Media Watch (8/9-2012) - Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Batang, Prov Jawa Tengah, rupanya tidak mau ketinggalan dari Pemprov
Jateng dan Pemkab Semarang untuk membuat perda penanggulangan HIV/AIDS. Tanggal 22 Juni
2011 disahkan Perda No 3 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten
Batang. Perda ini merupakan yang ke-54 dari 57 perda sejenis yang sudah ada di
Indonesia. Di Jateng perda ini yang ke-4 setelah Kota Surakarta, Prov Jawa
Tengah, dan Kab Semarang.
Sama seperti perda-perda yang sudah duluan terbit, perda ini pun hanya
sebatas copy-paste dari perda yang sudah ada.
Juga bandingkan dengan Perwalkot Surakarta (Lihat: http://www.aidsindonesia.com/2012/08/peraturan-walikota-surakarta-solo.html),
Perda AIDS Prov Jawa Tengah (Lihat: http://www.aidsindonesia.com/2012/08/perda-aids-provinsi-jawa-tengah.html),
dan Perda AIDS Kab Semrang (Lihat: http://www.aidsindonesia.com/2012/09/perda-aids-kab-semarang-prov-jawa-tengah.html).
Dengan kasus kumulatif HIV/AIDS dari tahun 2007 – Februari 2012 tercatat
177 yang terdiri atas 125 HIV dan 52 AIDS dengan 27 kematian Pemkab Batang
sudah harus menjalankan langkah-langkah konkret untuk menanggulangi penyebaran
HIV/AIDS, terutama melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.
Tapi, seperti perda-perda lain sama dalam perda ini pun sama sekali tidak
ada cara yang konkret untuk menanggulangi HIV/AIDS. Langkah yang ditawarkan
hanya bersifat normatif, sedangkan penanggulangan HIV/AIDS membutuhkan cara
yang konkret.
Penanggulangan yang diperlukan adalah menurunkan insiden infeksi HIV baru
terutama pada laki-laki melalui hubungan seksual dengan pekerja seks di lokasi
pelacuran atau tempat-tempat lain yang menyediakan layanan jasa seks. Thailand
berhasil menurunkan isiden infeksi baru melalui program ’wajib kondom 100
persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks di
lokalisasi pelacuran dan rumah bordir.
Perda-perda AIDS di Indonesia sebenarnya ’mengekor’ ke program Thailand,
tapi diadopsi dengan setengah hati. Semangatnya dipakai, tapi penerapannya nol
besar!
Lihat saja di pasal 3. Disebutkan: Tujuan penanggulangan HIV dan AIDS
adalah (a) Melindungi masyarakat dari resiko HIV dan AIDS, (b) mencegah dan mengurangi
penularan HIV.
Persoalannya adalah: Bagaimana cara untuk melindungi masyarakat,b agan
bagaimana pula cara untuk mencegah dan mengurangi penularan HIV?
Tidak ada langkah yang konkret. Di pasal 8 disebutkan: Pencegahan HIV dan
AIDS dilakukan melalui upaya: (a) Melakukan sosialisasi dan pendidikan tentang
informasi HIV dan AIDS kepada seluruh masyarakat, (b) membudayakan perilaku
seksual yang aman, setiap pada pasangan, menggunakan kondom pada setiap
hubungan seks yang tidak aman.
Terkait dengan (a) yang perlu dipertanyakan adalah: Apakah informasi bahas
sosialisasi diberikan secara akurat? Soalnya, dalam berbagai brosur, leaflet,
dll. informasi yang disampaikan selalu dibumbui dengan moral sehingga fakta
medis HIV/AIDS hilang. Yang ditangkap masyarakat hanyalah mitos (anggapan yang
salah) tentang HIV/AIDS. Langkah-langkah yang ditawarkan agamawan sama sekali
tidak memberikan cara yang konkret untuk mencegah penularan HIV.
Penularan HIV, terutama melalui hubungan seksual, selalu dikaitkan dengan
moral. Misalnya, disebutkan penularan HIV terjadi karena hubungan seks
pranikah, di luar nikah, zina, melacur, ’jajan’, seks anal, waria, dll.
