06 September 2012

Perda AIDS Kota Sorong, Papua Barat


Media Watch - Kota Sorong di Prov Papua Barat menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) No 41 Tahun 2006 tanggal 12  Juli  2006 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS. Perda ini yang kedelapan dari 55 perda yang sudah ada, dan yang pertama di Papua Barat.

Sampai pertengahan 2011 kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Sorong mencapai 1.117 (www.aldp-papua.com, 1/8-2012).

Apakah Perda ini menukik ke akar persoalan terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS?

Tentu saja tidak, karena cara-cara penanggulangan yang ditawarkan dalam Perda tidak konkret tapi hanya normatif.

Di pasal 1 ayat 7 disebutkan: Pencegahan adalah upaya-upaya agar masyarakat tidak tertular IMS dan HIV/AIDS.

Sedangkan di pasal 1 ayat 8 disebutkan: Penanggulangan adalah upaya-upaya agar wabah IMS dan HIV/AIDS tidak meluas di masyarakat.

Apa langkah konkret untuk mencapai tujuan pasal 1 ayat 7 dan 8 itu, terutama melalui faktor risiko hubungan seksual?


Pada pasal 7 ayat a disebutkan: Program pencegahan penularan IMS/AIDS dilaksanakan dengan memperhatikan dan mengenali kelompok-kelompok sasaran yang terkait kelompok berisiko tertular melalui jalur seksual yaitu upaya membatasi perluasan penularan IMS dan HIV/AIDS dilaksankan melalui:

(1) Program penggunaan  kondom  100% bagi para kelompok risiko tinggi.

Dalam perda yang disebut kelompok risiko tinggi dijelaskan di pasal 1 ayat 9 disebutkan, yaitu: Kelompok beresiko tertular adalah kelompok masyarakat yang berprilaku risiko tinggi untuk tertular dan menularkan IMS dan HIV, seperti misalnya penjaja seks serta untuk pelanggannya dan para penyalahgunaan Napza suntik.

Perilaku yang berisiko tertular dan menularkan IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus bukan karena (ber)-kelompok, tapi tergantung pada perilaku seksual orang per orang.

Penggunaan kata ‘penjaja seks’ juga tidak akurat karena kalau ‘penjaja seks’ adalah pekerja seks komersial (PSK), maka PSK tidak pernah menjajakan ‘barang dagangannya’ yang berkeliaran mencari PSK justru laki-laki ‘hidung belang’ yang di masyarakat bisa sebagai seorang suami. Penggunaan kata ‘penjaja seks’ juga tidak manusiawi (Lihat: Materi KIE HIV/AIDS yang Merendahkan Harkat dan Martabat Manusia - http://www.aidsindonesia.com/2012/09/materi-kie-hivaids-yang-merendahkan.html).  


Kelompok masyarakat yang rentan terhadap HIV/AIDS adalah kelompok yang: (a) lebih mudah behubungan dengan kelompok risiko tinggi; (b) kurang mendapat dukungan keluarga; (c) kurang perlindungan terhadap wanita usia muda; (d) kurang mampu mengakses pelayanan kesehatan.

Pernyataan terkait dengan (a) jika yang dimaksud dengan kelompok risiko tinggi adalah PSK, maka tidak semua orang yang berhubungan dengan PSK berisiko tertular HIV. Di lokasi atau lokalisasi pelacuran serta tempat-tempat yang menyediakan transaksi seks banyak yang mudah berhubungan (secara sosial) dengan PSK, seperti germo, kasir, pedagang asongan, dll., tapi mereka tidak berisiko tertular HIV sepanjang mereka tidak melakukan hubungan seksual tanpa kondom.

Begitu juga dengan pernyataan kurang mendapat dukungan keluarga. Ini mendiskreditkan keluarga karena banyak kepala keluarga yang justru sering melacur. Mereka dari berbagai kalangan di masyarakat, mulai dari pegawai karyawan, dll.

Maka, pelaksanaan ’Program penggunaan  kondom  100% bagi para kelompok risiko tinggi’ tidak jelas dalam perda ini karena tidak dirinci. Kalau saja perancang perda ini tidak memakai pijakan moral tapi memakai fakta, maka pasal 7 ayat a angka 1 berbunyi: “Setiap laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di lokasi dan lokalisasi pelacuran serta tempat-tempat yang menyediakan transaksi seks wajib memakai kondom.”

Konsekuensinya adalah pelacuran dilokalisir melalui regulasi dalam bentuk peraturan sehingga hukum bisa menjangkau kegiatan pelacuran. Germo diberikan izin usaha agar mereka bisa dijerat dengan hukum. Ini sudah dilakukan Thailand dan berhasil menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa dengan faktor risiko hubungan seksual dengan PSK.

Pasal 7 ayat a angka 2 disebutkan: Program pencegahan penularan IMS/AIDS dilaksanakan dengan memperhatikan dan mengenali kelompok-kelompok sasaran yang terkait kelompok berisiko tertular melalui jalur seksual, upaya membatasi perluasan penularan IMS dan HIV/AIDS dilaksankan melalui program pengendalian transaksi seksual komersial.

Transaksi seksual komersial tidak bisa dikendalikan kalau pelacran tidak dilokalisir. Soalnya, praktek pelacuran (komersial) terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu. Lain halnya kalau dilokalisir, maka semua kegiatan bisa diatur melalui peraturan dengan sanksi hukum.

Mencegah penularan HIV melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah yang konkret adalah laki-laki memakai kondom setiap kali melacur dengan PSK. Maka, di perda ini pun ada pasal yang menyasar penggunaan kondom pada pelanggan PSK.

Di pasal 13 ayat (1) “Untuk mencegah penyebaran penularan IMS dan HIV/AIDS di masyarakat, pemakai kondom 100% bagi para pelanggan wanita penjaja seks masih merupakan cara pencegahan yang efektif”, ayat (2) “Kondom wajib digunakan pada setiap melakukan hubungan seksual antara para wanita penjaja seks dengan para pelanggannya untuk mencegah penyebaran penulara IMS dan HIV/AIDS di masyarakat.”

Persoalannya adalah tidak ada mekanisme yang sistematis untuk memaksa laki-laki ‘hidung belang’ yang melacur dengan PSK memakai kondom. Di Kab Merauke, Papua, yang diberikan sanksi hukum ternyata hanya PSK, sedangkan laki-laki yang menularkan IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus ke PSK serta laki-laki yang tertular IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus dari PSK tidak dijerat. Di masyarakat mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV (Lihat: Di Merauke, Papua, PSK yang Tertular IMS Dihukum Denda Rp 1,1 Juta - http://www.aidsindonesia.com/2012/09/di-merauke-papua-psk-yang-tertular-ims.html).  


Kalau cara yang diterapkan Thailand dipakai dalam perda ini, maka insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Celakanya, dalam perda ini sama sekali tidak disebutkan lokalisasi pelacuran.

Lokalisasi pelacuran yang merupakan regulasi diikat dengan hukum melalui izin usaha bagi germo. Nah, setiap pekan dilakukan survailans tes IMS kepada PSK. Kalau ada PSK yang terdeteksi mengidap IMS itu artinya terjadi hubungan seksual tanpa kondom. Maka, yang diberikan sanksi bukan PSK tapi germo.

Sayang, perda ini dirancang dengan pijakan moral sehingga fakta, seperti keberhasilan Thailand, luput dari perhatian. Ya, Pemkot Sorong tinggal menunggu waktu saja untuk ‘panen AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.