Tanggapan Berita (7/9-2012) - Kaberadaan
cafe remang-remang di sepanjang Tembok ‘Berlin’ juga mendapat perhatian dari
Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPAD) Kota Sorong. Bahkan Sekretaris KPAD Kota,
John Toisutta, mengkhawatirkan cafe remang-remang dimanfaatkan para pekerja
seks jalanan (PSJ) untuk melakukan transkasi di tempat itu.” Ini lead berita “Pekerja Seks Jalanan Marak di Sorong” di www.jpnn.com (4/9-2012).
Persoalan
bukan pada PSJ, tapi ada pada laki-laki yang ‘membeli’ seks dari PSJ. Risiko
penyebaran IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan
melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, seperti
sifilis/raja singa, GO/kencing nanah, virus hepatitis B, klamidia, jengger
ayam, dll.) terjadi jika laki-laki yang ‘membeli’ seks kepada PSJ tidak memakai
kondom.
Pertanyaan
untuk John: Apakah KPA Kota Sorong mempunyai program yang konkret untuk
menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan
seksual dengan pekerja seks komersial (PSK), termasuk PSJ?
Nah,
kalau jawabannya TIDAK ADA, maka lagi-lagi persoalan ada pada KPA bukan pada
PSJ karena kuncinya ada pada laki-laki yang ‘membeli’ seks kepada PSJ.
Dalam
Perda AIDS Kota Sorong pun sama sekali tidak ada langkah konkret untuk
menanggulangi penyebaran HIV/AIDS (Lihat: Perda
AIDS Kota Sorong, Papua Barat - http://www.aidsindonesia.com/2012/09/perda-aids-kota-sorong-papua-barat.html).
Pertanyaan selanjutnya, masih untuk John:
Apakah selama ini di Kota Sorong ada praktek pelacuran, baik di lokasi-lokasi
pelacuran, tempat hiburan, bar, café, panti pijat, penginapan, losmen, hotel
melati dan hotel berbintang?
Kalau
jawabannya TIDAK ADA, syukurlah. Berarti John benar karena risiko penyebaran
HIV melalui praktek pelacuran hanya ada pada pelacuran dengan PSJ di sepanjang
‘Tembok Berlin’.
Tapi,
kalau jawabannya ADA, maka tudingan terhadap PSJ hanyalah pengalihan untuk
menutupi praktek pelacuran yang ada dan sekaligus mencari ‘kambing hitam’.
Kalau
saja KPA Kota Sorong menerapkan program ‘wajib kondom 100 persen’ pada
laki-laki dewasa pada hubungan seksual dengan PSK, maka insiden infeksi HIV
baru akan turun sehingga penyebaran HIV pun bisa ditekan.
Tapi,
karena tidak ada program yang konkret, maka penyebaran HIV/AIDS di Kota Sorong
akan terus terjadi. Sampai Juli 2011 kasus kumulatif
HIV/AIDS di Kota Sorong mencapai 1.127 (www.jpnn.com, 14/9-2011).
John mengatakan: ”Saya sangat yakin sekali bahwa di situ pusat tempat transaksi seksual, walaupun mereka melakukannya dimana tetapi transaksinya dapat dilakukan di situ.”
Kalau
sinyalemen itu benar, lalu apa langkah konkret KPA untuk mencegah penularan HIV
dari laki-laki ke PSJ dan sebaliknya?
Ternyata
yang dilakukan bukan program penanggulangan, tapi John menyayangkan hingga saat
ini belum ada pihak-pihak yang ‘menggaruk’ pekerja seks jalanan yang diakuinya
juga marak di Kota Sorong.
Mengapa
John tidak membalik paradigma berpikir dalam menangani praktek pelacuran?
Kuncinya
ada pada laki-laki, maka ajaklah kaum laki-laki dewasa di Kota Sorong agar
menjaga penisnya dan tidak melacur dengan PSJ.
Masih menurut John: “Pernah dilakukan razia-razia, mereka ditangkap, dibina, lalu dilepas lagi. Menurut saya itu bukan menyelesaikan masalah.”
Ditangkap
atau tidak ditangkap persoalan ada pada laki-laki. Biar pun PSJ itu ditangkap
dan, maaf, dibuang ke laut tetap saja akan ada PSJ ‘baru’. Selain itu praktek
pelacuran pun terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Ini
pernyataan John lagi: ”Artinya kalau
tujuan kita memerangi epidemi HIV, kita harus rangkul mereka, bekali mereka
dengan pengetahuan dalam artian bahwa, kita tidak bisa melarang orang untuk
meninggalkan profesi, tetapi kita mendorong orang untuk harus merubah
perilakunya.”
Yang
disampaikan John itu tidak objektif karena hanya menyalahkan perempuan (baca:
PSJ). Padahal, persoalan utama ada pada laki-laki yang melacur. Kalau laki-laki
tidak bisa menghentikan kebiasaan melacur, maka lakukanlah dengan aman yaitu
memakai kondom.
Ketua Komisi B DPRD Kota Sorong, Abdul Muthalib, SE, berharap Pemkot dalam hal ini Satpol PP segera melakukan penertiban terutama menyangkut penerangan di kawasan Tembok tersebut.
Biar
pun kawasan ‘tembok berlin’ terang-benderang, PSJ bisa saja dibawa ke
penginapan, losmen atau hotel yang banyak di sekitar tempat itu. Maka, yang
perlu dilakukan adalah mengajak laki-laki dewasa agar tidak melacur atau
membeli seks ke PSJ.
Tanpa langkah yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK dan PSJ, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi di Kota Sorong.
Pemkot
Sorong tidak menunggu waktu saja untuk ‘panen AIDS’ karena penyebaran HIV/AIDS
di masyarakat merupakan ‘bom waktu’ yang akan bermuara pada ‘ledakan AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.