Tanggapan Berita (18/9-2012) - Di
sejumlah kota, perkembangan penyakit mematikan HIV/AIDS (Human Immunodeficiency
Virus Infection/Acquired Immunodeficiency Syndrome) sudah cukup mencemaskan. Di
Kota Metro, Lampung, misalnya, saat ini penderita HIV/AIDS sudah mencapai 25
orang. Itu baru yang terdata. Ini lead
di berita “Pengidap HIV/AIDS Bertambah”
(www.jpnn.com, 12/9-2012).

Data
penderita HIV/AIDS yang disebutkan 25 tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya
di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.
Kasus yang terdeteksi (26) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke
atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat
digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut.
Menurut
Kepala Bidang Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Wahyuningsih,
merebaknya penyakit mematikan ini rata-rata diderita kaum hawa, lewat hubungan
seks maupun lewat jarum suntik.
Jika
disimak pernyataan Wahyuningsih di atas, maka HIV/AIDS yang banyak diderita
kaum hawa tentulah ditularkan oleh kaum adam (baca: laki-laki).
Pertanyaannya
adalah: Siapa kaum hawa yang dimaksud Wahyuningsih?
Jika
kaum hawa yang dimaksud Wahyuningsih adalah istri atau ibu rumah tangga, maka
tentulah jumlah yang sama juga terjadi pada kaum adam yaitu laki-laki atau
suami mereka. Soalnya, HIV/AIDS pada ibu-ibu rumah tangga ditularkan oleh
suami.
Disebutkan
dinas kesehatan melakukan beberapa langkah strategis untuk meminimalisir
merebaknya penyakit menular ini. Salah satu adalah mendirikan klinik VCT
(Volountery Counseling and Testing) yang ditempatkan di RS Ahmad Yani. Tujuan
klinik VCT sebagai salah satu upaya pencegahan penyebaran penyakit HIV/AIDS dan
penanganan pengobatannya.
Klinik
VCT adalah untuk melakukan tes HIV, sehingga harus ada dulu orang yang tertular
HIV baru bisa ditangani di klinik VCT. Artinya, Dinkes Metro menunggu
penduduknya dulu tertular HIV baru ditangani di klinik VCT. Berarti
penanggulangan yang dilakukan Dinkes Metro adalah di hilir. Pada waktu yang
sama terjadi penularan di hulu, al. melalui hubungan seksual tanpa kondom pada
praktek pelacuran.
Apakah
di Kota Metro ada pelacuran?
Ya,
Dinkes Kota Metro tentulah berkata: Tidak ada! Ini beralasan karena di Kota
Metro tidak ada lokalisasi pelacuran yang dibentuk berdarakan regulasi dengan
pengawasan dinas sosial.
Tapi,
apakah di Kota Metro ada praktek pelacuran yang terjadi di penginapan, losmen,
hotel melati dan hotel berbintang yang melibatkan pekerja seks komersial (PSK)?
Kalau
Dinkes Kota Metro tetap bersikukuh mengatakan tidak ada, maka penyebaran HIV/AIDS
di Kota Metro bukan dengan faktor risiko hubungan seksual tapi karena
faktor-faktor lain.
Namun,
kalau ternyata praktek pelacuran terjadi di Kota Metro, maka penyebaran
HIV/AIDS akan terus terjadi. Kasus-kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada ibu-ibu
rumah tangga menunjukkan suami mereka melacur tanpa kondom.
Selain
itu, apakah Dinkes Kota Metro bisa menjamin tidak ada laki-laki dewasa penduduk
Kota Metro yang melacur tanpa kondom d luar Kota Metro?
Kalau
jawabannya bisa, maka tidak ada risiko penyebaran HIV melalui laki-laki. Tapi,
kalau jawabannya tidak bisa, maka penyebaran HIV/AIDS akan merebak di Kota
Metro karena laki-laki yang tertular HIV di luar Kota Metro akan menjadi mata
rantai penyebaran HIV di Kota Metro, terutama melalui hubungan seksual tanpa
kondom.
Selama Pemkot Metro tidak mempunyai program
penanggulangan yang konkret, maka selama itu pula penyebaran HIV akan terus
terjadi yang kelak akan bermuara pada ‘ledakan AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.