Liputan. “ …. tingginya
perkiraan tingkat penderita HIV/AIDS di Aceh disebabkan semakin terbukanya
daerah tersebut terhadap masyarakat luar yang datang dengan misi kemanusiaan
merehabilitasi Aceh pasca tsunami Desember 2004 lalu.” Ini pernyataan Direktur
UNAIDS perwakilan Indonesia, Jane Wilson, di Banda Aceh (3/12-2006) yang
diberitakan oleh Harian “Serambi
Indonesia”, Banda Aceh (4/12-2006).
Laporan terakhir
menyebutkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Aceh tercatat 120, sedangkan dalam
laporan Ditjen PP & PL Kemenkes RI tanggal 15 Agustus 2012 disebutkan kasus
65 HIV dan 99 AIDS yang bercokol pada peringat 26 dari 33 provinsi di
Indonesia.
Pernyataan
Jane Wilson itu menyesatkan karena ada beberapa fakta yang justru bertentangan
dengan pernyataan tersebut.
Pertama, sebelum
tsunami ada satu kasus HIV/AIDS yang terdeteksi. Penyebaran HIV/AIDS erat
kaitannya dengan fenomena gunung es, sehingga kemungkinan ada kasus yang tidak terdeteksi di
masyarakat. Kasus yang terdeteksi (1) digambarkan sebagai puncak gunung es yang
muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di
masyarakat digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut (Lihat
Gambar Fenomena Gunung Es)....
Ketiga, ada
kemungkinan orang-orang yang tertular HIV sebelum tsunami belum masuk masa AIDS
sehingga mereka tidak berobat ke puskesmas atau rumah sakit karena tidak ada
keluhan kesehatan.
Keempat,
sebelum tsunami kegiatan penyuluhan dan penjangkauan terhadap komunitas yang
perilakunya berisiko tidak ada.
Kelima, sebelum
tsunami fasilitas kesehatan terkait dengan konseling dan tes HIV tidak ada.
Sebaliknya,
setelah tsunami:
Keenam, mulai banyak
aktivitas penyuluhan dan penjangkauan terkait dengan HIV/AIDS yang dilakukan
oleh berbagai kalangan, seperti dinas kesehatan, LSM, serta pembentukan
komisi-komisi penanggulangan AIDS (KPA).
Ketujuh, penyebarluasan
informasi tentang HIV/AIDS mulai digencarkan.
Kedelapan, wartawan
dilatih untuk mengembangkan tulisan HIV/AIDS yang komprehensif. Kalangan LSM
pun dilatih untuk mendukung kerja wartawan. Selain itu dilatih pula beberapa
ustad untuk membuat ceramah dan khutbah dengan materi HIV/AIDS. Pelatihan-pelatihan
tersebut berlangsung beberapa kali yang didukung oleh MAP (Medan Aceh Partnership).
Kesembilan, fasilitas tes
HIV dengan konseling, dikenal sebagai Klinik VCT, mulai didirikan di beberapa
rumah sakit.
Kesepuluh, beberapa kasus
HIV/AIDS mulai terdeteksi di rumah sakit ketika mereka berobat karena keluhan
penyakit yang terkait dengan HIV/AIDS. Ada juga kasus yang dirujuk oleh
puskesmas di Aceh ke rumah sakit di Medan.
Celakanya,
pernyataan Jane Wilson itu menjadi ‘pegangan’ bagi sebagian besar masyarakat
Aceh sehingga membawa mereka kepada situasi yang menggiring mereka ke tepi
jurang. Soalnya, pernyataan itu disampaikan oleh ‘bule’ yang dianggap lebih
berkompeten. Pernyataan itu mengesankan kasus HIV/AIDS di Aceh terjadi setelah
tsunami (Desember 2004). HIV/AIDS dibawa oleh pendatang karena dikabarkan
setelah tsunami Aceh terbuka sehingga banyak yang datang ke Aceh.
Dalam “Laporan Survei Surveilans Perilaku
Berisiko Tertular HIV di Nanggroe Aceh Darussalam 2008” (Dinas Kesehatan
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam) disebutkan: “ …. data survei ini dapat
digunakan untuk mengetahui kecenderungan pengetahuan, sikap dan perilaku
masyarakat di Provinsi Nanggro Aceh Darussalam terhadap HIV-AIDS yang jumlah dan sebaran kasusnya meningkat pasca gempa bumi dan tsunami 26 Desember 2004 yang lalu."
Sebelum
tsunami pun Aceh bukan daerah tertutup karena ada mobilitas penduduk dari Aceh ke luar Aceh atau
dari luar Aceh ke Aceh melalui jalur darat dan udara.
