02 September 2012

Di Sumatera Utara, HIV/AIDS Ditanggulangi di Hilir dengan Program CST



Tanggapan Berita. “Meskipun tingkat penyebaran HIV/AIDS masih cukup tinggi di wilayah Sumatera Utara yakni mencapai 5.525 orang hingga Juli 2012, namun sampai saat ini layanan CST (Care, Support and Treatment) bagi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) baru tersedia di 9 kabupaten/kota.” Ini lead di berita “Layani Penderita HIV/AIDS, Unit Layanan CST Harus Ditambah” di Harian “Sumut Pos”, Medan (28/8-2012).

Ketika kasus HIV/AIDS satu demi satu terdeteksi sampai mencapai angka kumulatif 5.252 yang dipersoalkan dalam berita ini justru masalah perawatan, dukungan dan pengobatan terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS).

Perawatan, dukungan dan pengobatan terhadap Odha adalah langkah penanggulangan di hilir. Artinya, Dinas Kesehatan Prov Sumut menunggu ada dulu penduduk yang tertular HIV baru ditangani.

Yang diperlukan adalah menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki melalui hubungan seksual, terutama dengan pekerja seks komersial (PSK) langsung yaitu PSK yang ‘praktek’ di lokasi pelacuran, tempat hiburan, panji pijat, dll.

Caranya adalah dengan membuat regulasi, dalam bentuk peraturan daerah (perda), peraturan gubernur (pergub), peraturan bupati (perbup) atau peraturan walikota (perwalkot), yang mewajibkan setiap laki-laki memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Celakanya, Pemprov Sumut menganggap tidak ada (praktek) pelacuran di Sumut karena tidak ada lokalisasi pelacuran yang ditangani melalui dinas sosial. Kalau ini yang terjadi, maka insiden infeksi HIV baru akan terus terjadi karena praktek pelacuran terjadi di banyak tempat di Sumut.

Dulu dikenal lokalisasi ‘BB’ (Bandar Baru) kira-kira 30 km arah barat daya Kota Medan arah ke Brastagi. Di Belawan, kira-kira 25 km arah utara Kota Medan, juga dikenal ada lokalisasi pelacuran. Karena tidak ada lagi lokalisasi yang dibina dinas sosial, maka pelacuran pun menyebar ke berbagai tempat, seperti panti pijat, salon plus-plus, penginapan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang.

Yang bisa dilakukan secara realistis dengan cara-cara yang konkret hanya menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki yang melacur dengan PSK langsung. Sedangkan pada pelacuran dengan PSK tidak langsung ( ‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, selingkuhan, WIL, dll.) tidak bisa dikontrol karena terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Ketika insiden infeksi HIV baru tidak ditanggulangi, maka penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Jika ini terjadi, maka kebutuhan layanan CST pun akan terus bertambah.

Selain layanan CST, kebutuhan obat antiretroviral (ARV) akan terus bertambah. Saat ini obat ARV gratis karena ada donor asing yang mendanai pembelian obat ARV. Tapi, kalau kelak tidak ada donor tentu saja dana APBD Sumut akan digerogoti untuk pembelian obat ARV. Dengan harga obat ARV Rp 360.000/bulan, maka dengan 5.525 pengidap HIV/AIDS dibutuhkan dana Rp 2 miliar/bulan. Ini belum termasuk obat dan biaya perawatan.

“ .... meningkatkan kualitas pelayanan bagi ODHA sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya penanggulangan penyakit menular secara keseluruhan,” ujar  Kadis Kesehatan Sumut Dr RR  Sri Hartati Suryantini, MKes melalui Plt Kabid Penanggulangan Masalah Kesehatan Dinkes Sumut, Sukarni, MKes.

Melalui program CST itu yang ditanggulangi adalah orang-orang yang sudah tertular HIV.

Padahal, yang diperlukan adalah penanggulangan di hulu agar insiden infeksi HIV baru bisa diturunkan sehingga jumlah orang yang tertular HIV kian sedikit dan penyebaran HIV bisa ditekan. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.