Media Watch – Pemerintah
Kab Semarang, Prov Jawa Tengah, membuat peraturan daerah (perda) tentang
penanggulangan HIV/AIDS yaitu Perda No 3 Tahun 2010 tanggal 23 Maret 2010
tentang Penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten Semarang.
Sebelumnya
Pemprov Jawa Tengah sudah menerbitkan Perda No. 5 Tahun 2009 tentang
Penanggulangan HIV dan AIDS. Perda AIDS Prov Jateng merupakan perda ke-36,
sedangkan Perwalkot ADIS Surakarta merupakan yang ke-28, dan Perda AIDS Kab
Semarang yang ke-45 dari 55 perda pemerintahan provinsi, kabupaten dan kota serta
1 peraturan gubernur (pergub), dan 1 peraturan walikota (perwalkot).
Apakah
Perda AIDS Kab Semarang ini bisa menanggulangi epidemi HIV di Kab Semarang?
Sampai
Desember 2011 kasus HIV/AIDS yang tercatat di Dinas Kesehatan Kab Semarang yaitu
237 HIV, dan 43 AIDS dengan 29 kematian. Bandingkan dengan data per November
2010 sudah terdeteksi 158 HIV dan 35 AIDS dengan 23 kematian. Kasus-kasus tersebut terdeteksi di wilayah Kab Semarang yang tersebar merata di 19 kecamatan.
Kondom 100
Persen
Dalam
Perda AIDS Kab Semarang ini pada pasal 5 ayat c angka 1 disebutkan: “Kebijakan meliputi
pencegahan yang efektif melalui penggunaan
kondom 100% (seratus persen) pada setiap perilaku seksual tidak aman untuk
memutus rantai penularan HIV dan AIDS”.
Pasal ini menyisakan serangkaian pertanyaan, yaitu:
Pertama, siapa yang
menjadi sasaran penggunaan kondom 100 persen? Soalnya, di pasal 7 ayat 2
disebutkan: Pencegahan yang dilakukan untuk kelompok rawan meliputi menggunakan
kondom pada saat melakukan hubungan seks. Pada pasal 1 ayat 21 disebutkan:
Kelompok rawan adalah kelompok yang mempunyai perilaku beresiko tinggi terhadap
penularan HIV dan AIDS meliputi Pekerja Seks, pelanggan pekerja seks, orang
yang berganti-ganti pasangan seksual, pria berhubungan seks dengan pria, waria,
narapidana, anak jalanan, pengguna napza suntik beserta pasangannya.
Kedua, di mana terjadi perilaku seksual yang tidak aman sebagai sasaran
penggunaan kondom 100 persen? Jika dikaitkan dengan pasal 1 ayat 21 sebagai
sasaran maka dalam perda ini sama sekali tidak ada penjelasan tentang tempat
kegiatan berisiko tersebut terjadi.
Ketiga, bagaimana mengawasi penggunaan kondom? Jika pengguaan kondom
ditujukan kepada kelompok rawan, bagaimana cara mengawasi penggunaan kondom di
kalangan tsb.? Lagi-lagi tidak ada penjelasan yang konkret dalam perda ini.
Tiga pertanyaan ini erat kaitannya dengan penerapan pemakaian
kondom. Dalam perda ini sama sekali tidak ada pasal yang terkait dengan program
pemakaian kondom yaitu: (a) lokalisasi atau lokasi pelacuran, (b) PSK, (c)
laki-laki ‘hidung belang’, (d) izin usaha, (e) monitoring pemakaian kondom, dan
(d) sanksi bagi germo.
Di perda-perda lain ada pasal terkait kewajiban memakai kondom
pada hubungan seksual berisiko, tapi di Indonesia tidak ada kegiatan pelacuran
yang berizin sehingga tidak mungkin memberikan sanksi kepada germo.
Perda
AIDS ini kian tidak konkret karena pada pasal 5 ayat a tentang kebijakan
disebutkan: penanggulangan HIV dan AIDS harus memperhatikan nilai-nilai agama
dan budaya/norma kemasyarakatan, yang diselenggarakan oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, Masyarakat, LSM, ODHA serta OHIDHA dimana kegiatannya
diarahkan untuk mempertahankan dan memperkokoh ketahanan serta kesejahteraan
keluarga yang diselaraskan dengan Strategi Nasional Penanggulangan HIV dan
AIDS.
