkosaan tadi karena melanggar hukum yaitu melakukan
perbuatan sesuai pasal 6 ayat 1. Dalam perda ini tidak ada ancaman hukuman
untuk laki-laki yang mempekosa. Sebaliknya, perempuan korban perkosaan
menderita sepanjang hidupnya. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.