Tanggapan Berita (8/9-2012) – “Selama
ini ada dugaan banyak pekerja galian C sopir truk atau kernet datang ke galian
C bekerja 24 jam. Malam hari yang dingin itu mereka diduga juga mengajak wanita
bukan pasangannya, ''gandengan'' ke lokasi galian C.” Ini pernyataan dalam
berita “Penderita HIV/AIDS di Karangasem
Terus Meningkat Sopir Galian C Diduga Bawa Cewek Gandengan” (Harian “Bali Post”, 4/9-2012).
Dari
pernyataan itu ada beberapa hal yang perlu dipertanyakan:
(1)
Apakah dari 162 kasus HIV/AIDS di
Karangasem terdeteksi pada kalangan pekerja galian C, sopir truk atau kernet?
Kalau
jawabannya tidak, maka pernyataan tsb. tidak tepat.
(2)
Apakah ada kaitan langsung antara penularan HIV/AIDS dan ‘wanita bukan
pasangannya’?
Tentu
saja tidak ada. Maka, tidak perlu mengait-ngaitkan ‘wanita bukan pasangannya’
dengan kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di Karangasem.
(3)
Apakah “gandengan” (perempuan atau cewek yang dibawa penambang, sopir truk dan
kernet ke lokasi galian C) juga melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan
laki-laki penduduk Karangasem?
Kalau
tidak, maka tentulah tidak ada kaitan langsung antara “gandengan” dengan kasus
HIV/AIDS di Karangasem. Lain halnya kalau ada laki-laki lokal yang melakukan
hubungan seksual dengan “gandengan” maka ada risiko penyebaran HIV/AIDS melalui
“gandengan”.
Di
bagian lain disebutkan “Warga Karangasem yang diketahui positif atau terinfeksi
HIV/AIDS dalam tiga tahun terakhir ini grafiknya terus meningkat”.
Kalau
saja wartawan mengetahui cara pelaporan HIV/AIDS tentulah tidak perlu ada
pernyataan “grafiknya terus meningkat” karena pelaporan HIV/AIDS dilakukan
dengan cara kumulatif. Artinya, kasus lama ditambah kasus baru. Begitu
seterusnya sehingga jumlah laporan kasus HIV/AIDS tidak akan pernah turun atau
berkurang biar pun banyak penderitanya yang meninggal.
Disebutkan
pula: “Tentu saja jumlah yang diduga terinfeksi sesungguhnya jauh lebih banyak.
Sesuai prediksi WHO pada satu orang di dalam masyarakat yang diketahui
terinfeksi, diperkirakan sepuluh orang di sekitarnya juga sudah terinfeksi.
Sesungguhnya fenomena penyebarannya seperti gunung es.”
Epidemi
HIV/AIDS memang erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Angka yang dilaporkan
tidak menggambarkan jumlah ril pengidap HIV/AIDS di masyarakat karena
penyebaran HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang
terdeteksi (162) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas
permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi di masyarakat
digambarkan sebagai bongkahan es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar).
Prediksi
WHO itu tidak bisa dipakai secara ‘telanjang’ karena harus ada beberapa faktor
pendukungnya, al. tingkat pelacuran tinggi dan pemakaian kondom rendah. Lagi
pula ‘rumus’ itu bukan untuk menghitung jumlah yang tidak terdeteksi tapi hanya
untuk keperluan epidemilogis, al. untuk merancang program, penyediaan obat,
dll.
Kepala Dinas Kesehatan Karangasem, dr. IGM Tirtayana, menyampaikan realitas itu di Karangasem, Senin (3/9) kemarin. Hingga Maret lalu, jumlah warga yang positif HIV/AIDS dilaporkan 162 orang.
Ada
pula pernyataan: ''Kasus di Karangasem tidak ditemukan penularan lewat
transfusi darah. Jadi, donor darah di Karangasem sudah bagus, sebelum donor,
sudah diperiksa apakah darahnya aman atau tidak.''
Pernyataan
di atas tidak akurat karena transfusi darah tetap berisiko jadi media penularan
HIV karena bisa saja donor menyumbangkan darah di masa jendela (tertular di
bawah tiga bulan) sehingga skirining atau uji saring darah donor bisa
menghasilkan negatif palsu. Artinya, hasil uji saring negatif karena dalam
darah belum ada antibody HIV yang menjadi sasaran reagen tes HIV jika tes
dengan rapid test atau ELISA (Lihat: Hak Bebas HIV melalui Transfusi Darah -
http://www.aidsindonesia.com/2012/08/hak-bebas-hiv-melalui-transfusi-darah.html).
Disebutkan
pula: “ …. sesuai anjuran Bupati Karangasem, di Karangasem tidak dikeluarkan
izin kafe remang-remang.”
Risiko
penularan HIV di kafe remang-remang bisa terjadi kalau penduduk Karangasem
melalukan hubungan seksual dengan ‘cewek kafe’ tanpa kondom. Bukan hanya di
Karangasem bisa saja laki-laki penduduk Karangasem melacur dengan’cewek kafe’
tanpa kondom di luar Karangasem.
Menurut anggota DPRD Karangasem, Luh Purnaminingsih, diperlukan program action nyata dan efektif melakukan penyadaran dan sosialisasi ke tengah masyarakat. Sehingga masyarakat paling tidak memiliki pengetahuan bahwa hal yang sangat berbahaya itu bisa dihindari.
Menurut anggota DPRD Karangasem, Luh Purnaminingsih, diperlukan program action nyata dan efektif melakukan penyadaran dan sosialisasi ke tengah masyarakat. Sehingga masyarakat paling tidak memiliki pengetahuan bahwa hal yang sangat berbahaya itu bisa dihindari.
Persoalan utama adalah Pemkab Karangasem tidak mempunyai
program penanggulangan yang konkret sehingga penyebaran HIV/AIDS akan terus
terjadi tanpa bisa dikendalikan. Kondisi ini akan bermuara pada ‘ledakan AIDS’.
***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.