* Perda yang diskriminatif
berpotensi melanggar HAM
Media Watch. Pemkab
Merauke, Prov Papua, menelurkan Peraturan Daerah (Perda) No 5 Tahun 2003
tanggal 27 September 2003 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Human
Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficency Syndrome (HIV/AIDS dan Infeksi
Menular Seksual (IMS). Ini perda kedua dari 55 perda AIDS yang ada di
Nusantara.
Laporan
terakhir, Juni 2012, menunjukkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Kab Merauke
mencapai 1.464, yang terdiri atas perempuan 713 atau 48,5 persen, laki-laki 705
(48,2%) dan tidak diketahui 46 atau 3,3 persen. Sedangkan kasus pada anak usia di
bawah lima tahun tercatat 38 (id.berita.yahoo.com,
13/8-2012).
Perda
ini merupakan ‘turunan’ dari ‘Program 100 Persen Kondom’ di Thailand karena
hanya mengatur penggunaan kondom. Program ini berhasil menurunkan insiden infeksi
HIV baru di kalangan pelanggan pekerja seks komersial (PSK) di Thailand karena
dijalankan dengan cara yang konkret dan sistematis.
‘Penjaja Seks’
Dalam
Perda AIDS Merauke PSK disebut sebagai ‘penjaja seks komersial’. Penggunaan
kata ‘penjaja’ kepada pekerja seks pada kata ‘penjaja seks komersial’ tidak
objektif karena PSK tidak menjajakan seks (diri). Menjajakan berarti
berkeliling untuk menjual barang dagangan dengan cara menawar-nawarkan. Yang
sudah baku adalah PSK yang merupakan terjemahan dari commercial sex worker yang
dikenal secara internasional. Pemakaian istilah PSK tidak mengacu ke ranah
moral, tapi realitas sosial terkait dengan (pilihan) pekerjaan...
Apakah
pekerja seks berkeliling menawar-nawarkan ‘barang dagangan’-nya? Tentu saja
tidak. Lagi pula yang ‘dijual’ PSK bukan barang tapi pelayanan (jasa).
Pelanggan tidak membawa pulang ‘barang’ PSK biar pun pelanggan sudah
membayarnya. Yang mendatangi PSK adalah laki-laki sehingga kata penjaja tidak
tepat diberikan kepada PSK (Lihat: Materi
KIE HIV/AIDS yang Merendahkan Harkat dan Martabat Manusia - http://www.aidsindonesia.com/2012/09/materi-kie-hivaids-yang-merendahkan.html).
Penggunaan
kata ‘penjaja seks’ merupakan salah satu bentuk pemberian cap buruk
(stigmatisasi) terhadap pekerja seks dan merendahkan harkat martabat sebagai
manusia. Kata ‘penjaja seks komersial’ mengesankan PSK berkeliling menggoda
laki-laki dengan menawar-nawarkan ‘barang’nya. Hal ini menyudutkan dan
memojokkan PSK (baca: perempuan) dan bias gender. Yang terjadi justru laki-laki
yang mendatangi PSK.
Pada
pasal 1 ayat l disebutkan ‘Penjaja seks adalah seorang laki-laki, perempuan
atau waria yang menyediakan dirinya untuk melakukan hubungan seks dengan
mendapat imbalan’. Rumusan ini pun merendahkan martabat pekerja seks. Apakah
semudah itu mendapatkan (seks) dari mereka?
Pada
pasal 4 ayat a disebutkan “Setiap penjaja seks komersial wajib menggunakan
kondom saat melakukan hubungan seksual.”
Kalau
penjaja seksnya laki-laki tentu saja masuk akal.
Nah,
kalau penjaja seksnya perempuan? Apakah di Merauke sudah tersedia kondom
(untuk) perempuan? Kalau ada ya tidak masalah. Tapi, kalau tidak ada tentulah
persoalan besar bagi PSK perempuan.
Kalau perda ini dirancang dengan pijakan fakta, maka pasal 4 ayat a
itu berbunyi: “Setiap laki-laki wajib memakai kondom ketika melakukan hubungan
seksual dengan PSK.”
