02 September 2012

“Menembak” PSK di Perda AIDS Kab Merauke, Papua



* Perda yang diskriminatif berpotensi melanggar HAM

Media Watch. Pemkab Merauke, Prov Papua, menelurkan Peraturan Daerah (Perda) No 5 Tahun 2003 tanggal 27 September 2003 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficency Syndrome (HIV/AIDS dan Infeksi Menular Seksual (IMS). Ini perda kedua dari 55 perda AIDS yang ada di Nusantara.

Laporan terakhir, Juni 2012, menunjukkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Merauke mencapai 1.464, yang terdiri atas perempuan 713 atau 48,5 persen, laki-laki 705 (48,2%) dan tidak diketahui 46 atau 3,3 persen. Sedangkan kasus pada anak usia di bawah lima tahun tercatat 38  (id.berita.yahoo.com, 13/8-2012).

Perda ini merupakan ‘turunan’ dari ‘Program 100 Persen Kondom’ di Thailand karena hanya mengatur penggunaan kondom. Program ini berhasil menurunkan insiden infeksi HIV baru di kalangan pelanggan pekerja seks komersial (PSK) di Thailand karena dijalankan dengan cara yang konkret dan sistematis.

‘Penjaja Seks’
Dalam Perda AIDS Merauke PSK disebut sebagai ‘penjaja seks komersial’. Penggunaan kata ‘penjaja’ kepada pekerja seks pada kata ‘penjaja seks komersial’ tidak objektif karena PSK tidak menjajakan seks (diri). Menjajakan berarti berkeliling untuk menjual barang dagangan dengan cara menawar-nawarkan. Yang sudah baku adalah PSK yang merupakan terjemahan dari commercial sex worker yang dikenal secara internasional. Pemakaian istilah PSK tidak mengacu ke ranah moral, tapi realitas sosial terkait dengan (pilihan) pekerjaan...

Apakah pekerja seks berkeliling menawar-nawarkan ‘barang dagangan’-nya? Tentu saja tidak. Lagi pula yang ‘dijual’ PSK bukan barang tapi pelayanan (jasa). Pelanggan tidak membawa pulang ‘barang’ PSK biar pun pelanggan sudah membayarnya. Yang mendatangi PSK adalah laki-laki sehingga kata penjaja tidak tepat diberikan kepada PSK (Lihat: Materi KIE HIV/AIDS yang Merendahkan Harkat dan Martabat Manusia - http://www.aidsindonesia.com/2012/09/materi-kie-hivaids-yang-merendahkan.html). 

Penggunaan kata ‘penjaja seks’ merupakan salah satu bentuk pemberian cap buruk (stigmatisasi) terhadap pekerja seks dan merendahkan harkat martabat sebagai manusia. Kata ‘penjaja seks komersial’ mengesankan PSK berkeliling menggoda laki-laki dengan menawar-nawarkan ‘barang’nya. Hal ini menyudutkan dan memojokkan PSK (baca: perempuan) dan bias gender. Yang terjadi justru laki-laki yang mendatangi PSK.

Pada pasal 1 ayat l disebutkan ‘Penjaja seks adalah seorang laki-laki, perempuan atau waria yang menyediakan dirinya untuk melakukan hubungan seks dengan mendapat imbalan’. Rumusan ini pun merendahkan martabat pekerja seks. Apakah semudah itu mendapatkan (seks) dari mereka?

Pada pasal 4 ayat a disebutkan “Setiap penjaja seks komersial wajib menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual.”

Kalau penjaja seksnya laki-laki tentu saja masuk akal.

Nah, kalau penjaja seksnya perempuan? Apakah di Merauke sudah tersedia kondom (untuk) perempuan? Kalau ada ya tidak masalah. Tapi, kalau tidak ada tentulah persoalan besar bagi PSK perempuan.

Kalau perda ini dirancang dengan pijakan fakta, maka pasal 4 ayat a itu berbunyi: “Setiap laki-laki wajib memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.”

Nah, itu baru faktual dan bisa diterapkan dengan konkret.

Pada pasal 4 ayat b disebutkan: “Memeriksakan diri sekurang-kurangnya satu kali dalam 1 (satu) bulan terhadap penyakit Human Imunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) dan Infeksi Menular Seksual (IMS) pada klinik reproduksi Merauke, Puskesmas, RSUD atau tempat lain yang ditetapkan oleh Pemerintah.”

Ada beberapa hal yang luput dari perhatian yang merancang pasal ini, yaitu:

Pertama, kapan seorang PSK (harus) memeriksakan diri terhadap infeksi HIV? Pertanyaan ini erat kaitannya dengan pemahaman yang komprehensif terhadap HIV/AIDS. Jika tes HIV dilakukan dengan rapid test atau dengan reagen ELISA, maka ada masa jendela yaitu antara tertular HIV sampai dengan tiga bulan. Pada masa jendela ini rapid test dan ELISA tidak bisa mendeteksi antibody HIV karena belum terbentuk di dalam darah. Maka, hasilnya bisa negatif palsu (HIV sudah ada di dalam darah tapi tidak terdeteksi karena masa jendela) atau positif palsu (HIV tidak ada dalam darah tapi hasil tes reaktif).

