Dengan kasus kumulatif HIV/AIDS
di Kota Medan sejak
Januari 2006 sampai September 2011 yang 2.755 tentulah angka yang dilaporkan ini tidak menggambarkan kasus yang
sebenarnya di masyarakat. Epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena
gunung es. Kasus yang terdeteksi (2.755) digambarkan sebagai puncak gunung es
yang muncul di atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi
di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut.
Celakanya, dalam perda ini
tidak ada cara yang konkret untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat.
Selama ini kasus yang dilaporkan sebagian besar terdeteksi di rumah sakit.
Pasien dengan penyakit yang terkait HIV/AIDS, seperti diare yang terus-menerus,
TBC, dll. dianjurkan tes HIV setelah dilakukan konseling untuk mengetahui perilaku
pasien tersebut. Ada juga yang terdeteksi bertolak dari anak yang dirawat di
rumah sakit. Penyakit pada anak-anak itu mendorong dokter menganjurkan tes HIV.
Ketika anak terdeteksi HIV/AIDS, maka ibu dan ayah anak itu pun dianjurkan
untuk tes HIV.
Kalau saja perda ini dirancang
dengan pijakan fakta medis, maka pasal-pasal yang ada adalah cara-cara
penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS yang konkret. Tapi, karena perda ini,
seperti juga perda-perda lain, dirancang dengan semangat moralis maka pasal-pasal
yang ada pun hanya normatif.
Lihat saja pasal 12 ayat 1:
”Pencegahan merupakan upaya terpadu memutus mata rantai penularan HIV dan AIDS
di masyarakat terutama populasi rentan dan risiko tinggi.”
Caranya? Ya, simak saja di
pasal 12 ayat 3 yaitu upaya pencegahan yang dilakukan oleh pemerintah daerah
antara lain: (a) pengawasan terhadap tempat hiburan malam, hotel, taman kota,
rumah-rumah kos dan lokasi lainnya untuk tidak menjadi tempat prostitusi
terselubung; (b) penyuluhan dan pemeriksaan kesehatan secara berkala kepada
pemilik dan karyawan hotel, tempat-tempat hiburan, rumah-rumah kos dan tempat
lainnya yang dianggap berpotensi rentan dan berisiko tinggi; (c) penyuluhan
kepada pengusaha warung internet untuk memblokir situs porno.
Ayat (a) menunjukkan pemahaman
yang rendah terhadap risiko seseorang tertular dan menularkan HIV. Penularan
HIV melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (prostitusi
terselubung), tapi karena kondisi ketika terjadi hubungan seksual (salah satu
mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom). Fakta menunjukkan ada ibu
rumah tangga yang terdeteksi mengidap HIV. Ibu-ibu rumah tangga itu tertular
HIV dari suaminya. Di Kota Medan sudah terdeteksi 43 bayi yang mengidap HIV.
Berarti ada 43 ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suaminya.
Biar pun tidak ada prostitusi
di Kota Medan, bisa saja terjadi laki-laki dewasa penduduk Kota Medan tertular
HIV di luar Kota Medan atau di luar negeri. Mereka tertular karena melakukan
hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, tanpa kondom dengan perempuan
yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan,
seperti pekerja seks komersial (PSK). Laki-laki penduduk Kota Medan yang
tertular HIV kemudian menjadi mata rantai penyebaran HIV di Kota Medan.
Ayat
(b) merupakan tindakan gegabah karena sudah menyamaratakan perilaku seksual
banyak orang yaitu pemilik hotel, pemilik rumah kos, dll. Apakah pemilik hotel,
bioskop dan rumah kos juga melakukan perilaku beirisko di tempat usahanya?
Tentang ’pemeriksaan kesehatan
secara berkala’ juga tidak tepat karena untuk mendeteksi HIV hanya bisa
dilakukan dengan tes HIV. Akurasi tes HIV juga terkait dengan masa jendela
yaitu rentang waktu sejak tertular HIV sampai tiga bulan. Jika ’pemeriksaan
kesehatan secara berkala’ juga termasuk tes HIV, maka kalau yang diperiksa
tertular HIV di bawah tiga bulan hasil tes tidak akurat. Hasil tes bisa negatif
palsu (HIV sudah ada di dalam darah tapi tidak terdeteksi karena belum ada
antibody HIV), atau positif palsu (HIV tidak ada di dalam darah tapi hasil tes
reaktif).