Penduduk
Aceh pun ada yang bepergian ke luar Aceh, seperti ke Medan, Jakarta dan daerah
lain, serta menjadi menjadi TKI di luar negeri, terutama di Malaysia. Bisa saja
ada di antara mereka yang melakukan perilaku berisiko di luar Aceh atau di negara
tempat mereka bekerja sehingga ada kemungkinan tertular HIV. TKI yang tertular
HIV di luar Aceh akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di Aceh ketika mereka
pulang kampung.
Seorang
penduduk di sebuah kota di Kab Aceh Tengah dirujuk ke RS H Adam Malik di Medan,
Sumut, karena puskesmas setempat melihat penyakit yang diderita laki-laki itu
terkait dengan HIV/AIDS. Hasil tes HIV kemudian menunjukkan laki-laki itu
mengidap HIV/AIDS. Dia mengaku pernah merantau ke Jakarta.
Karena
informasi yang menyesatkan membuat sebagian masyarakat Aceh menganggap penduduk
Aceh tidak ada yang berisiko selama tidak ada kontak dengan pendatang. Seorang
peserta pelatihan di Banda Aceh mengatakan bahwa penduduk Aceh yang bekerja di
kantor-kantor donor asing berbahaya karena bisa tertular HIV/AIDS.
Kasus-kasus
HIV dan AIDS yang terdeteksi pasca tsunami umumnya diketahui di rumah sakit.
Penduduk yang sudah tertular HIV sebelum tsunami memasuki masa AIDS pasca
tsunami. Mereka itu berobat ke rumah sakit karena penyakit yang mereka derita
tidak sembuh biar pun sudah berobat ke puskesmas. Karena pasca tsunami tenaga
medis di rumah-rumah sakit di Aceh sudah diberi bekal tentang HIV dan AIDS maka
mereka bisa mendeteksi kasus HIV dan AIDS pada pasien yang berobat (Lihat
gambar 4).
Laki-laki
‘hidung belang’ penduduk setempat atau pendatang yang sudah mengidap HIV (ada
kemungkinan tertular di Aceh atau di luar Aceh) tapi tidak terdeteksi akan
menularkan HIV kepada PSK. Sebaliknya, laki-laki ‘hidung belang’ penduduk
setempat atau pendatang yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK
akan berisiko pula tertular HIV. Mereka itulah yang menjadi mata rantai
penyebaran HIV tanpa mereka sadari karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS
pada fisik mereka.
Persentase
Asal Pelanggan PSK di Kab Aceh Barat, Kab Aceh Tamiang, Kota Banda Aceh, dan
Kota Lholseumawe (Lihat Tabel I).
Data
menunjukkan 46 persen pelanggan PSK di empat daerah itu adalah penduduk
setempat. Tingkat risiko penyebaran HIV dari penduduk setempat ke PSK dan
sebaliknya tergantung pada tingkat pemakaian kondom.
Tingkat
penggunaan kondom pada hubungan seks terakhir dengan PSK di Kab Aceh Barat, Kab
Aceh Tamiang, Kota Banda Aceh, dan Kota Lholseumawe (Lihat Tabel II).
Data
survai menunjukkan laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak memakai kondom jika
melakukan hubungan seksual dengan PSK mencapai 69,6 persen. Ini angka yang
besar karena satu dari dua laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK
tidak memakai kondom. Kondisi ini akan mendorong penyebaran HIV secara
horizontal karena laki-laki ‘hidung belang’ itu bisa saja sebagai seorang
suami, pacar, selingkuhan, lajang, duda atau remaja. Mereka menularkan HIV
kepada istrinya atau pasangan seksnya serta PSK.
Risiko
penyebaran HIV di Aceh melalui hubungan seksual yang berisiko yaitu dilakukan
tanpa kondom dengan yang sering berganti-ganti pasangan, dalam hal ini PSK,
sangat tinggi karena pemakaian kondom secara konsisten sangat rendah.
Tingkat
penggunaan kondom yang konsisten pada PSK di Kab Aceh Barat, Kab Aceh Tamiang,
Kota Banda Aceh, dan Kota Lhokseumawe (Tabel III).
Data
survai menunjukkan laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak pernah memakai kondom
35,4 persen, sedangkan yang kadang-kadang memakai kondom 47,3 persen.