Positif palsu menimbulkan dampak buruk bagi PSK. Mereka dilarang bekerja dan akan mendapat perlakuan yang tidak adil, stigmatitasi dan diskriminasi serta sanksi hukum. Padahal, bisa jadi mereka tidak tertular. Bahkan, bisa jadi mereka dikucilkan atau dibuang mucikari.

Sedangkan negatif palsu menimbulkan bencana bagi pelanggan laki-laki yang tidak mau memakai kondom karena ada kemungkinan yang terdeteksi negatif palsu justru sudah tertular HIV. Laki-laki pun enggan memakai kondom karena PSK dinyatakan HIV-negatif (palsu).

Yang jadi persoalan besar justru laki-laki karena ada kemungkinan yang menularkan HIV dan IMS atau dua-duanya ke PSK adalah laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa kondom.

Sanksi dan Denda

Kedua, dalam kurun waktu satu bulan seorang PSK yang sudah tertular HIV tentulah sudah menularkannya kepada banyak laki-laki yang mengencaninya tanpa kondom. Andaikan satu bulan seorang PSK bekerja 20 hari dan setiap malam melayani 3 (tiga) laki-laki maka ada 60 laki-laki yang berisiko tertular HIV.

Celakanya, dalam perda tdak ada pasal yang memberikan langkah konkret secara sistematis untuk mendeteksi IMS dan HIV pada kalangan tertentu yang menjadi pelanggan PSK.

Sanksi hukum terhadap PSK yang terdeteksi HIV-positif (palsu) dan dan mengidap IMS merupakan salah satu bentuk diskriminasi karena bisa saja mereka ditulari oleh laki-laki.

Terkait dengan sanksi pidana pada pasal 12 ayat (1) disebutkan: ”Setiap Penjaja Seks Komersial, Pelanggan, Mucikari, Pengelola Bar dan Pramuria yang dengan sengaja melanggar Ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Daerah ini dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan dan denda paling banyak Rp 5.000.000,- ( Lima juta rupiah).”

Tapi, dalam prakteknya yang sudah diseret ke meja hijau hanya PSK, sedangkan laki-laki yang justru menulakan IMS kepada PSK lolos dari jeratan hukum. Pemkab Merauke dan laki-laki yang menularkan IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus kepada PSK boleh saja membusungkan dada, tapi tanpa disadari mereka akan menyebarkan HIV secara horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga dan anak-anak menunjukkan yang menularkan IMS dan HIV kepada ibu-ibu rumah tangga itu adalah laki-laki yang lolos dari jeratan hukum.

Maka, kalau ada PSK yang terdeteksi HIV-positif atau mengidap IMS atau dua-duanya sekaligus maka yang perlu diperhatikan adalah laki-laki lokal, asli atau pendatang, karena merekalah pelanggan utama PSK. Terkait dengan hal ini ada  dua kemungkinan, yaitu:

(1)  Kemungkinan laki-laki lokallah, asli atau pendatang, yang menularkan HIV dan IMS kepada PSK. Ini menunjukkan di masyarakat Merauke ada laki-laki lokal, asli atau pendatang, yang mengidap IMS atau HIV atau dua-duanya. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki yang menularkan IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus kepada PSK menjadi mata rantai penyebaran IMS dan HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

(2) Kemungkinan PSK baru (tapi stok lama) yang beroperasi di Merauke sudah tertular IMS dan HIV ketika tiba di Merauke. Maka, laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK tanpa kondom berisiko tertular IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki yang tertular  IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus dari PSK menjadi mata rantai penyebaran IMS dan HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Kedua kemungkinan ini sama-sama berdampak buruk terhadap kesehatan masyarakat lokal, terutama ibu-ibu rumah tangga, karena ada risiko tertular IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus dari suaminya dalam ikatan pernikahan yang sah.

Memakai kondom untuk melindungi diri merupakan suatu sikap yang bertolak dari pemahaman yang komprehensif terhadap risiko tertular HIV. Pemakaian kondom dipaksakan melalui peraturan tanpa mekanisme yang sistematis akan menimbulkan pelanggaran karena cara pengawasan yang tidak mudah.

Dalam perda disebutkan bahwa pengawasan dilakukan melalui “ …. sekurang-kurangnya 1 (satu) bulan sekali mengawasi program penggunaan kondom melalui kotak monitor penggunaan kondom dan pemasaran kondom.”

Apakah cara ini efektif? Tentu saja tidak. Soalnya, bisa saja bungkus kondom berserakan tapi kondomnya tidak dipakai oleh laki-laki ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Posisi tawar PSK yang sangat lemah juga membuat mereka tidak bisa menolak ajakan laki-laki untuk melakukan hubungan seksual tanpa kondom karena diiming-imingi dengan tambahan uang dari tarif resmi. Ada juga laki-laki yang memakai tangan germo untuk memaksa PSK meladeninya tanpa kondom.  Hal ini tidak muncul dalam perda sehingga yang menjadi korban hanya PSK.

