16 September 2012

Kematian Terkait HIV/AIDS di Payakumbuh, Sumbar


Tanggapan Berita (17/9-2012) - ”Kita yakin di Payakumbuh terdapat banyak penderita HIV AIDS yang belum terdata. Sebab masih banyak yang takut dan malu untuk memeriksakan diri.” Ini pernyataan Sekretaris KPA Payakumbuh, Syamsir Alam di berita “Kab. Lima Puluh Kota. Delapan dari 29 Penderita HIV Meninggal” (Padang Ekspres, 11/9-2012).

Pernyataan Syamsir ini menunjukkan pemahaman yang tidak komprehensif terhadap HIV/AIDS sebagai fakta medis.

Orang bukan takut atau malu untuk memeriksakan diri. Banyak orang yang tidak menyadari perilakunya berisiko tertular HIV. Ini terjadi karena informasi HIV/AIDS yang disampaikan pemerintah dan sebagian institusi tidak konkret sehingga masyarakat tidak mengetahui perilaku yang berisiko tertular HIV.

Buktinya, dalam berita ini pun sama sekali tidak ada informasi tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang konkret. Bahkan, disebutkan bahwa melalui pisau cukur yang sempat melukai penderita HIV dan digunakan orang yang sehat dan mengalami luka juga bisa tertular. Ini tidak akurat karena darah di pisau cukur sudah kering dan HIV mati.

Risiko tertular HIV yang sangat mungkin terjadi adalah melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK) dan pelaku kawin cerai.

Dikabarkan 8 dari 29 penderita HIV AIDS yang didata Komisi Penaggulangan AIDS (KPA) di Kota Payakum­buh meninggal dunia.

Kalau saja Syamsir lebih arif, maka persoalan besar adalah kematian delapan pengidap HIV/AIDS itu.

Pertama, kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) terjadi pada masa AIDS yaitu antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV. Pada rentang waktu ini Odha tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV/AIDS sehingga tanpa mereka sadari mereka menularkan HIV kepada orang lain, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Kedua, apakah delapan Odha yang meninggal itu mempunyai pasangan, misalnya suami atau istri?

Ketiga, kalau mereka mempunyai pasangan, apakah pasangannya sudah menerima konseling agar mereka menjalani tes HIV?

Jika pasangan delapan Odha yang meninggal itu tidak menjalani tes HIV dengan konseling, maka mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual anpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Menurut Sekretaris KPA itu, sebenarnya penderita HIV di Payakumbuh diperkirakan jauh lebih banyak dari jumlah yang terdata atau yang mau membuka diri kepada KPA. Sehingga dibutuhkan adanya upaya pihak keluarga untuk memberikan dorongan dan tidak mengucilkan mereka.

Pertanyaan untuk Syamsir: Apa program konkret KPA untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS yang ada di masyarakat?

Tentu saja tidak ada! Maka, kasus-kasus yang tidak terdeteksi akan menjadi pemicu penyebaran HIV/AIDS. Maka, tidaklah mengherankan kalau kelak kasus HIV/AIDS akan merebak.

Pertanyaan untuk Syamsir: Apakah di Payakumbuh ada pelacuran?

Tentu saja Syamsir akan menampik karena di Payakumbuh tidak ada lokalisasi pelacuran.

Tapi, apakah di Payakumbuh ada praktek pelacuran?

Jawaban terpulang kepada Syamsir. Kalau tidak ada itu artinya penyebaran HIV/AIDS di Payakumbuh terjadi karena faktor risiko lain.

Tapi, kalau di Payakumbuh ada praktek pelacuran, maka kalau tidak ada program yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pelacur penyebaran HIV/AIDS akan terus tejadi.

Jika seseorang sudah terdeteksi HIV/AIDS mereka pasti sudah didata di dinas kesehatan melalui laporan dari tempat tes. Maka, yang terjadi bukan karena tidak mau melapor ke KPA, tapi karena banyak yang tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV/AIDS sehingga mereka tidak menjalani tes HIV.

Sayang, wartawan tidak bertanya tentang kapan dan bagaimana kasus-kasus HIV/AIDS terdeteksi di Payakumbuh. Celakanya, Syamsir pun tidak menjelaskannya.

Data itu penting karena akan memberikan gambara ril tentang kondisi penyebaran HIV/AIDS di Payakumbuh. Artinya, kalau kasus-kasus itu terdeteksi di masa AIDS, maka itu menunjukkan penyebaran HIV/AIDS sudah berlangsung lama karena masa AIDS terjadi setelah tertular antara 5 – 15 tahun sebelumnya.

Masih menurut Syamsir, berdasarkan pengakuan penderita, kebanyakan dari mereka tertular di akibatkan pergaulan dan seks bebas.

Lagi-lagi Syamsir mengumbar mitos (anggapan yang salah) karena kalau pergaulan dan seks bebas diartikan sebagai zina atau melacur, maka tidak ada kaitan langsung antara pergaulan dan seks bebas dengan penularan HIV.

Penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan seksual) jika salah satu dari pasangan itu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom (kondisi hubungan seksual).

Jika Pemkab Payakumbuh tidak mempunyai program penanggulangan HIV/AIDS yang konkret, maka penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

2 komentar:

  1. Untuk sama kita ketahui,kondom bukan jalan pencegah semua penyakit itu semua.Jauhi zina dan sex bebas!.Insya'ALLAH,kita akan jauh dari semua itu dan Dosanya.

    BalasHapus
  2. Assalamualaikum saya mau tanya mas..
    Saya pernah cukur rambut di tempat yg pelanggannya rame tpi pisaunya ga pernah dignti..sya bru sadar ktika stlah dicukur pisaunya udah karatan..kira2..misalnya ada org yg kena aids pernah cukur disana pda saat giliran saya beresiko ga?

    BalasHapus

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.