Nah, itu baru faktual dan bisa diterapkan dengan
konkret.
Pada
pasal 4 ayat b disebutkan: “Memeriksakan diri sekurang-kurangnya satu kali
dalam 1 (satu) bulan terhadap penyakit Human Imunodeficiency Virus/Acquired
Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) dan Infeksi Menular Seksual (IMS) pada
klinik reproduksi Merauke, Puskesmas, RSUD atau tempat lain yang ditetapkan
oleh Pemerintah.”
Ada
beberapa hal yang luput dari perhatian yang merancang pasal ini, yaitu:
Pertama, kapan seorang
PSK (harus) memeriksakan diri terhadap infeksi HIV? Pertanyaan ini erat
kaitannya dengan pemahaman yang komprehensif terhadap HIV/AIDS. Jika tes HIV
dilakukan dengan rapid test atau dengan reagen ELISA, maka ada masa jendela
yaitu antara tertular HIV sampai dengan tiga bulan. Pada masa jendela ini rapid
test dan ELISA tidak bisa mendeteksi antibody HIV karena belum terbentuk di
dalam darah. Maka, hasilnya bisa negatif palsu (HIV sudah ada di dalam darah
tapi tidak terdeteksi karena masa jendela) atau positif palsu (HIV tidak ada
dalam darah tapi hasil tes reaktif).
Positif
palsu menimbulkan dampak buruk bagi PSK. Mereka dilarang bekerja dan akan
mendapat perlakuan yang tidak adil, stigmatitasi dan diskriminasi serta sanksi
hukum. Padahal, bisa jadi mereka tidak tertular. Bahkan, bisa jadi mereka
dikucilkan atau dibuang mucikari.
Sedangkan
negatif palsu menimbulkan bencana bagi pelanggan laki-laki yang tidak mau
memakai kondom karena ada kemungkinan yang terdeteksi negatif palsu justru
sudah tertular HIV. Laki-laki pun enggan memakai kondom karena PSK dinyatakan
HIV-negatif (palsu).
Yang
jadi persoalan besar justru laki-laki karena ada kemungkinan yang menularkan
HIV dan IMS atau dua-duanya ke PSK adalah laki-laki yang melakukan hubungan
seksual dengan PSK tanpa kondom.
Sanksi dan Denda
Kedua, dalam kurun
waktu satu bulan seorang PSK yang sudah tertular HIV tentulah sudah
menularkannya kepada banyak laki-laki yang mengencaninya tanpa kondom. Andaikan
satu bulan seorang PSK bekerja 20 hari dan setiap malam melayani 3 (tiga)
laki-laki maka ada 60 laki-laki yang berisiko tertular HIV.
Celakanya,
dalam perda tdak ada pasal yang memberikan langkah konkret secara sistematis
untuk mendeteksi IMS dan HIV pada kalangan tertentu yang menjadi pelanggan PSK.
Sanksi
hukum terhadap PSK yang terdeteksi HIV-positif (palsu) dan dan mengidap IMS
merupakan salah satu bentuk diskriminasi karena bisa saja mereka ditulari oleh
laki-laki.
Terkait dengan sanksi pidana
pada pasal 12 ayat (1) disebutkan: ”Setiap Penjaja Seks Komersial, Pelanggan,
Mucikari, Pengelola Bar dan Pramuria yang dengan sengaja melanggar Ketentuan-ketentuan
dalam Peraturan Daerah ini dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 bulan
dan denda paling banyak Rp 5.000.000,- ( Lima juta rupiah).”
Tapi, dalam prakteknya yang
sudah diseret ke meja hijau hanya PSK, sedangkan laki-laki yang justru
menulakan IMS kepada PSK lolos dari jeratan hukum. Pemkab Merauke dan laki-laki
yang menularkan IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus kepada PSK boleh saja
membusungkan dada, tapi tanpa disadari mereka akan menyebarkan HIV secara
horizontal di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di
dalam dan di luar nikah.