Jika pemberian sanksi yang hanya dilakukan terhadap PSK merupakan diskriminasi (perlakuan berbeda) yang merupakan perbuatan melawan hukum dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM).

Kondom Berpori

Ada asumsi (moral) yang salah yaitu anggapan bahwa kondom akan mendorong orang untuk berzina. Ini ngawur karena pezina dan laki-laki ‘hidung belang’ enggan memakai kondom karena repot, tidak nyaman dan tidak nikmat. Maka, upaya untuk memaksa laki-laki memakai kondom bukanlah pekerjaan yang mudah.

Biar pun ada ancaman hukuman jika tidak memakai kondom, tapi laki-laki akan mencari cara untuk menghindar dari peraturan karena berkencan dengan PSK adalah untuk bersenang-senang. Memakai kondom mengurangi kenikmatan. Maka, mereka pun tidak memakai kondom agar bisa bersenang-senang. Ini terjadi karena pemahanan terhadap HIV/AIDS tidak komprehensif sehingga mereka mengababaikan keselamatan.

Selama ini banyak mitos (anggapan yang salah) tentang kondom yang terlanjur berkembang di masyarakat yaitu kondom berpori sehingga bisa ditembus HIV.

Celakanya, media massa pun ikut menyuburkan mitos ini dengan menggiring masyarakat melalui pernyataan yang dikutip wartawan dari pakar yang membalut lidahnya dengan norma, moral dan agama. Padahal, HIV/AIDS dan kondom adalah fakta medis artinya dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran.

Tapi, karena mitos kondom berpori sudah subur di masyarakat maka semua upaya untuk memberikan fakta tentang kondom pun buyar.

Kondom berpori memang ada tapi yang terbuat dari usus binatang. Kondom jenis ini tidak ada di Indonesia. Harga kondom ini di Amerika Serikat, misalnya, sekitar 3 dolar atau Rp 27.000. Harga ini tentu saja mahal bagi sebagian besar pelanggan PSK.

Kondom yang ada di Indonesia adalah kondom yang terbuat dari lateks sehingga tidak berpori-pori. Pembuktiannya sangat mudah. Kondom ditiup,. Biar kan berapa hari. Ternyata kondom tidak kempes. Tapi, karena sudah ada mitos kon-dom berpori maka sa-ngat sulit untuk mem-berikan fakta tentang kondom lateks yang tidak berpori.

Menjadikan kondom sebagai salah satu alat untuk melindungi ma-syarakat pun lagi-lagi buyar karena kondom dibenturkan ke norma, moral dan agama dengan mengatakan bahwa kondom mendorong orang untuk berzina atau melacur.

Ada anggapan di segelintir orang bahwa kegiatan yang ‘merangkul’ PSK sebagai kegiatan untuk melindungi mereka. Ini salah karena dalam kaitan penyebaran IMS dan HIV yang dapat ‘dipegang’ adalah PSK. Sedangkan para ‘hidung belang’ sulit ditangani.

Apakah asumsi yang mengatakan kondom mendorong orang untuk berzina atau melacur terbukti secara empiris? Tentu saja tidak karena para pezina justru enggan memakai kondom karena mengurangi kenikmatan. Sayang, fakta ini tidak pernah muncul sehingga tidak ada perimbangan informasi.

Karena mitos kondom sudah memasyarakat maka orang pun enggan untuk berurusan dengan kondom. Coba lihat wajah karyawan apotek kalau kita membeli kondom. Mereka langsung senyum-senyum. Padahal, orang yang membeli kondom tidak otomatis dipakai untuk berzina atau melacur. Entah apa yang ada di benak mereka. Akibatnya, banyak orang yang enggan membeli kondom.

Ada upaya untuk mendekatkan kondom kepada orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular HIV dan IMS dengan memasang mesin kondom (di masyarakat dikenal sebagai ‘ATM Kondom’). Tapi, lagi-lagi protes atas nama moral dan agama menentang ‘ATM Kondom’ datang bertubi-tubi.

Memasyarakatkan kondom bagi orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular IMS dan HIV atau dua-duanya sekaligus merupakan upaya untuk memutus mata rantai penyebaran IMS dan HIV ke masyarakat. Laki-laki pelanggan PSK, yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai suami, pacar, PIL (pria idaman lain), remaja atau duda bisa menjadi mata rantai penyebaran HIV.

Kalau ‘hidung belang’ enggan memakai kondom ketika kencan dengan PSK dianjurkan agar memakai kondom jika melakukan hubungan seks dengan istri, pacar atau WIL (wanita idaman lain). Ini untuk memutus mata rantai penyebaran IMS dan HIV.  ***[AIDS Watch Indonesia/ Syaiful W. Harahap]***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.