Tanggapan Berita (17/9-2012) - ”Kita
yakin di Payakumbuh terdapat banyak penderita HIV AIDS yang belum terdata.
Sebab masih banyak yang takut dan malu untuk memeriksakan diri.” Ini pernyataan
Sekretaris KPA Payakumbuh, Syamsir Alam di berita “Kab. Lima Puluh Kota. Delapan dari 29 Penderita HIV Meninggal” (Padang Ekspres, 11/9-2012).
Pernyataan
Syamsir ini menunjukkan pemahaman yang tidak komprehensif terhadap HIV/AIDS
sebagai fakta medis.
Orang
bukan takut atau malu untuk memeriksakan diri. Banyak orang yang tidak menyadari
perilakunya berisiko tertular HIV. Ini terjadi karena informasi HIV/AIDS yang
disampaikan pemerintah dan sebagian institusi tidak konkret sehingga masyarakat
tidak mengetahui perilaku yang berisiko tertular HIV.
Buktinya,
dalam berita ini pun sama sekali tidak ada informasi tentang cara-cara
penularan dan pencegahan HIV yang konkret. Bahkan, disebutkan bahwa melalui
pisau cukur yang sempat melukai penderita HIV dan digunakan orang yang sehat
dan mengalami luka juga bisa tertular. Ini tidak akurat karena darah di pisau
cukur sudah kering dan HIV mati.
Risiko
tertular HIV yang sangat mungkin terjadi adalah melalui hubungan seksual tanpa
kondom, di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau
dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial
(PSK) dan pelaku kawin cerai.
Dikabarkan 8 dari 29 penderita HIV AIDS yang didata Komisi
Penaggulangan AIDS (KPA) di Kota Payakumbuh meninggal dunia.
Kalau saja Syamsir lebih arif, maka persoalan besar adalah kematian
delapan pengidap HIV/AIDS itu.
Pertama, kematian pada Odha
(Orang dengan HIV/AIDS) terjadi pada masa AIDS yaitu antara 5 – 15 tahun
setelah tertular HIV. Pada rentang waktu ini Odha tidak menyadari dirinya sudah
mengidap HIV/AIDS sehingga tanpa mereka sadari mereka menularkan HIV kepada
orang lain, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar
nikah.
Kedua, apakah delapan Odha
yang meninggal itu mempunyai pasangan, misalnya suami atau istri?
Ketiga, kalau mereka mempunyai pasangan, apakah pasangannya sudah
menerima konseling agar mereka menjalani tes HIV?
Jika pasangan delapan Odha yang meninggal itu tidak menjalani tes HIV
dengan konseling, maka mereka akan menjadi mata rantai penyebaran HIV di
masyarakat, terutama melalui hubungan seksual anpa kondom di dalam dan di luar
nikah.
Menurut
Sekretaris KPA itu, sebenarnya penderita HIV di Payakumbuh diperkirakan jauh
lebih banyak dari jumlah yang terdata atau yang mau membuka diri kepada KPA.
Sehingga dibutuhkan adanya upaya pihak keluarga untuk memberikan dorongan dan
tidak mengucilkan mereka.
Pertanyaan untuk
Syamsir: Apa program konkret KPA untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS yang ada di
masyarakat?
Tentu saja tidak
ada! Maka, kasus-kasus yang tidak terdeteksi akan menjadi pemicu penyebaran
HIV/AIDS. Maka, tidaklah mengherankan kalau kelak kasus HIV/AIDS akan merebak.
Pertanyaan untuk
Syamsir: Apakah di Payakumbuh ada pelacuran?
Tentu saja
Syamsir akan menampik karena di Payakumbuh tidak ada lokalisasi pelacuran.
Tapi, apakah di
Payakumbuh ada praktek pelacuran?
Jawaban
terpulang kepada Syamsir. Kalau tidak ada itu artinya penyebaran HIV/AIDS di
Payakumbuh terjadi karena faktor risiko lain.
Tapi, kalau di
Payakumbuh ada praktek pelacuran, maka kalau tidak ada program yang konkret
untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui
hubungan seksual dengan pelacur penyebaran HIV/AIDS akan terus tejadi.
Jika seseorang
sudah terdeteksi HIV/AIDS mereka pasti sudah didata di dinas kesehatan melalui
laporan dari tempat tes. Maka, yang terjadi bukan karena tidak mau melapor ke
KPA, tapi karena banyak yang tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV/AIDS
sehingga mereka tidak menjalani tes HIV.
Sayang, wartawan
tidak bertanya tentang kapan dan bagaimana kasus-kasus HIV/AIDS terdeteksi di
Payakumbuh. Celakanya, Syamsir pun tidak menjelaskannya.
Data itu penting
karena akan memberikan gambara ril tentang kondisi penyebaran HIV/AIDS di
Payakumbuh. Artinya, kalau kasus-kasus itu terdeteksi di masa AIDS, maka itu
menunjukkan penyebaran HIV/AIDS sudah berlangsung lama karena masa AIDS terjadi
setelah tertular antara 5 – 15 tahun sebelumnya.
Masih menurut
Syamsir, berdasarkan pengakuan penderita, kebanyakan dari mereka tertular di
akibatkan pergaulan dan seks bebas.
Lagi-lagi
Syamsir mengumbar mitos (anggapan yang salah) karena kalau pergaulan dan seks
bebas diartikan sebagai zina atau melacur, maka tidak ada kaitan langsung
antara pergaulan dan seks bebas dengan penularan HIV.
Penularan HIV
melalui hubungan seksual terjadi di dalam dan di luar nikah (sifat hubungan
seksual) jika salah satu dari pasangan itu mengidap HIV/AIDS dan laki-laki
tidak memakai kondom (kondisi hubungan seksual).
Jika
Pemkab Payakumbuh tidak mempunyai program penanggulangan HIV/AIDS yang konkret,
maka penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ‘ledakan
AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful
W. Harahap]***
Untuk sama kita ketahui,kondom bukan jalan pencegah semua penyakit itu semua.Jauhi zina dan sex bebas!.Insya'ALLAH,kita akan jauh dari semua itu dan Dosanya.
BalasHapusAssalamualaikum saya mau tanya mas..
BalasHapusSaya pernah cukur rambut di tempat yg pelanggannya rame tpi pisaunya ga pernah dignti..sya bru sadar ktika stlah dicukur pisaunya udah karatan..kira2..misalnya ada org yg kena aids pernah cukur disana pda saat giliran saya beresiko ga?