Tanggapan Berita. “Meskipun tingkat
penyebaran HIV/AIDS masih cukup tinggi di wilayah Sumatera Utara yakni mencapai
5.525 orang hingga Juli 2012, namun sampai saat ini layanan CST (Care, Support and
Treatment) bagi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) baru tersedia di 9 kabupaten/kota.”
Ini lead di berita “Layani
Penderita HIV/AIDS, Unit Layanan CST Harus Ditambah” di Harian “Sumut Pos”, Medan (28/8-2012).
Ketika
kasus HIV/AIDS satu demi satu terdeteksi sampai mencapai angka kumulatif 5.252 yang
dipersoalkan dalam berita ini justru masalah perawatan, dukungan dan pengobatan
terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS).
Perawatan,
dukungan dan pengobatan terhadap Odha adalah langkah penanggulangan di hilir.
Artinya, Dinas Kesehatan Prov Sumut menunggu ada dulu penduduk yang tertular
HIV baru ditangani.
Yang
diperlukan adalah menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui
hubungan seksual, terutama dengan pekerja seks komersial (PSK) langsung yaitu
PSK yang ‘praktek’ di lokasi pelacuran, tempat hiburan, panji pijat, dll.
Caranya
adalah dengan membuat regulasi, dalam bentuk peraturan daerah (perda),
peraturan gubernur (pergub), peraturan bupati (perbup) atau peraturan walikota
(perwalkot), yang mewajibkan setiap laki-laki memakai kondom ketika melakukan
hubungan seksual dengan PSK.
Celakanya,
Pemprov Sumut menganggap tidak ada (praktek) pelacuran di Sumut karena tidak
ada lokalisasi pelacuran yang ditangani melalui dinas sosial. Kalau ini yang terjadi,
maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi karena praktek pelacuran
terjadi di banyak tempat di Sumut.
Dulu
dikenal lokalisasi ‘BB’ (Bandar Baru) kira-kira 30 km arah barat daya Kota
Medan arah ke Brastagi. Di Belawan, kira-kira 25 km arah utara Kota Medan, juga
dikenal ada lokalisasi pelacuran. Karena tidak ada lagi lokalisasi yang dibina
dinas sosial, maka pelacuran pun menyebar ke berbagai tempat, seperti panti
pijat, salon plus-plus, penginapan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang.
Yang
bisa dilakukan secara realistis dengan cara-cara yang konkret hanya menurunkan
insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang melacur dengan PSK langsung.
Sedangkan pada pelacuran dengan PSK tidak langsung ( ‘cewek bar’, ‘cewek
disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’,
selingkuhan, WIL, dll.) tidak bisa dikontrol karena terjadi di sembarang tempat
dan sembarang waktu.
Ketika
insiden infeksi HIV baru tidak ditanggulangi, maka penyebaran HIV/AIDS akan
terus terjadi, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di
luar nikah. Jika ini terjadi, maka kebutuhan layanan CST pun akan terus
bertambah.
Selain
layanan CST, kebutuhan obat antiretroviral (ARV) akan terus bertambah. Saat ini
obat ARV gratis karena ada donor asing yang mendanai pembelian obat ARV. Tapi,
kalau kelak tidak ada donor tentu saja dana APBD Sumut akan digerogoti untuk
pembelian obat ARV. Dengan harga obat ARV Rp 360.000/bulan, maka dengan 5.525
pengidap HIV/AIDS dibutuhkan dana Rp 2 miliar/bulan. Ini belum termasuk obat
dan biaya perawatan.
“ .... meningkatkan kualitas pelayanan bagi ODHA
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya penanggulangan penyakit
menular secara keseluruhan,” ujar Kadis Kesehatan Sumut Dr RR Sri
Hartati Suryantini, MKes melalui Plt Kabid Penanggulangan Masalah Kesehatan
Dinkes Sumut, Sukarni, MKes.
Melalui
program CST itu yang ditanggulangi adalah orang-orang yang sudah tertular HIV.
Padahal,
yang diperlukan adalah penanggulangan di hulu agar insiden infeksi HIV baru
bisa diturunkan sehingga jumlah orang yang tertular HIV kian sedikit dan
penyebaran HIV bisa ditekan. ***[AIDS
Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.