Tanggapan
Berita - "Berdasarkan hasil
penghitungan secara statistik epidemologi menunjukkan bahwa sekitar 500 ibu
hamil di Bali diperkirakan positif HIV/AIDS setiap tahun." Ini disampaikan
oleh Ketua Pokja Perencanaan, Monitoring dan Evaluasi KPA Prov Bali, Prof. I
Dewa Nyoman Wirawan (500 Ibu Hamil di
Bali Positif HIV/AIDS Setiap Tahun, metrotvnews.com, 1/9-2012).
Data
ini merupakan bahan yang menarik jika dikembangkan ke ranah realitas sosial,
misalnya, dikaitkan dengan perilaku laki-laki dewasa di tempat-tempat transaksi
seks dan tingkat pemakaian kondom. Praktek pelacuran yang melibatkan pekerja seks komersial (PSK) langsung dan PSK tidak langsung.
Selain
di metrotvnews berita ini juga ada di beberapa media, seperti suaramerdeka.com (Semarang) denga judul “Tiap Tahun 500 Ibu Hamil di Bali Positif
HIV/AIDS”. Bahkan, di www.beritasatu.com (1/9-2012) judulnya bombastis: HIV/AIDS Serang 500 Ibu Hamil di Bali. Tapi,
tetap saja data itu tidak dikembangkan...
Topik
yang dipilih dua media itu adalah ibu rumah hamil (ibu rumah tangga atau
istri), padahal kunci dari persoalan itu ada pada suami atau laki-laki. Prof
Wirawan juga menyebutkan: "Para ibu hamil tersebut tertular virus HIV dari
suami yang memiliki kecenderungan berganti-ganti pasangan seksual."
Tapi,
tetap saja wartawan tidak mengembangkan data yang disampaikan Prof Wirawan. Karena
yang ditonjolkan hanya ibu hamil, maka masyarakat tidak memperoleh gambaran
yang nyata tentang epidemi HIV/AIDS di lingkungan mereka.
Dengan
hanya menonjolkan ibu hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS dikesankan
persoalan hanya ada pada ibu-ibu hamil itu. Padahal, jika dilihat dari
rangkaian penyebaran HIV/AIDS ibu-ibu hamil itu adalah terminal antara pada
penyebaran HIV/AIDS di keluarga sebagai bagian dari masyarakat.
Karena
pernyataan Prof Wirawan tentang 500 ibu hamil itu pada tataran perkiraan atau
prediksi dengan berbagai cara dan indikator, maka wartawan perlu memberikan
data jumlah ibu hamil yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS setiap tahun. Ini
memberikan gambaran ril terkait dengan penyebaran HIV/AIDS di Bali.
Data
terakhir menyebutkan bahwa kasus kumulatif HIV/AIDS di Bali dari tahun 1987
sampai Juni 2012 mencapai 6.292 (Bali Post,
25/8-2012). Faktor risiko (cara penularan) 4.632 kasus atau sekitar 74,43
persen melalui hubungan seksual pada
orientasi seks heteroseksual (laki ke perempuan atau sebaliknya).
Karena infeksi HIV/AIDS pada ibu hamil
merupakan terminal antara karena ada kemungkinan ibu hamil menularkan HIV
kepada bayi yang dikandugnya, maka perlu ada langkah konkret untuk menurunkan
insiden infeksi HIV baru pada ibu (hamil) dan mencegah penularan HIV dari
ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Sayang, dalam semua berita tentang kasus
HIV/AIDS pada ibu hamil itu tidak ada penjelasan tentang langkah-langkah untuk
menanggulanginya secara konkret.
Pertama, karena ibu-ibu hamil itu tertular HIV dari suaminya, maka diperlukan langkah konkret untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa.
Salah
satu cara yang bisa dilakukan adalah menerapkan program ‘wajib kondom 100
persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di lokalisasi pelacuran.
Tapi,
program ini tidak akan bisa dijalankan di Bali karena Pemprov Bali dan
pemerintah kabupaten dan kota di Bali tidak mengakui ada lokalisasi pelacuran.
Padahal, praktek pelacuran terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.
Karena
program ‘wajib kondom 100 persen’ tidak bisa dijalankan, maka perlu mendorong
laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa
kondom dengan PSK agar memakai kondom jika sanggama dengan istrinya.
Kedua, karena ada
risiko penularan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya, maka perlu ada program
yang konkret untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil. Ini bisa dilakukan
kalau ada regulasi, misalnya, menjalankan survailans rutin pada semua perempuan
hamil.
Disebutkan oleh Prof Wirawan, penularan HIV/AIDS dari ibu kepada anaknya tidak
serta merta dapat diamati. Penularan biasanya baru terdeteksi pada saat balita
telah berumur antara empat sampai enam tahun.
Maka,
diperlukan langkah yang konkret untuk mendeteksi HIV/AIDS pada perempuan hamil.
Kalau infeksi HIV/AIDS pada ibu hamil dideteksi melalui status HIV anak atau
bayi yang mereka lahirkan, maka itu artinya penanggulangan di hilir. Ditunggu
dulu ada perempuan atau ibu hamil tertular HIV, lalu melahirkan baru kemudian
diamati apakah bayi itu tertular HIV.
Masih
menurut Prof Wirawan, pakar epidemiologi di Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana, Denpasar, Bali, ini: "Kalau 500 ibu hamil tertular setiap tahun,
lalu yang menular ke bayinya sekitar separuh biasanya, berarti sekitar 250
setahun."
Angka
itu tentu tidak kecil. Untuk itulah diperlukan langkah-langkah yang konkret
untuk:
(1)
Menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa melalui hubungan
seksual dengan PSK.
(2)
Mencegah penularan HIV dari suami ke istri.
(3)
Mencegah penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya.
Poin
(1) bisa dilakukan melalui program ‘wajib kondom 100 persen’, sedangkan poin
(2) bisa dilakukan melalui peningkatan kesadaran suami agar bertanggung jawab
atas perilaku seksnya, dan poin (3) bisa dilakukan melalui suvailans tes HIV
rutin terhadap semua perempuan hamil.
Tanpa
langkah-langkah yang konkret, maka penyebaran HIV dari laki-laki dewasa ke
istri yang salanjutnya berakhir pada penularan dari ibu-ke-bayi yang
dikandungnya akan terus terjadi di Bali.
Pemprov
Bali pun tinggal menunggu ‘ledakan AIDS’ yang bermuara pada bayi. ***[AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap]***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah berkunjung ke situs AIDS Watch Indonesia.
Silahkan tinggalkan pesan Anda untuk mendapatkan tanggapan terbaik dari pembaca lainnya, serta untuk perbaikan ISI dan TAMPILAN blog ini di masa mendatang.