Tanggapan Berita (11/9-2012) - “Saya tak yakin tingginya penderita HIV/AIDS di Sumbar ini,
soalnya tatanan adat dan agama yang masih kuat sulit rasanya gejala HIV/AIDS
tumbuh subur di Sumbar.” Ini pernyataan pemerhati sosial kemasyarakatan, Eri
Gusman Awal, dalam berita “HIV/AIDS di Sumbar
Mengkhawatirkan” (www.jurnas.com, 20/2-2012).
Di negara yang menjadikan agama
dan kitab suci sebagai undang-undang (dasar) pun tetap saja ada kasus HIV/AIDS.
Prov Aceh yang menjadikan syariat Islam sebagai hukum sudah dilaporkan 120 kasus
HIV/AIDS. Sedangkan di Arab Saudi dilaporkan dari tahun 1984 sampai 2010
kaus AIDS mencapai 16,334 yang terdiri atas 4,458 penduduk Arab Saudi dan 11,876 non Arab Saudi (http://www.saudiembassy.net/latest_news/news11291102.aspx - 29/11-2011).
Risiko tertular HIV di tataran
realitas sosial terjadi pada orang-orang dengan perilaku seks yang berisiko,
seperti melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah
dengan pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung (PSK yang
tidak mangkal di lokalisasi pelacuran, seperti ‘cewek bar’, ‘cewek kafe’, ‘cewek
biliar’, ‘cewek pub’, ‘anak sekolah’, ABG, ‘mahasiswi’, ‘ibu rumah tangga’,
dll.).
Pertanyaannya adalah: Apakah Eri Gusman Awal bisa menjamin tidak ada laki-laki
penduduk asli Sumbar yang melacur tanpa kondom di Sumbar atau di luar Sumbar?
Kalau jawabannya BISA, maka
penyebaran HIV di Sumbar bukan melalui hubungan seksual, tapi melalui faktor
risiko lain, seperti jarum suntik pada penyalahguna narkoba, transfusi darah,
atau air susu ibu (ASI).
Berarti, tingkat penyalahguna
narkoba dengan jarum suntik sangat banyak di Sumbar. Kemungkinan lain banyak
penduduk Sumbar yang melakukan transfusi darah.
Tapi, apakah hal itu merupakan
realitas sosial?
Tentu saja tidak karena secara
global faktor risiko utama penyebaran HIV adalah hubungan seksual pada
oritentasi heteroseks tanpa kondom di dalam dan di lauar nikah.
Dilaporkan kasus kumulatif
HIV/AIDS di Sumbar mencapai 624, terdiri atas 72 HIV dan 552 AIDS dengan 186
kematian. Jika berpijak pada 552 kasus AIDS, maka itu menunjukkan bahwa mereka
sudah tertular antara 5 – 15 tahun sebelum masa AIDS. Artinya 552 kaus AIDS itu
tertular HIV antara tahun 1996 dan 2006 (Lihat Gambar).
Disebutkan bahwa Marlis, Ketua
Komisi IV DPRD Sumbar, membidangi kesehatan dan kesejahteraan rakyat, menuding
kasus pergaulan bebas menjadi pemicu peningkatan kasus ini (HIV/AIDS-pen.) dua
tahun terakhir.
Dalam berita tidak ada
penjelasan tentang arti ‘pergaulan bebas’. Kalau yang dimaksud Marlis sebagai ‘pergaulan
bebas’ adalah zina, termasuk melacur, maka itu membuktikan di Sumbar terjadi
perzinaan al. Melalui praktek pelacuran.
Tapi, risiko tertular HIV tidak
terkait langsung dengan sifat hubugnan seksual (zina, melacur, pergaulan bebas,
dll.) karena risiko terjadi karena kondisi hubungan seksual (salah satu mengida
HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom).
Maka, kawin-cerai juga
merupakan salah satu bentuk perilaku yang berisiko tertular HIV karena
masing-masing dari pasangan tsb. juga sudah pernah mempunyai pasangan (dalam
nikah dan luar nikah).
Istilah ‘pergaulan bebas’
merupakan terminologi moral sehingga merupakan mitos (anggapan yang salah)
karena tidak terkait langsung dengan risiko penularan HIV/AIDS. Penularan HIV
melalui hubungan seksual terjadi jika salah satu dari pasangan tsb. mengidap
HIV dan laki-laki tidak memakai kondom (kondisi hubungan seksual) bukan karena
‘pergaulan bebas’ (sifat hubungan seksual).
Dalam verita disebutkan: “Sumbar
sebagai daerah madani dengan filosofi luhur Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi
Kitabullah, membuat Prov Sumbar terus mawas diri terhadap gejala yang akan
merusak sendi-sendi luhur masyarakatnya.”
Kalau yang dianggap ‘merusak
sendi-sendi luhur masyarakat’ adalah HIV/AIDS, maka ‘perusakan’ (baca:
penyebaran) akan terus terjadi karena tidak ada langkah-langkah yang konkret
untuk mencegah penularan HIV di hulu, terutama pada laki-laki dewasa, serta
tidak ada pula cara yang konkret untuk penanggulangan di tataran masyarakat.
Ada lagi pernyataan: “ …. kasus
HIV/AIDS Sumbar telah di fase mengkhawatirkan sekaligus bukti pengingkaran atas
norma-norma yang hidup di masyarakat.”
Kalau yang dimaksud “pengingkaran
atas norma-norma yang hidup di masyarakat” perzinaan atau pelacuaran, maka
tidak ada kaitan langsung antara zina dan pelacuran dengan penularan HIV.
Penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi karena kondisi hubungan seksual
bukan karena sifat hubungan seksual.
Ada lagi pernyataan: ” .... bagaimana
yang penderita malu melapor, artinya efek negatif pergaulan bebas harus segera
dikikis habis di Ranah Minangkabau ini.”
Banyak orang yang sudah
tertular HIV/AIDS tidak menyadarinya sehingga mereka bukan takut atau malu
melapor, tapi mereka tidak mengetahui kalau mereka sudah tertular HIV. Ini
terjadi karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka dan tidak
ada pula keluhan kesehatan yang khas terkait dengan HIV/AIDS.
Apakah praktek perzinaan dan
pelacuran bisa dibasmi dari Ranah Minangkabau?
Tentu saja tidak karena razia
Satpol PP hanya bernyali mengobrak-abrik ’warem’, merazia remaja di pantai,
dll. Pada saat yang sama praktek pelacuran yang melibatkan PSK tidak langsung
terus terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Dikabarkan Pemprov Sumbar sudah
menerbitkan peraturan daerah (perda) penanggulangan HIV/AIDS.
Apakah dalam perda itu ada
pasal-pasal yang konkret untuk menanggulangi penyebaran HIV/AIDS?
Tentu saja tidak karena 54 perda
sejenis yang ada di Indonesia hanya copy-paste dengan pijakan moral sehingga
pasal-pasal yang ada pun hanya bersifat normatif.
Tanpa penanggulangan yang
konkret, maka penyebaran HIV/AIDS di Sumbar akan bermuara pada ’ledakan AIDS”. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.