Padahal, penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi karena salah satu
mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom (kondisi hubungan seksual),
bukan karena seks pranikah, di luar nikah, zina, melacur, ’jajan’, seks anal,
waria, dll. Kalau satu pasangan dua-duanya tidak mengidap HIV maka tidak ada
risiko penularan HIV biar pun hubungan seks dilakukan dengan zina, melacur,
dll.
Terkait dengan langkah (b) yaitu membudayakan perilaku seksual yang aman,
setiap pada pasangan, menggunakan kondom pada setiap hubungan seks yang tidak
aman, maka diperlukan mekanisme yang konkret. Sayang, dalam perda tidak ada
mekanisme yang konkret untuk menerapkan ayat (b) itu.
Di wilayah Kab Batang terdapat lokasi pelacuran. Kalau saja perda itu
meregulasi pelacuran tentulah upaya menurunan insiden infeksi HIV baru bisa
diturunkan seperti yang dilakukan oleh Thailand. Germo diberikan semacam izin
usaha agar mereka berada dalam genggaman hukum agar bisa diberikan sanksi.
Nah, Thailand ’memegang’ germo sehingga peraturan efektif. Di Indonesia
yang dijadikan ’sasaran tembak’ justru pekerja seks. Padahal, posisi tawar pekerja seks
untuk memaksa laki-laki memakai kondom sangat rendah. Seperti yang sudah
diterapkan di Kab Merauke, Prov Papua, sudah ada beberapa pekerja seks yang
masuk bui. Tapi, ’posisi’ pekerja seks itu akan digantikan oleh pekerja seks
’baru’.
Thailand menjalankan pemantauan yang konkret. Secara rutin pekerja seks
mengikuti survailans tes IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO,
klamidia, jengger ayam, hepatitis B, dll.). Kalau ada pekerja seks yang
terdeteksi mengidap IMS, maka germo akan kena sanksi. Hal ini membuat posisi
tawar pekerja seks kuat sehingga laki-laki pun tidak bisa lagi memakai tangah
germo untuk memaksa pekerja seks meladeninya tanpa kondom.
Di ayat (b) disebutkan ’menggunakan kondom pada setiap hubungan seks yang
tidak aman’ ini tidak tepat. Yang dianjurkan memakai kondom adalah laki-laki
yang melakukan hubungan seksual berisiko, yaitu:
(1) dilakukan dengan perempuan yang berganti-ganti di dalam dan di luar
nikah.
(2) dilakukan dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti
pekerja seks, waria, dan perempuan pelaku kawin-cerai di dalam dan di luar
nikah.
(3) dilakukan dengan laki-laki dalam kaitan Laki-laki Suka (Seks)
Laki-laki/LSL melalui seks anal.
Perda ini justru lebih condong pada penanggulangan di hilir. Artinya, yang
ditangani adalah penduduk yang sudah tertular HIV, seperti pengobatan, dukungan
dll. Padahal, yang diperlukan adalah pencegahan HIV di hilir, misalnya, melalui
hubungan seksual dengan pekerja seks.
Melalui kebijakan dan strategi penanggulangan yang ditawakan perda ini
menunjukkan penanggulangan di hilir. Lihat saja di pasal 5 dan 6 tentang
strategi penanggulangan, yaitu: (a) Meningkatkan dan memperluas program
penemuan penderita HIV-AIDS, perawatan, dukungan maupun pengobatan, (b)
Mengembangkan program Pencegahan Penularan Melalui Transmisi Seksual, Penularan
dari Ibu kepada bayi, dan program pengurangan dampak buruk.
Ayat (a) jelas harus ada dulu penduduk yang mengidap HIV. Lagi pula, dalam
perda tidak ada cara yang konkret untuk menemukan penduduk yang sudah mengidap
HIV/AIDS. Tidak ada cara yang sistematis. Bandingkan dengan Malaysia yang
menjalankan survailans tes HIV rutin, berkala dan khusus terhadap beberapa
kalangan masyarakat (Lihat Tabel).