Tes IMS dan HIV
Apa
yang dimaksud dengan nilai-nilai agama dan budaya/norma kemasyarakatan yang
terakit dengan penularan dan pencegahan HIV sebagai fakta medis?
Penularan
HIV tidak ada kaitannya secara langsung dnegan nilai-nilai agama dan
budaya/norma kemasyarakatan karena HIV juga bisa menular melalui cara-cara yang
tidak melanggar atau bertentangan dengan nilai-nilai agama dan budaya/norma
kemasyarakatan. Buktinya, ribuan ibu rumah tangga (baca: istri) mengidap HIV.
Ini menunjukkan ibu rumah tangga tertular HIV dari suami melalui hubungan
seksual di dalam ikatan pernikahan yang sah secara agama dan negara. Di Kab
Semarang terdeteksi sembilan ibu rumah tangga yang mengidap HIV (Harian “Suara
Merdeka”, 16/12-2008).
Tidak
pula ada kaitan langsung antara penularan HIV dengan ketahanan dan
kesejahteraan keluarga. Sebagai virus HIV tidak ‘melihat’ kondisi ketahanan dan
kesejahteraan keluarga pada penularan melalui hubungan seksual, tapi tergantung
pada perilaku seksual orang per orang. Penularan HIV melalui hubungan seksual
(bisa) terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual) jika salah
satu dari pasangan tsb. mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom setiap
kali sanggama (kondisi hubungan seksual).
Upaya-upaya
penggulangan epidemi HIV kian tidak konkret dalam perda ini. Di pasal 7 ayat 1
tentang langkah-langakah penanggulagan disebutkan: Pencegahan yang dilakukan
oleh dan untuk kelompok ODHA dan OHIDHA meliputi: (a) tidak melakukan hubungan
seks diluar perkawinan yang sah, (b) melakukan hubungan seks dengan kondom, (c)
saling setia kepada pasangannya atau tidak berganti-ganti pasangan seks.
Bunyi
huruf a tidak akurat. Ini mitos (anggapan yang salah) karena tidak ada kaitan
langsung antara penularan HIV dan hubungan seksual di luar nikah. Sedangkan
yang tertera pada huruf b sudah disepakati ketika terjadi kesepakatan tes
melalui informed consent setelah konseling sebelum tes HIV. Demikian
pula pada hufur c kalau salah satu atau kedua-dua pasangan yang saling setia
mengidap HIV maka mereka tetap harus memakai kondom karena penularan HIV
melalui hubungan seksual tidak bisa dicegah dengan kesetiaan.
Pada
pasal 7 ayat 3 tentang Pencegahan bagi kelompok rentan meliputi: (a)
sosialisasi tentang dampak negatif HIV dan AIDS, (b) tidak melakukan hubungan
seks diluar perkawinan yang sah. Pada pasal 1 ayat 20 disebutkan: Kelompok
rentan adalah mereka yang karena lingkup pekerjaannya, lingkungan sosial,
rendahnya status kesehatan, daya tahan dan kesejahteraan keluarga akan
mempunyai potensi melakukan perilaku beresiko terinfeksi HIV dan AIDS. Bunyi
pada huruf b merupakan mitos karena tidak ada kaitan langsung antara penularan
HIV dengan hubungan seksual di dalam atau di luar nikah.
Di
pasal 7 ayat 4 disebutkan: Pencegahan yang dapat
dilakukan melalui masyarakat meliputi: (a) meningkatkan iman dan taqwa, (b)
memeriksakan diri secara dini dan berkala terhadap penyakit IMS, (c) melakukan
perilaku seksual secara sehat.
Lagi-lagi pasal ini hanya mitos. (1) Apa alat ukur iman dan taqwa
yang bisa mencegah penularan HIV? (2) Siapa yang berwewenang mengukur keimanan
dan ketaqwaan yang bisa mencegah penularan HIV? Bunyi pada huruf a tsb.
mendorong masyarakat melakukan stigmatisasi (pemberian cap buruk atau negative)
dan diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap orang-orang yang mengidap HIV
karena pasal tsb. mengesankan orang-orang yang tertular HIV tidak beriman dan
tidak pula bertaqwa.