Pasal pencegahan dalam perda
ini kian mengambang jika disimak ayat (c). Tidak ada kaitan lansung antara
situs porno dengan penularan HIV.
Pijakan moral pada perda ini
kian kental di pasal 13 ayat 1 huruf d: ”Upaya pencegahan HIV dan AIDS pada
setiap orang dilakukan melalui memeriksakan diri bagi calon pasangan suami
istri.”
Seperti dijelaskan di atas tes
HIV erat kaitannya denga masa jendela. Kalau calon pengantin itu tes HIV pada
masa jendela, maka hasilnya bisa negatif palsu atau positif palsu.
Kalau hasil tes negatif palsu
maka bencana akan terjadi pada pasangan suami istri itu karena mereka tidak
menyadari HIV sudah ada di antara mereka.
Sebaliknya, bagi yang hasil tes
positif palsu maka pernikahan bisa batal. Padahal, tes itu tidak akurat.
Selain itu tes HIV bukan
vaksin. Artinya, biar pun tes HIV pasangan itu HIV-negatif itu tidak jaminan
selamanya mereka akan HIV-negatif karena bisa saja terjadi di antara mereka
melakukan perilaku berisiko setelah menikah. Jika pasangan itu kelak terdeteksi
mengidap HIV, maka hasil tes sebelum menikah akan menjadi ’senjata’ bagi mereka
untuk saling menyalahkan.
HIV/AIDS adalah fakta medis
sehingga pencegahan dapat dilakukan dengan cara-cara yang konkret. Tapi, karena
perda ini bermuatan moral maka pencegahan pun berupa mitos (anggapan yang
salah).
Lihat saja di pasal 15 ayat 2
huruf a: ”Dalam rangka pencegahan, setiap orang wajib tidak melakukan hubungan
seksual bagi yang belum menikah.” Pasal ini jelas
normatif karena secara biologis hubungan seksual bisa dilakukan kapan saja.
Lagi pula jika dikaitkan dengan penularan HIV, maka tidak ada kaitan lansung
antara penularan HIV dan ’hubungan seksual sebelum menikah’. Penularan HIV bisa
terjadi di dalam dan di luar nikah bagi yang belum atau sudah menikah.
Di pasal 15 ayat 2 huruf b:
”Dalam rangka pencegahan, setiap orang wajib hanya melakukan hubungan seksual
dengan pasangan yang sah.” Lagi-lagi pasal ini menunjukkan perancang perda ini
tidak memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis. Penularan HIV melalui hubungan
seksual terjadi karena KONDISI HUBUNGAN SEKSUAL (salah satu mengidap HIV dan
laki-laki atau suami tidak memakai kondom setiap kali sanggama) bukan karena
SIFAT HUBUNGAN SEKSUAL (dengan pasangan yang tidak sah).
Lagi pula belakangan ini muncul
kecenderungan ’nikah’ antara laki-laki ’hidung belang’ dengan PSK atau
perempuan yang berganti-ganti. Di kawasan Puncak, Jawa Barat, terjadi ’kawin
kontrak’ (dengan rentang waktu yang disepakati) antara perempuan lokal dan
pendatang dengan ’wisatawan’ dari Timur Tengah. Secara hukum ’nikah’ itu sah
karena sudah memenuhi rukun nikah, tapi risiko penularan HIV tetap bisa terjadi
karena perempuan yang ’dinikahi’ adalah orang yang perilakunya berisiko
tertular HIV karena sering berganti-ganti pasangan.
Di pasal 15 ayat 2 huruf c: ”
Dalam rangka pencegahan, setiap orang wajib menggunakan alat pencegah bagi
pasangan yang sah dengan HIV positif.” Persoalannya adalah banyak suami yang
tidak menyadari perilakunya berisiko tertular HIV sehingga tidak memakai kondom
ketika sanggama dengan istrinya. Buktinya, sudah ada istri yang terdeteksi
mengidap HIV/AIDS atau bayi yang dilahirkan dengan HIV/AIDS. Istri tertular HIV
dari suaminya, dan ketika istri hamil terjadi pula penularan kepada bayi yang
dikandungnya.