Begitu pula dengan langkah (b) yaitu mencegah HIV melalui hubungan seksual
dan dari ibu-ke-bayi yang dikandungya tidak pula ada langkah yang konkret.
Salah satu yang mendorong penyebaran HIV adalah laki-laki ’hidung belang’
melalui hubungan seksual dengan pekerja seks. Tapi, di lokasi pelacuran yang
ada di wilayah Kab Batang tidak ada regulasi yang ketat untuk memaksa laki-laki
’hidung belang’ memakai kondom ketika sanggama dengan pekerja seks.
Begitu pula dengan upaya mencegah penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang
dikandungnya. Tidak ada cara yang sistematis untuk mendeteksi HIV pada
perempuan hamil. Maka, yang dilakukan adalah menunggu perempuan berobat atau
kontrol ketika hendak melahirkan di sarana kesehatan pemerintah saja.
Cara-cara penanggulangan yang ditawarkan dalam perda ini pun kian
sumar-samar karena berpijak pada moral. Lihat saja di pasal 8 ayat f
disebutkan: “Pencegahan HIV dan AIDS dilakukan melalui upaya pengaturan,
pembinaan, dan pengendalian pada tempat-tempat yang berisiko terjadi
penularan.”
Pasal ini bermuatan moral sehingga tidak konkret. Apa, sih, yang dimaksud
dengan ’tempat-tempat yang berisiko terjadi penularan’? Penularan HIV bisa
terjadi di sembarang tempat kalau ada hubungan seksual berisiko. Di penginapan,
losmen, hotel melati, hotel berbintang, rumah, kos-kosan, apartemen, taman,
hutan belantara, dll. Pasal ini menggambarkan kemunafikan.
Soalnya, yang dimaksud dengan ’tempat-tempat yang berisiko terjadi
penularan’ tentulah lokasi pelacuran. Kemunafikan kian kental, seperti yang
terjadi di Kab Cirebon, Jabar. Pejabat dan pemuka agama di sana akan gusar
kalau wartawan menulis tempat atau lokasi pelacuran. Mereka tidak marah kalau
disebut ’tempat esek-esek’.
Risiko tertular HIV terkait langsung dengan perilaku orang per orang
(kecuali ibu-ibu rumah tangga dan bayi), tapi di Indonesia perilaku
disamaratakan sehingga muncullah jargon ’peran serta masyarakat’.
Di pasal 22 ayat 1 disebutkan: Masyarakat bertanggung jawab untuk berperan
serta dalam kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS serta perlindungan terhadap
ODHA dan OHIDHA dengan cara: (a) berperilaku hidup sehat, (b) meningkatkan
ketahanan keluarga.
Cara-cara yang dianjurkan perda ini hanya mitos. Apa yang dimaksud dengan
’berperilaku hidup sehat’? Orang yang melakukan hubungan seksual, di dalam dan
di luar nikah, adalah menunjukkan kesehatan secara biologis. Begitu pula dengan
’ketahanan keluarga’, apa, sih, yang dimaksud dengan ’ketahanan keluarga’ yang
bisa mencegah penularan HIV?
Di sisi lain dua hal itu pun akan mendorong masyarakat memberikan stigma
(cap buruk) dan diskriminasi (membedakan perlakuan) terhadap orang-orang yang
tertular HIV karena dikesankan mereka adalah orang yang tidak sehat perilakunya
dan keluarganya tidak mempunyai ketahanan.
Lagi-lagi pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS sebagai fakta medis dengan
cara-cara yang tidak faktual. Maka, perda ini pun tidak bermanfaat dalam
menanggulangi HIV/AIDS di Kab Batang.
Kasus-kasus HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga menujukkan suami mereka
melakukan hubungan seksual yang berisiko tertular HIV. Sayang, dalam perda
tidak ada interventi untuk mencegah penularan HIV dari suami ke istri. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W.
Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.