Kasus HIV/AIDS pada ibu rumah
tangga dan anak-anak menunjukkan yang menularkan IMS dan HIV kepada ibu-ibu
rumah tangga itu adalah laki-laki yang lolos dari jeratan hukum.
Maka,
kalau ada PSK yang terdeteksi HIV-positif atau mengidap IMS atau dua-duanya
sekaligus maka yang perlu diperhatikan adalah laki-laki lokal, asli atau
pendatang, karena merekalah pelanggan utama PSK. Terkait dengan hal ini ada dua kemungkinan, yaitu:
(1)
Kemungkinan laki-laki lokallah, asli
atau pendatang, yang menularkan HIV dan IMS kepada PSK. Ini menunjukkan di
masyarakat Merauke ada laki-laki lokal, asli atau pendatang, yang mengidap IMS
atau HIV atau dua-duanya. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki yang menularkan
IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus kepada PSK menjadi mata rantai
penyebaran IMS dan HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa
kondom di dalam dan di luar nikah.
(2)
Kemungkinan PSK baru (tapi stok lama) yang beroperasi di Merauke sudah tertular
IMS dan HIV ketika tiba di Merauke. Maka, laki-laki yang melakukan hubungan
seksual dengan PSK tanpa kondom berisiko tertular IMS atau HIV atau dua-duanya
sekaligus. Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki yang tertular IMS atau HIV atau dua-duanya sekaligus dari
PSK menjadi mata rantai penyebaran IMS dan HIV di masyarakat, terutama melalui
hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Kedua
kemungkinan ini sama-sama berdampak buruk terhadap kesehatan masyarakat lokal,
terutama ibu-ibu rumah tangga, karena ada risiko tertular IMS dan HIV atau
dua-duanya sekaligus dari suaminya dalam ikatan pernikahan yang sah.
Memakai
kondom untuk melindungi diri merupakan suatu sikap yang bertolak dari pemahaman
yang komprehensif terhadap risiko tertular HIV. Pemakaian kondom dipaksakan
melalui peraturan tanpa mekanisme yang sistematis akan menimbulkan pelanggaran
karena cara pengawasan yang tidak mudah.
Dalam
perda disebutkan bahwa pengawasan dilakukan melalui “ …. sekurang-kurangnya 1
(satu) bulan sekali mengawasi program penggunaan kondom melalui kotak monitor
penggunaan kondom dan pemasaran kondom.”
Apakah
cara ini efektif? Tentu saja tidak. Soalnya, bisa saja bungkus kondom
berserakan tapi kondomnya tidak dipakai oleh laki-laki ketika melakukan
hubungan seksual dengan PSK.
Posisi
tawar PSK yang sangat lemah juga membuat mereka tidak bisa menolak ajakan
laki-laki untuk melakukan hubungan seksual tanpa kondom karena diiming-imingi
dengan tambahan uang dari tarif resmi. Ada juga laki-laki yang memakai tangan
germo untuk memaksa PSK meladeninya tanpa kondom. Hal ini tidak muncul dalam perda sehingga
yang menjadi korban hanya PSK.
Jika
pemberian sanksi yang hanya dilakukan terhadap PSK merupakan diskriminasi
(perlakuan berbeda) yang merupakan perbuatan melawan hukum dan pelanggaran
terhadap hak asasi manusia (HAM).
Kondom Berpori
Ada
asumsi (moral) yang salah yaitu anggapan bahwa kondom akan mendorong orang
untuk berzina. Ini ngawur karena pezina dan laki-laki ‘hidung belang’ enggan
memakai kondom karena repot, tidak nyaman dan tidak nikmat. Maka, upaya untuk
memaksa laki-laki memakai kondom bukanlah pekerjaan yang mudah.
