Tanggapan Berita (10/9-2012) – “Jumlah
penderita HIV/AIDS di Surabaya semakin bertambah. Paling memprihatinkan, saat
ini ada empat bayi di bawah lima tahun (balita) diketahui menderita penyakit
yang mematikan itu.” Ini lead di
berita “Empat Bayi di Surabaya Menderita
HIV/AIDS” di “Pos Kota” (5/9-2012).
Kalau
dirunut ke belakangan tentulah yang menjadi biang keladi penularan HIV kepada
empat bayi itu adalah ayah mereka. Soalnya, bayi-bayi itu tertular dari ibu
mereka, sedangkna ibu mereka tertular HIV dari suami.
Maka,
yang memprihatinkan adalah ada empat suami yang menularkan HIV kepada istrinya.
Kondisi
itu terjadi karena Pemkot Surabaya dan Pemprov Jatim tidak mempunyai program
yang konkret untuk mencegah penularan HIV, terutama pada laki-laki dewasa
melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi
pelacuran.
Bahkan,
Perda AIDS Prov Jatim pun sama sekali tidak memberikan cara-cara yang konkret
untuk menanggulangi HIV/AIDS di Jatim (Lihat: Menyibak Kiprah Perda AIDS Jatim - http://www.aidsindonesia.com/2012/09/menyibak-kiprah-perda-aids-jatim.html).
Dikabarkan
sejak tahun 2007 sampai 2012 kasus kumulatif HIV/AIDS yang dilaporkan di Kota
Surabaya mencapai 5.703. Angka ini tentu saja tidak menggambarkan kasus ril di
masyarakat karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus
yang terdeteksi (5.703) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke
atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat
digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar).
Bertolak
dari kasus HIV/AIDS di Kota Surabaya sebagai fenomena gununges, Kepala Dinkes
Kota Surabaya Esty Martiana Rachmie, mengatakan: “Ini jadi peringatan dini bagi
kita semua untuk selalu waspada.”
Sayang,
dalam berita tidak dijelaskan bagaimana cara waspada yang konkret agar tidak
tertular HIV.
Disebutkan
bahwa sebagian besar kasus HIV/AIDS terdeteksi pada PSK di lokalisasi pelacuran
Dolly, Jarak, Dupak Bangunsasri, Moroseneng dan Sememi.
Ada
fakta yang luput dari perhatian Esty dan wartawan, yaitu:
Pertama, kasus HIV/AIDS
pada PSK kemungkinan ditularkan oleh laki-laki dewasa penduduk Kota Surabaya.
Dalam kehidupan sehiri-hari laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK bisa
sebagai seorang suami. Maka, istri mereka pun berisiko tertular HIV yang kelak bermuara
pada bayi yang mereka kandung.
Kedua, kasus HIV/AIDS
pada PSK kemungkinan sudah ada sejak mereka ‘praktek’ di lokalisasi. Jika ada
laki-laki dewasa penduduk Kota Surabaya yang tidak memakai kondom ketika
sanggama dengan PSK, maka mereka berisiko tertular HIV. Dalam kehidupan sehiri-hari laki-laki yang tertular
HIV dari PSK bisa sebagai seorang suami. Maka, istri mereka pun berisiko
tertular HIV yang kelak bermuara pada bayi yang mereka kandung.
Menurut
Esty, tidak semua PSK mau dites. Yang mau tes HIV hanya sekitar 1.200 PSK atau
40%. Sisanya mereka memilih untuk lari ketika ada pemeriksaan.
Yang
jadi persoalan besar bukan pada PSK, tapi laki-laki yang menularkan HIV kepada
PSK dan laki-laki yang tertular HIV dari PSK.
Dikabarkan kasus HIV/AIDS pada PSK yang mangkal di
hotel, kos, maupun on call tidak bisa diketahui. Tentu saja laki-laki yang merasa
dirinya tidak melacur karena tidak sanggama dengan PSK di lokalisasi pelacuran
berisiko tertular HIV.
Disebutkan
pula: Penyebab utama penjangkitan virus paling mematikan ini karena hubungan
seks bebas.
Pernyaatan
‘vrus paling mematikan’ tidak akurat karena belum ada kasus kematian karena
HIV/AIDS. Kematian pada Odha (Orang dengan HIV/AIDS) yang terjadi pada masa
AIDS (secara statistik antara 5 – 15 tahun setelah tertular) karena penyakit
yang disebut infeksi oportunistik, seperti diare dan TBC.
Kalau
‘seks bebas’ diartikan sebagai melacur, maka lagi-lagi pernyataan itu tidak
akurat karena tidak ada kaitan langsung antara ‘seks bebas’ dan penularan HIV.
Penularan HIV melalui hubungan seksual bisa terjadi di dalam dan di luar nikah
(sifat hubungan seksual) kalau salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV/AIDS
dan laki-laki tidak memakai kondom (kondisi hubungan seksual).
Kalau
Pemkot Surabaya tidak mempunyai program penanggulangan, terutama di lokalisasi
pelacurna, yang konkret, maka selama itu pula penyebaran HIV/AIDS akan terus
terjadi yang kelak akan bermuara pada ‘ledakan AIDS’. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful
W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.