Tanggapan Berita (18/9-2012) – “Hingga
Juli 2012, sesuai data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Sambas (Prov
Kalimantan Barat atau Kalbar-pen.), tercatat 204 penderita HIV/AIDS. Parahnya
lagi, sekitar 47 persen dari jumlah tersebut adalah penderita wanita. KPA
mencatat terdapat 96 orang wanita terinfeksi di Bumi Terigas ini. Dari jumlah
tersebut, menurut mereka, adanya kelompok populasi yang tidak berisiko tertular
sebanyak 46 ibu rumah tangga, di mana mereka tertular dari suaminya. Kemudian sebanyak
12 bayi yang tidak berdosa tertular dari ibu kandungnya.” Ini lead di berita “204 Penderita HIV/AIDS Kabupaten Sambas. Hingga Juli 2012, Kian Mengkhawatirkan" (www.pontianakpost.com, 13/9-2012).
Pernyataan pada lead berita ini
tidak akurat karena mencampuradukkan fakta dan opini.
Pertama, disebutkan “Parahnya lagi, sekitar 47 persen
dari jumlah tersebut adalah penderita wanita”. Yang parah adalah laki-laki yang
menularkan HIV kepada wanita tsb. Apalagi wanita itu istri maka amat
disayangkan suami membawa HIV ke rumah.
Kedua, disebutkan
dari 96 wanita yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS ada 46 ibu rumah tangga yang
disebutkan sebagai kelompok populasi yang tidak berisiko. Mereka tertular dari
suaminya. Tidak berarti yang berisiko otomatis akan tertular HIV jika mereka
menerapkan seks aman yaitu hanya meladeni laki-laki yang memakai kondom. Dalam
kaitan ini suami dari 46 ibu rumah tangga tsb. merupakan laki-laki yang perilaku
seksnya berisiko karena tidak memakai kondom jika melacur.
Ketiga, kalau 50
wanita yang terdeteksi HIV/AIDS adalah pekerja seks komersial (PSK), maka sudah
banyak laki-laki dewasa penduduk Kab Sambas yang berisiko tertular HIV yaitu
laki-laki yang melacur tanpa kondom dengan PSK. Kalau setiap malam ada tiga
laki-laki yang diladeni seorang PSK, maka tiap malam adan 150 laki-laki yang
berisiko tertular HIV/AIDS. Seseorang
bisa terdeteksi HIV melalui tes HIV dengan reagen ELISA minimal sudah tertular
tiga bulan. Maka, 50 PSK itu sudah meladeni 9.000 laki-laki (50 PSK x 3
laki-laki/malam x 20 hari/bulan x 3 bulan).
Keempat, disebutkan “sebanyak
12 bayi yang tidak berdosa tertular dari ibu kandungnya”. Ini juga tidak
objektif karena tidak ada kaitan antara dosa dan tertular HIV. Orang-orang yang
tertular dari transfusi darah dan cangkok organ tubuh tidak melakukan perbuatan
dosa. Tapi, kalau darah yang ditransfusikan dan organ tubuh yang dicangkokkan
mengangdung HIV/AIDS maka mereka akan berisiko tertular HIV/AIDS.
Wakil
Bupati Sambas, Pabali Musa, mengatakan bahwa Pemkab Sambas melalui KPA, telah
berupaya melaksanakan program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS ke
masyarakat umum.
Sayang, dalam berita tidak dijelaskan apa dan bagaimana program pencegahan dan penanggulangan yang dilancarkan KPA Sambas. Bahkan, dalam Perda AIDS Kalbar pun tidak ada program yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di Kalbar (Lihat: Menakar Kerja Perda AIDS Provinsi Kalimantan Barat - http://www.aidsindonesia.com/2012/09/menakar-kerja-perda-aids-provinsi.html).
