Dikabarkan Kabupaten Badung dan Kota
Denpasar, keduanya di Prov Bali, dijadikan proyek percontohan dalam mencapai
program nol kasus baru HIV di Pulau Dewata.
Program itu tentu saja ‘punguk rindukan bulan’ karena hanya bisa ada di
alam mimpi. Untuk mencapai kondisi ‘nol kasus infeksi HIV baru’ adalah hal yang
mustahil.
Dengan kasus HIV/AIDS yang terus terdeteksi, terutama di kalangan ibu-ibu
rumah tangga dan ibu-ibu hamil, ’Pulau Dewata’ dikhawatirkan akan menjadi
’Pulau AIDS’. Laporan terakhir menyebutkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Prov
Bali sampai akhir
tahun 2011 terdeteksi 5.222.
Di Kota Denpasar dilaporkan kasus kumulatif HIV/AIDS tahun 1987 - 2012 mencapai
1.284. Sedangkan di Kab Badung sampai
Desember 2011 kasus kumulatif HIV/AIDS dilaporkan 744 terdiri atas 380 HIV dan 384 AIDS dengan 70 kematian.
Kasus yang dilaporkan itu hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di
masyarakat. Epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus
yang terdeteksi hanyalah bagian kecil, digambarkan sebagai puncak gunung es
yang muncul ke atas permukaan air laut, dari kasus yang ada di masyarakat, digambarkan
sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar 1).
Mengapa ’nol infeksi HIV baru’ mustahil?
Pertama, di Kab Badung
dan Kota Denpasar ada penduduk yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak
terdeteksi. Mereka ini bisa laki-laki atau perempuan. Laki-laki akan menjadi
mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk, terutama melalui
hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Yang perempuan akan
menularkan HIV kepada bayi yang dikandungnya secara vertikal (Lihat Gambar 2
dan 3).
Apakah Pemkab Badung dan Pemkot Denpasar bisa mendeteksi laki-laki dan
perempuan yang mengidap HIV/AIDS di masyarakat pada kondisi di atas.
Kalau jawabannya BISA, maka program ’nol infeksi HIV baru’ di Kab Badung
dan Kota Denpasar akan terwujud.
Tapi, kalau jawabannya TIDAK BISA, maka program ’nol infeksi HIV baru’ di
Kab Badung dan Kota Denpasar hanya mimpi. Ibarat punguk rindukan bulan.
Kedua, perempuan,
dalam hal ini ibu rumah tangga, yang mengidap HIV/AIDS akan menularkan HIV
kepada bayi yang dikandungnya.
Apakan ada program konkret yang dilakukan Pemkab Badung dan Pemkot Denpasar
untuk untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil?
Tidak ada! Maka, penularan HIV dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya akan
terus terjadi sehingga tidak mungkin lagi tercapai ’nol infeksi HIV baru’.
Ketiga, ada
penduduk Kab Badung dan Kota Denpasar yang akan atau sering melakukan perilaku
berisiko, yaitu (Lihat Gambar 4):
(a). Laki-laki dewasa yang melakukan
hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan perempuan
yang berganti-ganti di wilayah Kab Badung dan Kota Denpasar, di luar Kab Badung
dan Kota Denpasar atau di luar negeri.
(b). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual
tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti
pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe,
pub, tempat hiburan, panti pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen,
hotel melati dan hotel berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’,
’mahasiswi’, ’cewek SPG’, ’cewek cafe’, ’cewek pub’, ’cewek panti pijat’,
’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG’, ’pelacur kelas tinggi’, ’call girl’, dll.),
serta perempuan pelaku kawin-cerai di wilayah Kab Badung dan Kota Denpasar, di
luar Kab Badung dan Kota Denpasar atau di luar negeri.
(d) Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual, di
dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti tanpa kondom di
wilayah Kab Badung dan Kota Denpasar, di luar Kab Badung dan Kota Denpasar atau
di luar negeri (Gambar 5).