Bunyi
huruf b pun tidak pas karena tidak semua orang harus memeriksakan diri terkait
dengan IMS. Pasal ini mengesanan semua orang perilaku seksualnya berisko. Ini
menyesatkan. Lalu, siapa saja, sih, yang harus menjalani tes IMS dan
HIV? Sayang, dalam perda tidak ada penjelasan yang konkret.
Jika
disimak dari aspek epidemilogi HIV maka yang dianjurkan menjalani tes IMS dan
HIV adalah orang-orang yang perilaku seksualnya berisiko yaitu; “Setiap orang
yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual di dalam dan di luar nikah,
tanpa kondom di wilayah Kabupaten Semarang atau di luar Kabupaten Semarang
serta di luar negeri dengan pasangan yang bergati-ganti atau dengan yang sering
berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSKdi
lokasi dan lokalisasi pelacuran), PSK tidak langsung (‘cewek bar’, ‘cewek
disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’,
selingkuhan, PIL dan WIL, dll.) serta pelaku kawin cerai.”
Tanpa Disadari
Bunyi
huruf c juga tidak jelas karena semua hubungan seksual (hanya) bisa terjadi
pada kondisi sehat.
Langkah-langkah
penanggulangan berupa pencegahan oleh Pemerintah Daerah pada pasal 7 ayat 5
huruf I meliputi: meningkatkan pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak. Di
pasal 1 ayat 27 disebutkan: Prevention Mother to Child Transmision yang
disingkat PMTCT adalah pencegahan penularan HIV dan AIDS dari ibu kepada
bayinya. Tapi, dalam perda ini tidak ada mekanisme yang konkret untuk
mendeteksi HIV pada ibu-ibu rumah tangga yang hamil.
Pasal
6 tentang strategi penanggulangan AIDS pada ayat c disebutkan meningkatkan dan memperluas upaya pencegahan yang efektif
dan efisien. Lagi-lagi tidak ada langkah konkret yang ditawarkan dalam perda
ini untuk menjalankan ayat c tsb.
Salah
satu faktor risiko (mode of transmission)
penularan HIV adalah hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Maka, jika ingin perda bisa diandalkan untuk menanggulangi epidemi HIV maka
yang perlu diperhatiakan adalah perilaku seksual yang berisiko. Di pasal 1 ayat
40 disebutkan: Perilaku Seksual Tidak Aman adalah perilaku berganti-ganti
pasangan seksual tanpa menggunakan kondom.
Pertanyaannya
adalah: Apakah Pemkab Semarang bisa menjamin bahwa tidak ada penduduk laki-laki
dewasa di Kab Semarang yang melacur tanpa kondom di wilayah Kab Semarang atau
di luar Kab Semarang?
Kalau
jawabannya BISA, maka tidak ada persoalan risiko penyebaran HIV melalui
hugungan seksual.
Tapi,
kalau jawabannya TIDAK BISA maka ada persoalan besar yang dihadapi Pemkab
Semarang yaitu ada penduduk laki-laki dewasa yang berisiko tertular HIV karena
melakukan perilaku seksual yang tidak aman. Kasus-kasus HIV yang tidak
terdeteksi akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS.
Nah,
yang perlu ‘dijerat’ dengan perda adalah orang-orang yang melakukan perilaku
seksual yang tidak aman yaitu mewajibkan setiap penduduk, terutama laki-laki
dewasa, untuk memakai kondom jika melakukan hubungan seksual di dalam dan di
luar nikah dengan dengan pasangan yang bergati-ganti atau dengan yang sering
berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di
lokasi dan lokalisasi pelacuran), PSK tidak langsung (‘cewek bar’, ‘cewek
disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’,
selingkuhan, PIL dan WIL, dll.) serta pelaku kawin cerai.
Sanksi
pidana yang ada dalam perda ini adalah pelanggaran terhadap pasal 5 huruf e
yaitu setiap perusahaan diwajibkan melakukan program pencegahan HIV dan AIDS,
dan pasal 17 huruf c tentang peran dan tanggung jawab ODHA yaitu
berkewajiban tidak melakukan tindakan berisiko yang dapat menularkan HIV dan
AIDS kepada orang lain.
Terkait
dengan perihal menularkan HIV dengan sengaja kepada orang lain fakta
menunjukkan justru lebih dari 90 persen kasus infeksi HIV melalui hubungan
seksual terjadi tanpa disadari. ***[AIDS
Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.