Menurut
Pabali Musa: “Kalau kita kaji, berdasarkan fenomena gunung es, maka wanita yang
terinfeksi HIV dan AIDS sudah ada sekitar 9.600 orang, ibu yang terinfeksi
sudah ada sekitar 4.600 ibu, dan anak-anak yang terinfeksi berjumlah sekitar
1.200 anak.”
Angka yang dilaporkan meamng tidak
menggambarkan jumlah ril pengidap HIV/AIDS di masyarakat karena penyebaran
HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Tapi, tidak ada rumus
‘matematika’ yang bisa menentukan jumlah kasus yang tidak terdeteksi
berdasarkan kasus yang terdeteksi.
WHO menyebutkan bahwa jika ada 1
kasus HIV/AIDS yang terdeteksi, maka ada 100 kasus yang tidak terdeteksi. Tapi,
harus diingat bahwa ‘rumus’ ini hanya untuk keperluan epidemiologi sebagai
patokan untuk estimasi dan merancang program. ‘Rumus’ ini pun harus memenuhi
beberapa syarat, al. tingkat pelacuran tinggi, pemakaian kondom rendah,dll.
Jadi, ‘rumus’ ini tidak bisa dipakai secara langsung atau ‘telanjang’ karena
tidak ada cara yang pasti menghitung kasus yang tidak terdeteksi berdasarkan
kasus yang terdeteksi.
Kasus yang terdeteksi (204) digambarkan
sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan
kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan es di
bawah permukaan air laut. Tapi, kasus yang tidak terdeteksi tidak bisa dihitung
berdasarkankasus yang terdeteksi (Lihat Gambar).
Persoalan
bukan pada perempuan, termasuk PSK, tapi pada laki-laki yang tidak bisa menjaga
perilakunya. Yang menularkan HIV kepada PSK adalah laki-laki dewasa. Dalam
kehidupan sehari-hari laki-laki tsb. bisa sebagai seorang suami. Lalu, ada pula
laki-laki dewasa yang membawa HIV dari PSK karena mereka melakukan hubungan
seksual dengan PSK tanpa kondom. Laki-laki ini juga bisa sebagai suami.
Maka,
laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari
PSK menjadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan
seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Pertanyaan
untuk Pabali Musa: Apakah di Kab Sambas ada pelacuran?
Ya,
sambil menepuk dada Pabali Musa akan mengatakan: Tidak ada!
Pabali
Musa benar karena di Kab Sambas tidak ada lokalisasi pelacuran yang merupakan
hasil regulasi yang menjadi bagian program dinas sosial.
Tapi,
Pak Pabali Musa, apakah Anda bisa menjamin di Kab Sambas tidak ada praktek
pelacuran yang terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu?
Kalau
Pabali Musa mengatakan bisa, maka penyebaran HIV di Kab Sambas bukan karena
faktor risiko hubungan seksual. Maka, perlu dicari apa faktor yang mendorong
penyebaran HIV di Kab Sambas.
Namun,
kalau Pabali Musa mengatakan tidak bisa menjamin, nah, Pemkab Sambas dalam
kondisi darurat karena ada laki-laki penduduk Kab Sambas yang melacur tanpa
kondom. Laki-laki yang tertular HIV dari praktek pelacuran menjadi mata rantai
penyebaran HIV di masyarakat terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di
dalam dan di luar nikah.
Untuk
itulah Pemkab Sambas perlu menjalankan program penanggulangan yang konkret, al.
membuat langkah yang konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada
laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan PSK.
Persoalannya
adalah di Kab Sambas tidak ada lokalisasi pelacuran sebagai bagian dari
regulasi. Maka, program penanggulangan pun berupa menurunkan insiden infeksi
HIV baru tidak bisa diterapkan yaitu pemakaian kondom bagi laki-laki yang
melacur.
Selama
tidak ada program yang konkret, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan
terus terjadi di Kab Sambas yang kelak akan bermuara pada ‘ledakan AIDS’. ***[AIDS Watch
Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.