Apakah Pemkab Badung dan Pemkot Denpasar bisa melakukan intervensi terhadap
laki-laki dewasa dan perempuan dewasa pada kondisi ketiga?
Tentu saja tidak bisa!
Maka, adalah hal yang mustahil di
Kab Badung dan Kota Denpasar akan terwujud ‘nol infeksi HIV baru’.
Memang, di Pemkab Badung sudah menerbitkan peraturan daerah (perda) penanggulangan HIV/AIDS, tapi perda itu hanya berisi pasal-pasal normatif yang sama sekali tidak menyentuh akar persoalan (Lihat: Perda AIDS Kab Badung, Bali - http://www.aidsindonesia.com/2012/09/perda-aids-kab-badung-bali.html).
Kalau saja KPA Bali melihat fakta di dunia terkait dengan penanggulangan
HIV/AIDS, maka yang bisa terjadi bukan ’nol infeksi HIV baru’, tapi menurunkan
insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual. Ini
fakta.
Upaya untuk memutus mata rantai penularan HIV dari laki-laki lokal ke
pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung di dua daerah itu
juga tidak ada. Lihat saja sikap terhadap kafe.
Thailand sudah membuktikan penuruan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki
dewasa yaitu melalui program ’wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang
melakukan hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran atau rumah bordir.
Program itu mustahil dilakukan di Kab Badung dan Kota Denpasar karena
pemerintah di dua daerah itu tidak memberikan peluang untuk meregulasi
pelacuran yaitu dalam bentuk lokalisasi pelacuran. Ide untuk melokalisir
pelacuran di Kota Denpasar beberapa tahun yang lalu menuai penolakan dari
berbagai kelangan.
Apakah di Kab Badung dan Kota Denpasar tidak ada (praktek) pelacuran?
Pemkab Badung dan Pemkot Denpasar
bisa saja menepuk dada dan mengatakan: Tidak ada. Lho, koq, bisa? Ya, karena di
Kab Badung dan Kota Denpasar tidak ada lokalisasi pelacuran.
Tapi praktek pelacuran yang melibatkan PSK langsung dan PSK tidak langsung
tetap ada. Tapi, karena negeri ini selalu ingin menampilkan wajah moral maka
fakta terkait dengan (praktek) pelacuran sebagai realitas sosial pun diabaikan.
Pemprov Bali menutup sebuah lokalisasi pelacuran di Kota Denpasar, tapi
’wisma-wisma’ yang menjadi tempat (praktek) pelacuran tidak bisa ditutup karena
terkait dengan masalah sosial. Dikabarkan pemilik wisma-wisma itu mempunyai kedudukan
yang tinggi dalam tatanan masyarakat.
Disebutkan ada tujuh prioritas kegiatan, al. program pencegahan melalui
hubungan seksual (PMTS paripurna), dan penyelenggaraan program pencegahan dari-ibu-ke-bayi
yang dikandungnya (PMTCT).
Sampai hari ini program pencegahan melalui hubungan seksual di Indonesia
tidak realistis. Tidak ada sistem yang konkret untuk menjalankan program itu.
Program ini mengedepkan kondom. Sosialisasi kondom sebagai alat untuk mencegah
penularan HIV di Indonesia ditentang habis-habisan. Selain itu tidak ada pula
mekanisme yang konkret dalam pemantauan pemakaian kondom, terutama di
tempat-tempat pelacuran.
Sedangkan program pencegahan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya pun tidak
berjalan mulus karena tidak ada mekanisme yang konkret untuk mendeteksi
HIV/AIDS pada perempuan hamil.
Daripada membuat program di awang-awang akan jauh lebih baik kalau KPA Bali
menjalankan program ‘wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki dengan membuat
regulasi yaitu melokalisir pelacuran.
Sayang, program penanggulangan HIV/AIDS di negeri ini hanya mengedepankan
moral yang justru mengabaikan fakta. Kita tinggal menunggu waktu untuk ‘memanen
AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.