Informasi
perilaku berisiko yang disebarluaskan selama ini tidak komprehensif sehingga
banyak laki-laki ‘hidung belang’ yang tidak merasa dirinya berisiko tertular
HIV. Soalnya, dalam materi informasi HIV/AIDS yang disebarluaskan disebutkan:
perilaku berisiko tertular HIV adalah melakukan hubungan seksual tanpa kondom
dengan pasangan yang berganti-ganti.
Banyak
laki-laki ‘hidung belang’ yang mempunyai PSK sebagai pasangan tetap di lokasi
atau lokalisasi PSK terbuka atau terselubung. Di Pulau Jawa pacar atau ‘suami’
PSK dikenal sebagai ‘kiwir-kiwir’. Di kalangan PSK yang ‘beroperasi’ di Aceh
pun ada pacar atau pasangan tetap PSK.
Asal
pacar atau pasangan tetap PSK di Kab Aceh Barat, Kab Aceh Tamiang, Kota Banda
Aceh, dan Kota Lholseumawe (Lihat Tabel IV).

Karena
informasi yang disebarluaskan selama ini hanya menyebutkan perilaku berisiko
jika melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti, maka
‘pacar’ atau pasangan tetap PSK itu tidak merasa berisiko sehingga mereka tidak
memakai kondom. Ini meningkatkan risiko penularan dari dan ke PSK.
Tingkat penggunaan kondom pada
pacar PSK di Kab Aceh Barat, Kab Aceh Tamiang, Kota Banda Aceh, dan Kota
Lhokseumawe (Lihat Tabel V).
Lagi-lagi
data survai menunjukkan 78,4 persen ‘pacar’ atau pasangan tetap PSK tidak
memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual.
Risiko
tertular HIV dapat juga dilihat dari tingkat insiden IMS (infeksi menular
seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual tanpa
kondom di dalam dan di luar nikah, seperti GO (kencing nanah), sifilis (raja
singa), klamidia, hepatitis B, dan lainnya) di kalangan PSK. Jika PSK terdeteksi
mengidap IMS maka risiko tertular HIV kian besar. Maka, ada kemungkinan PSK
yang mengidap IMS juga sekaligus mengidap HIV. Akibatnya, laki-laki ‘hidung
belang’ yang tertular IMS dari PSK bisa jadi sekaligus juga tertular HIV.
Persentase
PSK yang pernah mengalami gejala IMS di Kab Aceh Barat, Kab Aceh Tamiang, Kota
Banda Aceh, dan Kota Lhokseumawe (Tabel VI).
Data menunjukkan ada 35 persen
PSK yang pernah terdeteksi menunjukkan gejala IMS. Jika laki-laki ‘hidung
belang’ tidak memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK maka
mereka berisiko tertular IMS, bahkan sekaligus HIV kalau PSK itu mengidap HIV
pula.
Bisa saja terjadi laki-laki
‘hidung belang’ penduduk setempat dan pendatang tidak melakukan perilaku
berisiko di Aceh, tapi ke Medan. Di Medan pun ternyata perbandingan antara yang
mengidap IMS dan tidak mengidap IMS di kalangan PSK juga tinggi. Kondisi ini
meningkatkan risiko penularan IMS dan sekaligus HIV pada laki-laki ‘hidung
belang’ asal Aceh yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK di Medan.
Bahkan, prevalensi IMS di
kalangan PSK tidak langsung juga tinggi. PSK tidak langsung adalah PSK tidak
langsung (seperti, ’cewek bar’, ’cewek kampus’, ’anak sekolah’, WIL,
’selingkuhan’, gundik, ’ibu-ibu rumah tangga’, perempuan pemijat di panti pijat
plus-plus, dan lainnya) serta pelaku kawin-cerai.
Prevalensi IMS pada kalangan PSK langsung adan PSK tidak langsung di Sumatra Utara, 2007 (Lihat Tabel VII).

Sudah saatnya paradigma
penanggulangan epidemi HIV dibalik yaitu meningkatkan pemahaman kepada
laki-laki yang cenderung sebagai ‘hidung belang’ agar menghindari perilaku
berisiko. Tidak lagi menjadikan PSK sebagai ‘sasaran tembak’ yang empuk karena
risiko penyebaran HIV justru ada juga di kalangan PSK tidak langsung. (lihat
gambar)
Pelacuran terjadi karena ada
permintaan dan ada pula pasokan. Dua sudut ini tidak akan bisa dihentikan
karena menyebar di dunia. Tapi, di sudut lain ada sisi yang bisa disentuh yaitu
meningkatkan kesadaran masyarakat agar tidak melakukan perilaku yang berisiko tertular
HIV. ***[Syaiful W. Harahap/AIDS Watch Indonesia]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.