06 September 2012

Pekerja Seks Jalanan Marak di ‘Tembok Berlin’ di Kota Sorong, Papua Barat


Tanggapan Berita (7/9-2012) - Kaberadaan cafe remang-remang di sepanjang Tembok ‘Berlin’ juga mendapat perhatian dari Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPAD) Kota Sorong. Bahkan Sekretaris KPAD Kota, John Toisutta, mengkhawatirkan cafe remang-remang dimanfaatkan para pekerja seks jalanan (PSJ) untuk melakukan transkasi di tempat itu.” Ini lead berita “Pekerja Seks Jalanan Marak di Sorong” di www.jpnn.com (4/9-2012).

Persoalan bukan pada PSJ, tapi ada pada laki-laki yang ‘membeli’ seks dari PSJ. Risiko penyebaran IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, seperti sifilis/raja singa, GO/kencing nanah, virus hepatitis B, klamidia, jengger ayam, dll.) terjadi jika laki-laki yang ‘membeli’ seks kepada PSJ tidak memakai kondom.

Pertanyaan untuk John: Apakah KPA Kota Sorong mempunyai program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK), termasuk PSJ?

Nah, kalau jawabannya TIDAK ADA, maka lagi-lagi persoalan ada pada KPA bukan pada PSJ karena kuncinya ada pada laki-laki yang ‘membeli’ seks kepada PSJ.

Dalam Perda AIDS Kota Sorong pun sama sekali tidak ada langkah konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS (Lihat: Perda AIDS Kota Sorong, Papua Barat - http://www.aidsindonesia.com/2012/09/perda-aids-kota-sorong-papua-barat.html).

Pertanyaan selanjutnya, masih untuk John: Apakah selama ini di Kota Sorong ada praktek pelacuran, baik di lokasi-lokasi pelacuran, tempat hiburan, bar, café, panti pijat, penginapan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang?

Kalau jawabannya TIDAK ADA, syukurlah. Berarti John benar karena risiko penyebaran HIV melalui praktek pelacuran hanya ada pada pelacuran dengan PSJ di sepanjang ‘Tembok Berlin’.

Tapi, kalau jawabannya ADA, maka tudingan terhadap PSJ hanyalah pengalihan untuk menutupi praktek pelacuran yang ada dan sekaligus mencari ‘kambing hitam’.

Kalau saja KPA Kota Sorong menerapkan program ‘wajib kondom 100 persen’ pada laki-laki dewasa pada hubungan seksual dengan PSK, maka insiden infeksi HIV baru akan turun sehingga penyebaran HIV pun bisa ditekan.

Tapi, karena tidak ada program yang konkret, maka penyebaran HIV/AIDS di Kota Sorong akan terus terjadi. Sampai Juli 2011 kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Sorong mencapai 1.127 (www.jpnn.com, 14/9-2011).

John mengatakan: ”Saya sangat yakin sekali bahwa di situ pusat tempat transaksi seksual, walaupun mereka melakukannya dimana tetapi transaksinya dapat dilakukan di situ.”
Kalau sinyalemen itu benar, lalu apa langkah konkret KPA untuk mencegah penularan HIV dari laki-laki ke PSJ dan sebaliknya?

Ternyata yang dilakukan bukan program penanggulangan, tapi John menyayangkan hingga saat ini belum ada pihak-pihak yang ‘menggaruk’ pekerja seks jalanan yang diakuinya juga marak di Kota Sorong.

Mengapa John tidak membalik paradigma berpikir dalam menangani praktek pelacuran?

Kuncinya ada pada laki-laki, maka ajaklah kaum laki-laki dewasa di Kota Sorong agar menjaga penisnya dan tidak melacur dengan PSJ.

Masih menurut John: “Pernah dilakukan razia-razia, mereka ditangkap, dibina, lalu dilepas lagi. Menurut saya itu bukan menyelesaikan masalah.”

Ditangkap atau tidak ditangkap persoalan ada pada laki-laki. Biar pun PSJ itu ditangkap dan, maaf, dibuang ke laut tetap saja akan ada PSJ ‘baru’. Selain itu praktek pelacuran pun terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Ini pernyataan  John lagi: ”Artinya kalau tujuan kita memerangi epidemi HIV, kita harus rangkul mereka, bekali mereka dengan pengetahuan dalam artian bahwa, kita tidak bisa melarang orang untuk meninggalkan profesi, tetapi kita mendorong orang untuk harus merubah perilakunya.”

Yang disampaikan John itu tidak objektif karena hanya menyalahkan perempuan (baca: PSJ). Padahal, persoalan utama ada pada laki-laki yang melacur. Kalau laki-laki tidak bisa menghentikan kebiasaan melacur, maka lakukanlah dengan aman yaitu memakai kondom.

Ketua Komisi B DPRD Kota Sorong, Abdul Muthalib, SE, berharap Pemkot dalam hal ini Satpol PP segera melakukan penertiban terutama menyangkut  penerangan di kawasan Tembok tersebut. 

Biar pun kawasan ‘tembok berlin’ terang-benderang, PSJ bisa saja dibawa ke penginapan, losmen atau hotel yang banyak di sekitar tempat itu. Maka, yang perlu dilakukan adalah mengajak laki-laki dewasa agar tidak melacur atau membeli seks ke PSJ.

Tanpa langkah yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK dan PSJ, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi di Kota Sorong.

Pemkot Sorong tidak menunggu waktu saja untuk ‘panen AIDS’ karena penyebaran HIV/AIDS di masyarakat merupakan ‘bom waktu’ yang akan bermuara pada ‘ledakan AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.