Salah satu reaksi yang muncul terhadap
penemuan kasus HIV/AIDS yang terus terjadi adalah merancang peraturan daerah (perda)
tentang pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS.
Tapi, karena perda-perda itu
dirancang dengan pijakan moral, maka perda-perda itu tidak bisa dijadikan
patokan untuk penanggulangan HIV/AIDS.
Lihat saja Perda Kab Badung No 1
Tahun 2008 tanggal 19 Mei 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS ini. Sama sekali tidak menyentuh akar persoalan terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS.
Di pasal 9 disebutkan: “Setiap orang yang
melakukan hubungan seksual berisiko wajib melakukan upaya pencegahan dengan
memakai kondom.”
Pertama, dalam perda tidak ada penjelasan tentang ‘perilaku
seksual berisiko’.
Kedua, di mana setiap orang wajib melakukan pencegahan?
Ketiga, kalau kewajiban berlaku di wilayah Kab Badung, maka
penduduk bisa saja melakan perilaku berisiko tanpa terikat kewajiban memakai
kondom di luar wilayah Kab Badung.
Keempat, dalam perda tidak ada penjelasan yang rinci tentang
mekanisme pemantauan kewajiban memakai kondom.
Karena pemakaian kondom terinspirasi dari program di Thailand, maka
pemantauan pun harus mengacu ke program tsb. Di Thailand program itu berhasil
karena ada mekanisme pemantauan yang konkret. Germo atau mucikari diberikan
izin usaha.
Pada kurun waktu tertentu dilakukan survailans tes IMS (infeksi menular seksual) adalah penyakit-penyakit yang
ditularkan melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah,
dari seseorang yang mengidap IMS kepada orang lain, seperti sifilis, GO,
klamidia, hepatitis B, dll.) terhadap PSK. Jika ada PSK yang terdeteksi
mengidap IMS maka germo diberikan sanksi berupa peringatan sampai pencabutan
izin usaha.
Di Indonesia yang menerima sanksi
justru PSK, seperti yang sudah dilakukan oleh Pemkab Merauke dan KPA Kab
Merauke, Papua. Padahal, posisi tawar PSK sangat lemah. Laki-laki bisa memaksa
PSK meladeninya tanpa kondom dengan bantuan germo. Lagi pula 1 PSK ditahan,
maka puluhan PSK (baru) akan menggantikan posisi PSK yang ditangkap. Lain
halnya kalau izin usaha yang dicabut tentulah tidak otomatis ada germo baru
karena harus mengusur izin usaha baru.
Di pasal 1 ayat 6 disebutkan: “Pencegahan
adalah upaya memutus mata rantai penularan HIVdan AIDS di masyarakat, terutama
kelompok berisiko tinggi tertular dan menularkan HIV dan AIDS seperti pengguna
narkoba jarum suntik, penjaja seks dan pelanggan atau pasangannya, laki-laki
yang berhubungan seks dengan laki-laki, warga binaan di lembaga pemasyarakatan
dan rumah tahanan, ibu yang telah terinfeksi HIV ke bayi yang dikandungnya,
penerima darah, penerima organ atau jaringan tubuh donor.” Tidak ada kaitan
yang konkret antara pasal 1 ayat 6 dan pasal 9.
Di Pasal 7 disebutkan: “Setiap orang yang telah mengetahui dirinya
terinfeksi HIV wajib melindungi pasangan seksualnya dengan melakukan upaya
pencegahan.” Fakta menunjukkan lebih dari 90 persen kasus penularan HIV terjadi
tanpa disadari. Lagi pula orang-orang yang terdeteksi HIV melalui tes HIV yang
baku sudah berjanji akan memutus penyebaran HIV mulai dari dirinya.
Yang menjadi persoalan besar adalah penduduk yang sudah tertular HIV tapi
tidak terdeteksi. Mereka inilah yang akan menjadi mata rantai penyebaran HIV
secara horizontal, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan
di luar nikah.
Perda ini menggalang peran serta masyarakat dalam menanggulangi HIV/AIDS.
Di pasal 21 ayat 1 disebutkan: “Masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk
berperanserta dalam kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS dengan cara: a.
berperilaku hidup sehat; dan b. meningkatkan ketahanan keluarga untuk mencegah penularan
HIV dan AIDS….”
Cara yang ditawarkan perda ini hanyalah sebatas mitos. Bahkan, pasal ini
justru menodorong masyarakat melakukan stigma (cap buruk) dan diskriminasi
(perbedaan perlakuan) terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS) karena huruf a dan
b mengesankan Odha tertular HIV karena perilakunya tidak sehat dan keluarganya
tidak mempunyai ketahanan.
Lagi pula, siapa, sih, yang berhak mengukut perilaku seseorang apakah sehat
atau tidak? Apa pula ukuran yang dipakai? Sebarapa besar ukuran ‘hidup sehat’
dan ‘ketahanan keluarga’ yang bisa mencegah HIV?
Perda ini pun hanya copy-paste dari perda yang sudah ada. Tidak ada satu
pun pasal yang manawarkan pencegahan dan penanggulangan HIV yang konkret. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.