Karena pemahaman terhadap
HIV/AIDS berpijak pada moral, maka langkah-langkah pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS pun tidak lagi konkret.
Lihat saja pada bagian peran
serta masyarakat dalam menanggulangi HIV/AIDS di pasal 27. Disebutkan:
”Peran masyarakat dalam
penanggulangan HIV dan AIDS dilaksanakan melalui peningkatan ketahanan gama dan
keluarga untuk mencegah penularan HIV dan AIDS serta tidak bersikap
diskriminatif terhadap ODHA.”
”Peran masyarakat dalam
penanggulangan HIV dan AIDS dilaksanakan melalui pengembangan perilaku pola
hidup sehat dan bertanggung jawab dalam keluarga.”
Cara yang ditawarkan perda ini
sama sekali tidak menyentuh akar persoalan terkait dengan penularan HIV. Tidak
ada kaitan langsung antara ’ketahanan agama dan keluarga’ dengan penularan HIV.
Pasal ini menyuburkan stigma (cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan berbeda)
terhadap orang-orang yang tertular HIV karena dikesankan mereka tertular HIV
karena tidak mempunyai ketahanan agama dan keluarga.
Apakah istri-istri yang tertular
HIV dari suaminya terjadi karena mereka tidak mempunyai ketahanan agama dan
keluarga? Begitu pula dengan orang-orang yang tertular HIV melalui transfusi
darah, alat-alat kesehatan dan jarum suntik.
Begitu pula dengan ’perilaku
pola hidup sehat’ sama sekali tidak ada kaitannya secara langsung dengan
penularan HIV. Justru orang-orang yang tidak sehat (tidak bisa melakukan
hubungan seksual) bisa terhindar dari penularan HIV melalui hubungan seksual.
Biar pun informasi yang akurat
tentang HIV/AIDS sudah banjir, tapi tetap saja ada yang mengabaikan HIV/AIDS
sebagai fakta medis. Seperti pada perda ini. Lebih dari 90 persen kasus
HIV/AIDS terdeteksi pada orang-orang yang tidak menyadari dirinya tertular HIV.
Tapi, dalam perda ini ada
larangan hubungan seksual bagi orang yang sudah mengetahui dirinya tertular
HIV. Di pasal 31 ayat 1 huruf a disebutkan: ”Setiap orang yang telah mengetahui
dirinya terinfeksi HIV dan AIDS dilarang melakukan hubungan seksual dengan
orang lain kecuali dengan pasangannya yang telah diberitahu tentang keadaan
infeksi HIV dan AIDS dan secara sukarela menerima risiko tersebut.”
Malarang seseorang melakukan
hubungan seksual tentulah perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran terhadap
hak asasi manusia (HAM). Terkait dengan pengidap HIV/AIDS, maka ada cara yang
dapat dilakukan agar tidak terjadi penularan yaitu memakai kondom setiap kali
melakukan hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.
Setelah menyibak pasal-pasal
dalam perda ini, maka perda ini tidak akan bisa menanggulangi penyebaran HIV,
terutama mencegah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui
hubungan seksual dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan PSK, karena
tidak ada pasal yang menawarkan cara-cara mencegah HIV melalui perilaku
berisiko.
Hal yang menjadi persoalan
besar adalah: Apakah Pemko Medan, DPRD Medan, MUI Medan, tokoh masyarakat,
tokoh agama, wartawan, LSM, dll. bisa menjamin tidak akan ada laki-laki dewasa
penduduk Kota Medan yang akan melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan
perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti
pasangan, seperti PSK, di Kota Medan, di luar Kota Medan atau di luar negeri?
Kalau jawabannya BISA, maka
tidak ada persoalan penyebaran HIV dengan faktor risiko (mode of transmission) hubungan seksual.
Tapi, kalau jawabannya TIDAK
BISA, maka ada persoalan besar terkait dengan penyebaran HIV melalui hubungan
seksual, di dalam dan di luar nikah, di Kota Medan.
Celakanya, perda ini tidak
menawarkan cara-cara yang konkret untuk mencegah agar laki-laki dewasa tidak
tertular HIV melalui perilaku berisiko. Ya, Pemko Medan tinggal menunggu waktu
saja untuk ’memanen’ AIDS karena penduduk yang mengidap HIV/AIDS yang tidak
terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar
penduduk, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar
nikah. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.