Media Watch - Kota Sorong
di Prov Papua Barat menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) No 41 Tahun 2006 tanggal
12 Juli 2006 tentang Pencegahan dan Penanggulangan
Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS. Perda ini yang kedelapan dari 55
perda yang sudah ada, dan yang pertama di Papua Barat.
Sampai
pertengahan 2011 kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Sorong mencapai 1.117 (www.aldp-papua.com,
1/8-2012).
Apakah Perda ini menukik ke akar persoalan terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS?
Tentu
saja tidak, karena cara-cara penanggulangan yang ditawarkan dalam Perda tidak
konkret tapi hanya normatif.
Di
pasal 1 ayat 7 disebutkan: Pencegahan adalah upaya-upaya agar masyarakat tidak
tertular IMS dan HIV/AIDS.
Sedangkan
di pasal 1 ayat 8 disebutkan: Penanggulangan adalah upaya-upaya agar wabah IMS
dan HIV/AIDS tidak meluas di masyarakat.
Apa
langkah konkret untuk mencapai tujuan pasal 1 ayat 7 dan 8 itu, terutama
melalui faktor risiko hubungan seksual?
Pada pasal 7 ayat a disebutkan: Program pencegahan penularan IMS/AIDS dilaksanakan
dengan memperhatikan dan mengenali kelompok-kelompok sasaran yang terkait kelompok
berisiko tertular melalui jalur seksual yaitu upaya membatasi perluasan
penularan IMS dan HIV/AIDS dilaksankan melalui:
(1) Program penggunaan kondom
100% bagi para kelompok risiko tinggi.
Dalam perda yang disebut
kelompok risiko tinggi dijelaskan di pasal 1 ayat 9 disebutkan, yaitu: Kelompok beresiko
tertular adalah kelompok masyarakat yang berprilaku risiko tinggi untuk
tertular dan menularkan IMS dan HIV, seperti misalnya penjaja seks serta untuk
pelanggannya dan para penyalahgunaan Napza suntik.
Perilaku
yang berisiko tertular dan menularkan IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus
bukan karena (ber)-kelompok, tapi tergantung pada perilaku seksual orang per
orang.
Penggunaan
kata ‘penjaja seks’ juga tidak akurat karena kalau ‘penjaja seks’ adalah
pekerja seks komersial (PSK), maka PSK tidak pernah menjajakan ‘barang
dagangannya’ yang berkeliaran mencari PSK justru laki-laki ‘hidung belang’ yang
di masyarakat bisa sebagai seorang suami. Penggunaan kata ‘penjaja seks’ juga
tidak manusiawi (Lihat: Materi KIE
HIV/AIDS yang Merendahkan Harkat dan Martabat Manusia - http://www.aidsindonesia.com/2012/09/materi-kie-hivaids-yang-merendahkan.html).
Kelompok
masyarakat yang rentan terhadap HIV/AIDS adalah kelompok yang: (a) lebih mudah
behubungan dengan kelompok risiko tinggi; (b) kurang mendapat dukungan
keluarga; (c) kurang perlindungan terhadap wanita usia muda; (d) kurang mampu
mengakses pelayanan kesehatan.
Pernyataan terkait dengan (a)
jika yang dimaksud dengan kelompok risiko tinggi adalah PSK, maka tidak semua
orang yang berhubungan dengan PSK berisiko tertular HIV. Di lokasi atau
lokalisasi pelacuran serta tempat-tempat yang menyediakan transaksi seks banyak
yang mudah berhubungan (secara sosial) dengan PSK, seperti germo, kasir,
pedagang asongan, dll., tapi mereka tidak berisiko tertular HIV sepanjang
mereka tidak melakukan hubungan seksual tanpa kondom.
Begitu juga dengan pernyataan
kurang mendapat dukungan keluarga. Ini mendiskreditkan keluarga karena banyak
kepala keluarga yang justru sering melacur. Mereka dari berbagai kalangan di
masyarakat, mulai dari pegawai karyawan, dll.
