Tanggapan Berita (16/9-2012) - ” .... DPRD Kota Semarang mulai mebahas rancangan Perda yang
diyakini mampu menekan angka penularan penyakit yang belum ditemukan obat
penawarnya itu.” Ini pernyataan di berita ”Penderita
HIV/AIDS Meningkat, Dinkes dan DPRD Kota Semarang Buat Perda” (www.jatengtime.com, 26/7-2012).
Disebutkan bahwa ”Perda yang
diyakini mampu menekan angka penularan penyakit yang belum ditemukan obat
penawarnya ...”
Kalau saja Dinkes Kota Semarang
dan DPRD Kota Semarang melihat fakta yaitu daerah-daerah yang sudah mempunyai
perda AIDS di sekeliling Kota Semarang, tentulah pernyataan itu tidak akan
muncul.
Di wilayah Jawa Tengah sudah
ada empat peraturan yang terkait dengan penanggulangan HIV/AIDS, yaitu
Peraturan Wikokta Surakarta (Lihat: http://www.aidsindonesia.com/2012/08/peraturan-walikota-surakarta-solo.html),
Perda AIDS Prov Jawa Tengah (Lihat: http://www.aidsindonesia.com/2012/08/perda-aids-provinsi-jawa-tengah.html),
Perda AIDS Kab Semarang (Lihat: http://www.aidsindonesia.com/2012/09/perda-aids-kab-semarang-prov-jawa-tengah.html),
dan Perda AIDS Kab Batang (Lihat: http://www.aidsindonesia.com/2012/09/perda-aids-kabupaten-batang-prov-jawa.html).
Apakah empat perda itu bisa
menekan angka penyebaran HIV/AIDS?
Tentu saja tidak (bisa)!
Soalnya, dalam perda-perda itu sama sekali tidak ada pasal yang konkret untuk
menanggulangi HIV/AIDS.
Yang bisa dilakukan secara
konkret adalah menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa
melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi
pelacuran. Dalam perda-perda itu sama sekali tidak ada program konkret yang
diterapkan di lokalisasi pelacuran. Bahkan, perda-perda itu mengabaikan lokasi
pelacuran yang ada di wilayah perda.
Disebutkan bahwa ”Tingginya
angka penularan virus HIV/AIDS di Kota Semarang, Jawa Tengah, akhir-akhir ini
membuat ke prihatinan berbagai pihak,tak terkecuali kalangan eksekutif dan
legislatif. Untuk mengurangi dampak penularan virus mematikan itu, Dinas
Kesehatan Kota Semarang mengajukan ke legislatif untuk membuat peraturan daerah
(Perda).”
Pertanyaan yang sangat mendasar
adalah:
(1) Apakah Dinas Kesehatan Kota
Semarang sudah membaca perda-perda yang ada di Jawa Tengah?
(2) Apakah rancangan perda yang
diajukan Dinas Kesehatan Kota Semarang berbeda dengan perda-perda yang sudah
ada?
(3) Apakah dalam perda yang
diajukan Dinas Kesehatan Kota Semarang itu ada pasal yang konkret untuk
menurunkan insiden infeksi HIV baru?
Kalau jawaban dari tiga
pertanyaan di atas tidak, maka perda itu pun kelak hanya copy-paste dari
perda-perda yang sudah ada. Maka, hasilnya pun nol besar.
Kasus HIV/AIDS di Kota Semarang
pada tahun 2008 tercatat 199 HIV dan 15 kasus AIDS, tahun 2009 terdeteksi 323
HIV dan 19 kasus AIDS, sedangkan tahun 2010 dilaporkan 287 HIV dan 61 AIDS,
pada tahun 2011 tercatat 409 HIV dan 49 AIDS.
Salam satu faktor risiko (media
penularan) penularan HIV/AIDS adalah hubungan seksual. Insiden infeksi HIV/AIDS
baru terus terjadi melalui hubungan seksual tanpa kondom terutama pada
laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK. Di Kota Semarang ada
lokalisasi pelacuran yaitu ’Sunan Kuning’.
Kalau perda itu kelak tidak
memuat program konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki
yang melacur di sana, maka penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi. Hal ini
dapat dilihat pada kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu rumah tangga.
Menurut Kadis Kesehatan, Dr.
Widoyono, MPh, pengajuan perda ini berkaitan semakin meningkatnya penderita
HIV/AIDS di Kota Semarang.
Tapi, kalau perda itu kelak
hanya copy-paste dari perda-perda yang sudah ada tentulah tidak bisa
menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di Kota Semarang.
Disebutkan
bahwa untuk menghambat korban penderita lainnya, Dinas Kesehatan Kota Semarang
saat ini menerapkan delapan program, yakni komunikasi perubahan perilaku,
penggunaan kondom 100 persen, klinik infeksi menular seksual, klinik VCT, CST
(pemberian dukungan dan pengobatan), layanan alat suntik steril dan terapi
dengan metadon, program pencegahan penularan dari ibu ke anak, serta program
pencegahan AIDS melalui transmisi seksual masih terus dilakukan.
Program
‘komunikasi perubahan perilaku’ membutuhkan waktu dan tidak ada jaminan akan
berhasil. Bahkan, selama program berjalan objek program tetap melakukan
perilaku berisiko tertular HIV/AIDS.
Terkait
dengan program ‘penggunaan kondom 100 persen’ tidak akan bisa diterapkan kalau
tidak ada lokalisasi pelacuran yang dibentuk berdasarkan regulasi formal.
Program ini diadopsi dari Thailand, tapi syarat utamanya adalah harus ada
lokalisasi pelacuran yang dibentuk berdasarkan regulasi formal sehingga germo
harus mempunyai izin usaha.
Sedangkan
program ‘pencegahan penularan dari ibu ke anak’ tidak akan efektif kalau tidak
ada langkah konkret berupa regulasi untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan
hamil.
Karena sudah ada 55 perda AIDS yang semuanya hanya copy-paste sehingga
Perda AIDS Kota Semarang pun kelak hanya copy-paste. Maka, penyebaran HIV/AIDS
akan terus terjadi yang kelak akan bermuara pada ‘ledakan AIDS’. ***[AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.