Oleh Syaiful W Harahap*
Catatan: Artikel ini dimuat di Harian “Jawa Pos”, 1 Desember
2008
Pemerintah Provinsi Jawa Timur menelurkan Perda No 5/2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Jawa Timur. Bagaimana sepak terjang perda itu dalam menanggulangi penyebaran HIV di Jawa Timur?
Sampai 30 Juni 2008, Depkes
melaporkan 1.225 kasus AIDS di Jawa Timur, 619 di antaranya terdeteksi di
kalangan pengguna narkoba, dan 323 kematian. Kasus-kasus HIV positif yang
terdeteksi merupakan infeksi baru setelah perda atau kasus infeksi sebelum
perda. Sedangkan kasus AIDS merupakan penularan HIV yang terjadi sebelum perda
disahkan.
Setelah kasus AIDS terdeteksi kali
pertama di Bali (1987), beberapa tahun kemudian Surabaya heboh karena seorang
pekerja seks komersial (PSK) di Dolly terdeteksi HIV positif. Ada dua
kemungkinan terkait dengan HIV di kalangan PSK.
Muspika Menyamar
Pertama, PSK yang terdeteksi HIV positif di Dolly tertular HIV dari laki-laki pelanggannya, penduduk lokal di Surabaya atau pendatang dari luar kota dan luar negeri. Jika itu yang terjadi, sudah ada laki-laki yang HIV positif di Surabaya.
Pengidap HIV tersebut tidak
terdeteksi karena tidak ada tanda, gejala, atau ciri-ciri yang khas AIDS pada
fisiknya sebelum masa AIDS (antara lima hingga sepuluh tahun setelah tertular
HIV). Tapi, pada kurun waktu itu, dia sudah bisa menularkan HIV kepada orang
lain melalui hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah.
Laki-laki yang menularkan HIV kepada
PSK dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai suami, pacar, atau selingkuhan
yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, pelajar, mahasiswa, pengusaha, pedagang,
sopir, nelayan, pengasong, rampok, dan lain-lain. Mereka itulah yang menjadi
mata rantai penyebaran HIV antar penduduk.
Berikutnya, laki-laki yang
berhubungan seks tanpa kondom dengan PSK yang sudah tertular HIV berisiko
tertular HIV. Jika tertular HIV, mereka pun akan jadi mata rantai penyebaran
HIV pula di masyarakat.
Kedua, PSK yang terdeteksi HIV
positif di Dolly sudah mengidap HIV sebelum praktik di Dolly. Kalau itu yang
terjadi, laki-laki yang berhubungan seks tanpa kondom dengan PSK di Dolly akan
berisiko tinggi tertular HIV. Laki-laki yang tertular HIV dari PSK akan menjadi
mata rantai penyebaran HIV antar penduduk.
Misalnya, yang beristri akan
menularkan HIV kepada istrinya atau kepada pasangan seks lainnya serta PSK lain
(horizontal). Kalau istrinya tertular, ada risiko penularan kepada bayi yang
dikandungnya kelak (vertikal).
Kasus HIV di kalangan PSK di Dolly
itu membuat aparat ”bak kebakaran jenggot”. Ada aparat muspika setempat yang
menyamar di malam hari mencari PSK yang terdeteksi HIV positif. Untuk apa
mereka mencari-cari PSK tersebut dengan menyamar? Ya, bisa jadi mereka ingin
memastikan siapa PSK yang terdeteksi HIV positif itu.
Karena HIV baru bisa terdeteksi
setelah tiga bulan terjadi penularan, sebelum PSK itu terdeteksi, sudah banyak
laki-laki yang tertular HIV. Itulah yang sering tidak disadari orang-orang.
Selama ini ada kesan bahwa seorang
PSK yang terdeteksi HIV positif ”diamankan” atau dipulangkan ke daerah asalnya,
persoalan pun selesai. Itu naif karena sebelum”diamankan”, dia sudah
berhubungan seks dengan banyak laki-laki.
Jadi, seandainya setiap bulan PSK
itu bekerja 20 hari, setiap malam meladeni tiga laki-laki hidung belang, selama
tiga bulan sudah ada 180 (20x3x3) laki-laki yang berisiko tertular HIV.
Laki-laki itulah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat. Itu
terjadi kalau di Dolly hanya satu PSK yang HIV positif. Jika yang HIV positif
lebih dari satu, jumlah laki-laki yang berisiko tertular HIV pun makin banyak.
Wajib
Kondom
Penularan HIV terjadi tanpa disadari karena banyak orang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Kapan sih seseorang berisiko tinggi tertular HIV? Setiap orang -laki-laki dan perempuan- yang pernah atau sering berhubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan seperti PSK adalah orang yang berisiko tinggi tertular HIV.
Jika sebuah perda diharapkan bisa
mengatasi penyebaran HIV, yang perlu diperhatikan adalah perilaku berisiko.
Tapi, karena semua perda AIDS yang ada di Indonesia mengedepankan norma, moral,
dan agama, upaya-upaya pencegahan yang ditawarkan pun tidak realistis.
Dalam Perda AIDS Jatim itu pun tidak
disebutkan cara-cara yang akurat dan realistis untuk mencegah penularan HIV. Padahal,
perda itu dibuat justru untuk mencegah dan menanggulangi (penyebaran) HIV/AIDS.
Yang ada hanya ditujukan kepada orang-orang yang sudah mengetahui dirinya HIV
positif, mereka dilarang menularkan HIV kepada orang lain (pasal 6). Fakta
menunjukkan, lebih dari 90 persen Odha (Orang dengan HIV/AIDS) tidak menyadari
dirinya sudah tertular HIV. Karena itu, banyak penularan terjadi tanpa disadari
oleh yang menularkan dan yang tertular. ***[AIDS
Watch Indonesia]***
*
Syaiful W Harahap, peneliti HIV/AIDS melalui LSM (media watch) “InfoKespro” Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.