Maka, pelaksanaan ’Program
penggunaan kondom 100% bagi para kelompok risiko tinggi’ tidak
jelas dalam perda ini karena tidak dirinci. Kalau saja perancang perda ini
tidak memakai pijakan moral tapi memakai fakta, maka pasal 7 ayat a angka 1
berbunyi: “Setiap laki-laki dewasa yang melakukan hubungan seksual dengan PSK
di lokasi dan lokalisasi pelacuran serta tempat-tempat yang menyediakan
transaksi seks wajib memakai kondom.”
Konsekuensinya adalah pelacuran
dilokalisir melalui regulasi dalam bentuk peraturan sehingga hukum bisa
menjangkau kegiatan pelacuran. Germo diberikan izin usaha agar mereka bisa
dijerat dengan hukum. Ini sudah dilakukan Thailand dan berhasil menurunkan
insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa dengan faktor risiko hubungan
seksual dengan PSK.
Pasal
7 ayat a angka 2 disebutkan: Program pencegahan penularan IMS/AIDS dilaksanakan
dengan memperhatikan dan mengenali kelompok-kelompok sasaran yang terkait kelompok
berisiko tertular melalui jalur seksual, upaya membatasi perluasan penularan
IMS dan HIV/AIDS dilaksankan melalui program pengendalian transaksi seksual
komersial.
Transaksi
seksual komersial tidak bisa dikendalikan kalau pelacran tidak dilokalisir.
Soalnya, praktek pelacuran (komersial) terjadi di sembarang tempat dan
sembarang waktu. Lain halnya kalau dilokalisir, maka semua kegiatan bisa diatur
melalui peraturan dengan sanksi hukum.
Mencegah penularan HIV melalui
hubungan seksual di dalam dan di luar nikah yang konkret adalah laki-laki
memakai kondom setiap kali melacur dengan PSK. Maka, di perda ini pun ada pasal
yang menyasar penggunaan kondom pada pelanggan PSK.
Di pasal 13 ayat (1)
“Untuk mencegah penyebaran penularan IMS dan HIV/AIDS di masyarakat, pemakai
kondom 100% bagi para pelanggan wanita penjaja seks masih merupakan cara
pencegahan yang efektif”, ayat (2) “Kondom wajib digunakan pada setiap
melakukan hubungan seksual antara para wanita penjaja seks dengan para
pelanggannya untuk mencegah penyebaran penulara IMS dan HIV/AIDS di masyarakat.”
Persoalannya adalah tidak ada mekanisme yang sistematis untuk memaksa laki-laki ‘hidung belang’ yang melacur dengan PSK memakai kondom. Di Kab Merauke, Papua, yang diberikan sanksi hukum ternyata hanya PSK, sedangkan laki-laki yang menularkan IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus ke PSK serta laki-laki yang tertular IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus dari PSK tidak dijerat. Di masyarakat mereka menjadi mata rantai penyebaran HIV (Lihat: Di Merauke, Papua, PSK yang Tertular IMS Dihukum Denda Rp 1,1 Juta - http://www.aidsindonesia.com/2012/09/di-merauke-papua-psk-yang-tertular-ims.html).
Kalau
cara yang diterapkan Thailand dipakai dalam perda ini, maka insiden infeksi HIV
baru, terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK di
lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Celakanya, dalam perda ini sama sekali
tidak disebutkan lokalisasi pelacuran.
Lokalisasi
pelacuran yang merupakan regulasi diikat dengan hukum melalui izin usaha bagi
germo. Nah, setiap pekan dilakukan survailans tes IMS kepada PSK. Kalau ada PSK
yang terdeteksi mengidap IMS itu artinya terjadi hubungan seksual tanpa kondom.
Maka, yang diberikan sanksi bukan PSK tapi germo.
Sayang,
perda ini dirancang dengan pijakan moral sehingga fakta, seperti keberhasilan
Thailand, luput dari perhatian. Ya, Pemkot Sorong tinggal menunggu waktu saja
untuk ‘panen AIDS’. ***[AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.