Tanggapan Berita (15/9-2012) - “Angka penderita HIV/AIDS di kota Ambon, Ibu Kota Provinsi Maluku mengalami peningkatan pada 2012 sehingga
dibutuhkan penanganan serius.” Ini pernyataan Walikota Ambon, Richard Louhenapessy, SH
pada berita “Angka Penderita HIV/AIDS Di
Ambon Meningkat” (www.ambon.go.id,
6/9-2012).
Seperti
apa, sih, peningkatan penderita
HIV/AIDS di Kota Ambon?
Periode Januari-Agustus 2012 terdeteksi 62
kasus HIV/AIDS yang terdiri atas 29 HIV dan 33 AIDS. Sedangkan hasil survai di di sejumlah kafe,
karaoke, hotel, penginapan serta pangkalan ojek, dari 1.000 yang
mengikuti tes terdeteksi 79 HIV, yakni 22
orang penderita lama dan 57 orang penderita baru.
Jumlah
kasus kumulatif HIV/AIDS di Kota Ambon para
kurun waktu 1996 - 2011 tercatat 851 yang terdiri atas 498 HIV dan 353 AIDS
dengan 422 kematian.
Penanganan
serius memang diperlukan karena insiden infeksi HIV baru, terutama pada
laki-laki dewasa melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan pekerja seks
komersial (PSK) terus terjadi.
Celakanya,
Pemkot Ambon tidak mempunyai langkah yang konkret untuk menurunkan insiden
infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK langsung.
Ini terjadi karena Pemkot Ambon tidak melokalisir praktek pelacuran sehingga
pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Angka
kasus HIV/AIDS yang dilaporkan akan terus naik atau bertambah karena cara
pelaporan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan dengan cara kumulatif. Artinya,
kasus baru ditambah kasus lama. Begitu seterusnya sehingga angka laporan tidak
akan pernah turun biar pun banyak pengidap HIV/AIDS yang meninggal.
Persoalan
(besar) lain yang luput dari perhatian Louhenapessy adalah kematian
terkait HIV/AIDS yang mencapai 422 dari 851 pengidap
HIV/AIDS atau 49,59 persen. Ini artinya tingkat kematian pada Odha (Orang
dengan HIV/AIDS) di Kota Ambon sangat tinggi karena hampir separuh dari kasus
yang terdeteksi.
Karena
Louhenapessy dan wartawan yang menulis berita itu
tidak membawa fakta terkait dengan kematian Odha maka angka itu seakan tidak
bermakna.
Padahal,
sebelum 422 pengidap HIV/AIDS itu meninggal mereka sudah menularkan HIV/AIDS
kepada orang lain tanpa mereka sadari.
Kematian
pada Odha secara statistik terjadi pada masa AIDS (antara 5 – 15 tahun) setelah
tertular HIV karena penyakit-penyakit yang disebut infeksi oportunistik,
seperti diare dan TBC. Sebelum masa AIDS orang-orang yang tertular HIV tidak
menyadari diri mereka sudah mengidap HIV/AIDS karena tidak ada tanda-tanda yang
khas AIDS pada fisik mereka dan tidak ada pula keluhan penyakit yang khas AIDS
yang mereka alami.
Maka,
pada rentang waktu 5 – 15 tahun mereka sudah menularkan HIV kepada orang lain.
Suami akan menularkan HIV kepada istrinya. Jika istrinya lebih dari satu maka
kian banyak perempuan yang berisiko tertular HIV.
Persoalan
akan besar jika di antara pengidap HIV/AIDS yang meninggal itu ada pekerja seks
komersial (PSK). Kalau setiap 1 PSK melayani 3 laki-laki, maka sebelum dia
meninggal sudah ada 3.600 – 10.800 (1
PSK x 3 laki-laki/malam x 20 hari/bulan x 5 tahun atau 12 tahun) laki-laki yang
dilayaninya dan berisiko tertular HIV/AIDS.
Laki-laki
yang berisiko tertular HIV dari PSK itu dalam kehidupan sehari-hari bisa
sebagai seorang suami sehingga ada risiko penularan HIV pada istri yang
seterusnya kepada anak yang dikandungnya kelak.
Kematian
itu (bisa) terjadi karena pengidap HIV/AIDS itu terdeteksi pada masa AIDS.
Artinya, mereka terdeteksi mengidap HIV/AIDS setelah masa AIDS yaitu sudah ada
penyakit infeksi oportunistik. Penyakit ini bisa disembuhkan dengan mudah pada
orang-orang yang tidak mengidap HIV/AIDS, tapi pada Odha sulit disembuhkan
sehingga menyebabkan kematian.