Biar
pun ada ancaman hukuman jika tidak memakai kondom, tapi laki-laki akan mencari
cara untuk menghindar dari peraturan karena berkencan dengan PSK adalah untuk
bersenang-senang. Memakai kondom mengurangi kenikmatan. Maka, mereka pun tidak
memakai kondom agar bisa bersenang-senang. Ini terjadi karena pemahanan terhadap
HIV/AIDS tidak komprehensif sehingga mereka mengababaikan keselamatan.

Celakanya,
media massa pun ikut menyuburkan mitos ini dengan menggiring masyarakat melalui
pernyataan yang dikutip wartawan dari pakar yang membalut lidahnya dengan
norma, moral dan agama. Padahal, HIV/AIDS dan kondom adalah fakta medis artinya
dapat diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran.
Tapi,
karena mitos kondom berpori sudah subur di masyarakat maka semua upaya untuk
memberikan fakta tentang kondom pun buyar.
Kondom
berpori memang ada tapi yang terbuat dari usus binatang. Kondom jenis ini tidak
ada di Indonesia. Harga kondom ini di Amerika Serikat, misalnya, sekitar 3
dolar atau Rp 27.000. Harga ini tentu saja mahal bagi sebagian besar pelanggan
PSK.
Kondom
yang ada di Indonesia adalah kondom yang terbuat dari lateks sehingga tidak
berpori-pori. Pembuktiannya sangat mudah. Kondom ditiup,. Biar kan berapa hari.
Ternyata kondom tidak kempes. Tapi, karena sudah ada mitos kon-dom berpori maka
sa-ngat sulit untuk mem-berikan fakta tentang kondom lateks yang tidak berpori.
Menjadikan
kondom sebagai salah satu alat untuk melindungi ma-syarakat pun lagi-lagi buyar
karena kondom dibenturkan ke norma, moral dan agama dengan mengatakan bahwa
kondom mendorong orang untuk berzina atau melacur.
Ada
anggapan di segelintir orang bahwa kegiatan yang ‘merangkul’ PSK sebagai
kegiatan untuk melindungi mereka. Ini salah karena dalam kaitan penyebaran IMS
dan HIV yang dapat ‘dipegang’ adalah PSK. Sedangkan para ‘hidung belang’ sulit
ditangani.
Apakah
asumsi yang mengatakan kondom mendorong orang untuk berzina atau melacur
terbukti secara empiris? Tentu saja tidak karena para pezina justru enggan
memakai kondom karena mengurangi kenikmatan. Sayang, fakta ini tidak pernah
muncul sehingga tidak ada perimbangan informasi.
Karena
mitos kondom sudah memasyarakat maka orang pun enggan untuk berurusan dengan
kondom. Coba lihat wajah karyawan apotek kalau kita membeli kondom. Mereka
langsung senyum-senyum. Padahal, orang yang membeli kondom tidak otomatis
dipakai untuk berzina atau melacur. Entah apa yang ada di benak mereka.
Akibatnya, banyak orang yang enggan membeli kondom.
Ada
upaya untuk mendekatkan kondom kepada orang-orang yang perilakunya berisiko
tinggi tertular HIV dan IMS dengan memasang mesin kondom (di masyarakat dikenal
sebagai ‘ATM Kondom’). Tapi, lagi-lagi protes atas nama moral dan agama
menentang ‘ATM Kondom’ datang bertubi-tubi.
Memasyarakatkan
kondom bagi orang-orang yang perilakunya berisiko tinggi tertular IMS dan HIV
atau dua-duanya sekaligus merupakan upaya untuk memutus mata rantai penyebaran
IMS dan HIV ke masyarakat. Laki-laki pelanggan PSK, yang dalam kehidupan
sehari-hari bisa sebagai suami, pacar, PIL (pria idaman lain), remaja atau duda
bisa menjadi mata rantai penyebaran HIV.
Kalau
‘hidung belang’ enggan memakai kondom ketika kencan dengan PSK dianjurkan agar
memakai kondom jika melakukan hubungan seks dengan istri, pacar atau WIL
(wanita idaman lain). Ini untuk memutus mata rantai penyebaran IMS dan HIV. ***[AIDS
Watch Indonesia/ Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.