Padahal,
sekarang sudah ada obat antiretroviral (ARV) yang bisa menekan laju
perkembangabiakan HIV di dalam darah sehingga kondisi Odha bisa terjaga dan
menghindarkan mereka dari infeksi oportunistik.
Keterlambatan
mendeteksi HIV/AIDS pada orang-orang yang sudah mengidap HIV/AIDS terjadi
karena Pemkot Kota Ambon tidak mempunyai program yang konkret untuk mendeteksi
kasus HIV/AIDS di masyarakat secara sistematis.
Survailans
terhadap orang-orang di kafe, karaoke,
hotel, penginapan serta pangkalan ojek bukan cara yang komprhensif karena
persoalan bukan pada mereka tapi pada penduduk Kota Ambon, terutama laki-laki
yang melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK.
Louhenapessy mengatakan: "Persoalan ini merupakan hal yang krusial dan harus
mendapat perhatian serius, karena jumlah Penderita HIV/AIDS terus bertambah."
Bukan
perhatian serius, yang diperlukan adalah regulasi yaitu langkah-langkah konkret
untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan
seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran.
Yang
dikhawatirkan adalah Pemkot Ambon menampik di kota itu ada pelacuran dengan
alasan tidak ada lokalisasi pelacuran.
Maka,
karena di Kota Ambon tidak ada lokalisasi pelacuran sehingga tidak bisa
diterapkan cara yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru. Cara
yang konkret adalah mewajibkan laki-laki memakai kondom jika sanggama dengan
PSK.
Yang
dilakukan Pemkot Ambon, seperti dikatakan Louhenapessy
adalah: "Upaya sosialisasi dilakukan guna pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS, tetapi upaya ini juga harus ditunjang tingkat
kesadaran dan perilaku masyarakat."
Sosialisasi
sudah dijalankan sejak tahun 1987, tapi tetap tidak berhasil karena tidak ada
cara yang konkret untuk menangulangi penyebaran HIV/AIDS. Semua materi
sosialisasi hanya sebatas retorika moral.
Adalah
hal yang mustahil untuk mengharapkan semua orang, terutama laki-laki dewasa,
untuk memakai kondom jika sanggama dengan PSK di Kota Ambon atau di luar Kota
Ambon. Untuk itulah diperlukan regulasi bukan retorika.
Disebutkan
pula: “ …. sosialisasi bahaya AIDS juga dilakukan dengan sasaran
para remaja dan masyarakat yang berusia produktif.”
Dalam
epidemi HIV/AIDS remaja bisa jadi sebagai terminal terakhir karena remaja yang
tertular HIV tidak mempunyai pasangan tetap. Sedangkan laki-laki dewasa yang
tertular HIV/AIDS akan menjadi mata rantai penyebaran HIV, terutama melalui hubungan
seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, kepada istrinya dan pasangan
seks lain, termasuk kepada PSK.
Louhenapessy lagi-lagi
mengatakan: "Kami juga akan melakukan pengambilan darah secara
gratis guna memastikan masyarakat mengidap penyakit tersebut atau tidak, serta
menyediakan kondom gratis untuk menekan dan memutus mata rantai penyebaran
virus."
Tidak
semua orang harus diambil darahnya untuk memastikan pengidap HIV/AIDS di masayrakat.
Yang dianjurkan tes HIV adalah:
(a). Laki-laki dewasa yang
pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di
luar nikah, dengan perempuan yang berganti-ganti di Kota Ambon atau di luar
Kota Ambon.
(b) Perempuan dewasa yang pernah atau sering
melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang
berganti-ganti tanpa kondom di Kota Ambon atau di luar Kota Ambon.
(c). Laki-laki dewasa yang
pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di
luar nikah, dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks
komersial (PSK) langsung (PSK di jalanan, cafe, pub, tempat hiburan, panti
pijat, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel
berbintang) dan PSK tidak langsung (’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek SPG’,
’cewek cafe’, ’cewek pub’, ’cewek panti pijat’, ’ibu-ibu rumah tangga’, ’ABG’,
’pelacur kelas tinggi’, ’call girl’, dll.), serta perempuan pelaku kawin-cerai di
Kota Ambon atau di luar Kota Ambon.
Hanya tiga kualifikasi itulah
yang dianjurkan untuk menjalani tes HIV sebagai upaya untuk memutus mata rantai
penyebaran HIV antara penduduk secara horizontal di Kota Ambon.
Adakah dari kalangan pegawai
atau karyawan yang merasa dirinya termasuk pada kelompok (a), (b) atau (c) atau
(a) dan (c) mau membuka diri untuk menjalani tes HIV?
Jika
Pemkot Kota Ambon tidak menjalankan program penanggulangan yang konkret, maka penyebaran
HIV/AIDS di Kota Ambon akan terus terjadi yang kelak akan bermuada pada ‘ledakan
AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.